Agenda Global Kapitalisme dalam Arus Islam Moderat dan RAN-PE

 


(Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme)


Nia Kurniati Hasibuan


Muslimahvoice.com - Upaya pemerintah dalam melawan terorisme dengan program deradikalisasinya di dalam negeri semakin massif dan terus konsisten, bahkan peningkatan berbagai banyak program dilakukan semata untuk menyukseskan agenda global kapitalisme dalam menghadapi radikalisme, dan narasi yang dibangun mengenai pemicu munculnya aksi radikal adalah ajaran-ajaran Islam. Dalam rangka untuk menghentikan langkah radikal ini kemudian pemerintah mengambil langkah deradikalisasi dengan cara membangun jaringan Islam moderat dan berupaya untuk menghentikan segala pemicu ekstremisme dengan hadirnya Perpres RAN-PE. Apa sebenarnya hakekat Islam moderat dan kaitannya dengan hadirnya Perpres RAN PE ini serta dikaitkan dengan dampaknya pada dakwah Islam?


/Asal Muasal istilah Islam Moderat/


Latar belakang narasi ini tidak lepas dari kasus WTC 9/11 dimana lambang kekuasaan kapitalis runtuh sebab serangan pesawat tanpa awak yang disinyalir dilakukan oleh aksi terorisme. Setelah itu narasi aksi terorisme mengancam barat bergulir, dan mulai dari situlah genderang WOR muncul dan disuarakan, bahkan mendorong negara-negara lain terlibat dan mendukung pernyataan tersebut. Dan tidak terlepas Indonesia juga menjadi pendukung WOR tersebut. Tidak berhasilnya narasi terorisme maka barat menggulirkan ide lainnya yang sebenarnya memiliki kesamaan nafas yakni menyerang Islam dan ajarannya atas nama melawan radikalisme dan ekstrimisme.


Pada laman al-wa’ie.id (1/12/2017) menyampaikan Buku The Muslim World After 9/11 yang ditulis oleh Angel M. Rabasa pada tahun 2004, Rand Corp melakukan proyek untuk memetakan Dunia Islam pasca Peristiwa 9/11. Pemetaan penting dilakukan sebab para pengkaji hubungan internasional yang concern dengan isu hubungan agama dan hubungan internasional mengganggap peristiwa 11 September 2001 telah mengubah secara dramatis lingkungan politik di Dunia Muslim. Maka AS atas saran Rand Corp harus memetakan Dunia Islam dari berbagai aspeknya, terutama dari aspek tipologi kecenderungan ideologis atau orientasi di berbagai wilayah Dunia Muslim.  


Rand Corp merekomendasikan berbagai langkah untuk mencegah proses islamisasi di Dunia Islam tersebut, antara lain: promosikan penciptaan jaringan moderat, mengganggu keberadaan Jaringan radikal, bantu perkembangan reformasi madrasah dan reformasi masjid, perluas peluang ekonomi, dukungan munculnya “Islam Sipil”, halangi sumberdaya untuk kaum ekstremis, seimbangkan persyaratan program Perang Melawan Terorisme (War on Terrorism) dan program Stabilitasi dan Demokrasi di Negara Muslim Moderat, berusaha untuk melibatkan kaum Muslim dalam proses politik yang ada, libatkan Muslim diaspora, membangun kembali hubungan militer Amerika Serikat dengan militer negara-negara Muslim penting, dan bangun kemampuan militer yang tepat.


Upaya barat dalam mendukung kebijakan melawan terorisme, maka mereka berusaha membangun Islam alternative. Dokumen tahun 2003, Daniel Pipes, pendiri Middle East Forum yang dikenal sebagai dalang gerakan islamophobia menulis artikel “Rand Corporation and Fixing Islam.” dia berharap memodifikasi Islam dan diterjemahkan dalam strategi oleh Rand Corporatiion Cheryl Benard yang menyebutkan misi ini dengan istilah religious building (upaya membangun agama Islam alternative).


Dokumen Building Moderate Muslim Networks tahun 2007, Rand Corp menerbitkan dokumen atas dana Smith Foundation memuat langkah membangun jaringan muslim moderat pro barat di seluruh dunia. Dan jaringan muslim moderat ini harus didukung penuh karena mereka kunci dari penyebaran budaya demokrasi di Dunia Islam. Rand Corp berkesimpulan bahwa penciptaan jaringan Muslim moderat akan memberi kalangan moderat platform untuk memperkuat pesan mereka, serta perlindungan dari kaum radikal, juga akan memberi mereka perlindungan dari pemerintah mereka sendiri. Hadirnya rekomendasi Rand Corp ini merupakan katalis eksternal untuk mewujudkan jaringan moderat di dunia Islam, dan khusus Indonesia maka islam moderat diaruskan dengan leading sector-nya Kementrian agama.


Adapun Strategi yang dijalankan berdasarkan pada laman muslimahnews.com (23/2/2021) bisa dirumuskan sebagai berikut:


1. Menjadikan ulama sebagai penjaja ide. Menag menyampaikan, saat ini ada 50 ribu penyuluh agama yang tersebar di seluruh Indonesia yang disiapkan sebagai agen moderasi beragama. Pelatihan-pelatihan berbasis moderasi agama terus digelar untuk para ulama, bahkan direncanakan ada program sertifikasi da’i. Bagi para ulama yang menolak Islam moderat, akan dicap sebagai ulama radikal, dakwahnya dibatasi, sering kali dipersekusi.


2. Penguasa sebagai pelaksana dan pembuat aturan. Kita bisa lihat, para pejabat seperti Presiden, Wapres, dan para Menteri—terutama Kemenag—terus menyuarakan Islam moderat. Mereka berusaha mengambil hati dan suara rakyat melalui Islam moderat dengan menyatakan Islam moderatlah yang dibutuhkan bangsa untuk mewujudkan kedamaian, persatuan, dan keutuhan. Presiden sendiri menyampaikan instruksi khusus kepada Menag untuk melakukan program besar-besaran tentang moderasi beragama, utamanya di lembaga pendidikan dan rumah ibadah. Penguasa negara juga merancang berbagai aturan perundang-undangan yang melegalisasi berkembangnya Islam moderat. Kemenag misalnya, mengeluarkan kurikulum pendidikan berbasis Islam moderat. Presiden mengeluarkan PP RAN PE No. 7 Tahun 2021 untuk menekan tindak ekstremisme dan sebagainya.


3. Mendesain kurikulum agama berbasis moderasi Islam, dari pendidikan tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Kemenag telah melakukan revisi terhadap 155 buku pendidikan agama. Direktur PAI Rohmat Mulyana menyatakan beberapa program PAI seperti Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) Guru PAI, Pengembangan Kurikulum PAI, penguatan Kompetensi Pengawas PAI dan sebagainya, akan diinsersi dengan konten moderasi beragama.


4. Mendirikan Rumah Moderasi di berbagai PTKIN. Ditjen Pendidikan Islam Kemenag telah mengeluarkan Surat Edaran No. B-3663.1/Dj.I/BA.02/10/2019 tertanggal 29 Oktober 2019. Isinya tentang Edaran Rumah Moderasi Beragama. Surat edaran yang ditujukan kepada seluruh Rektor/Ketua PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) itu meminta agar setiap kampus mendirikan dan menyelenggarakan “Rumah Moderasi Beragama”. Rumah ini akan menjadi tempat penyemaian, edukasi, pendampingan, pengaduan, dan penguatan atas wacana dan gerakan moderasi beragama di lingkungan kampus PTKIN.


5. Menggandeng Ormas dan LSM dalam sosialisasi pemikiran Islam moderat di tengah umat. Beberapa strategi ini dijalankan untuk membuat moderasi Islam diterima dan diadopsi umat Islam Indonesia. Padahal, sejatinya ide ini adalah racun dalam agama yang dimasukkan dalam tubuh dan benak kaum muslimin untuk melumpuhkan kekuatan mereka, sehingga tidak mampu melawan dominasi kapitalis global.


/Proyek Deradikalisasi/


Pada laman yang sama al-wa’ie.id (1/12/2017) Buku Deradicalizing Islamist Extremists ditulis oleh Angel Rabasa pada tahun 2011, Rand Corp memandang ada konsensus yang muncul di antara para analis dan praktisi kontra terorisme, bahwa untuk mengalahkan ancaman yang ditimbulkan oleh ekstremisme dan terorisme Islam, ada kebutuhan untuk melampaui sekedar tindakan keamanan dan intelijen, yakni mengambil tindakan proaktif untuk mencegah orang-orang yang rentan melakukan radikalisasi dan melakukan rehabilitasi terhadap orang-orang yang telah tertular ekstremisme. Konsepsi kontraterorisme yang lebih luas ini dimanifestasikan dalam program kontra-deradikalisasi dari sejumlah negara Timur Tengah, Asia Tenggara dan Eropa.


Hal ini karena deradikalisasi kadang hanya melibatkan perubahan perilaku (yaitu, menahan diri dari tindakan kekerasan dan penarikan diri dari organisasi radikal), namun tidak mensyaratkan perubahan keyakinan. Faktanya, seseorang bisa keluar dari organisasi radikal dan menahan diri dari kekerasan, namun tetap mempertahankan pandangan dunia yang radikal.


Karena itu deradikalisasi adalah proses mengubah sistem kepercayaan individu, menolak ideologi ekstremis dan merangkul nilai-nilai mainstream. Deradikalisasi, sebenarnya, mungkin sangat sulit bagi ekstremis Islam karena mereka dimotivasi oleh sebuah ideologi yang berakar. Pasalnya, ajaran-ajaran ideologi agama dianggap sebagai kewajiban keagamaan. Penting memahami program deradikalisasi ini dan berikut rekomendasi Rand Corp:


1. Memberikan efek traumatis dan eksploitasi terhadap seseorang yang dianggap radikal, dengan tujuan mendorong agar orang tersebut meninggalkan organisasi radikalnya. 

2. Pemerintah dapat memberikan insentif kepada kaum radikal agar keluar dari organisasinya, dan tanpa disadari penyiksaan sendiri dapat menjadi boomerang dan menimbulkan radikalisasi lebih lanjut. Nampak ada strategi ganda antara tindakan keras dan lunak yang menurut pemerintah sebagai kebiajakan terbaik mendorong individu meninggalkan kelompok militant. 

3. Terdapatnya program deradikaliasi yang berfokus pada meyakinkan kaum ekstrimis Islam yang di penjara untuk mengakui kekeliruan keyakinan mereka. Program ini untuk membantu mereka yang telah dibebaskan dan dibantu dalam hal rehabilitasi untuk mencari pekerjaan dan menemukan lingkungan yang kondusif, meminta pada mantan militant terus melakukan konseling dan memantau tingkah laku dan pergaulan mereka dengan ketat. 


Berdasarkan hal diatas terdapat upaya jelas untuk menghentikan siapa saja yang bersebrangan dengan konsep pemerintah yang konsen menghentikan langkah terorisme, radikal dan ekstrimis. Dan mendorong Indonesia menjadi pilot poject keberhasilan penerapan Islam moderat yang humanis dan toleransi adalah ucapan bibir saja tanpa realitas. Bagaimana bisa kemudian dikatakan Indonesia menerapkan toleransi dan humanis di tengah fakta banyaknya kriminalisasi dan persekusi para pengemban dakwah dan ajaran-ajaran Islam.


/Waspada pembajakan makna atau istilah Islam oleh barat pada kata Tatharruf, I’tidal, dan Ummatan Wasathan/


Hegemoni penguasaan makna Islam dalam istilah tatharruf (ekstrem) dan i’tidal (moderat) telah digunakan Barat untuk menyerang Islam dan umat Islam. Padahal sebagai lafaz berbahasa Arab, keduanya merupakan lafaz-lafaz yang memiliki makna tertentu yang jauh berbeda dari makna yang Barat sematkan.


Istilah “Tatharruf” misalnya, digunakan Barat untuk menggambarkan sesuatu yang dipandang ekstrem, radikal, dan teror. Padahal dalam Islam bisa jadi sesuatu itu merupakan hal yang wajib dilaksanakan dan dosa jika ditinggalkan. Contohnya jihad, amar makruf nahi mungkar, dan muhassabah lil hukkam (mengoreksi penguasa).


Istilah “i’tidal”. Barat menggunakannya untuk memuji sikap seseorang yang mau kompromi terhadap kebatilan, tidak menyerang Barat dan lain-lain. Padahal Islam memerintahkan agar umat berpegang teguh pada aturan-aturan Islam dan tak berkompromi dengan kebatilan.


Mereka menggunakan kedua istilah itu dari cara pandang politik dan bukan dari pandangan syara’. Untuk mengarahkan perspektif umat agar sesuai dengan cara pandang mereka dalam kerangka serangan pemikiran (ghazwul fikr). Akhirnya, tersebarluaslah gagasan batil ini di tengah umat. Memecah belah umat dengan berbagai pandangan yang berbeda-beda. Seolah-olah Islam itu terbagi-bagi menjadi Islam fundamentalis, ekstremis, dan teroris di satu sisi. Dan Islam yang moderat, humanis, dan toleran di sisi lainnya. Tak ada alasan bagi kita untuk menerima perspektif Barat dalam segala hal terkait Islam. Termasuk makna tatharruf dan i’tidal, juga wasathiyah yang faktanya sudah dibajak oleh Barat sesuai pemaknaan dan pandangan politik mereka tentang Islam.


/Hakikat Tatharruf, I’tidal, dan Ummatan Wasathan/


Pahami bahwa setiap lafaz dalam bahasa Arab sesungguhnya memiliki madlul (penunjukan) yang dikehendaki oleh lafaz itu sendiri. Namun terkadang, kita jumpai dalam Alquran (atau bahasa Arab) ada lafaz yang berbeda-beda namun ditujukan pada satu makna tertentu. Inilah yang disebut dengan lafaz muradif atau mutaradif (sinonim). Artinya, satu makna tapi bisa dilafalkan dengan banyak lafaz yang berbeda-beda. Istilah tatharruf dan i’tidal juga termasuk dalam lafaz mutaradif. Tatharruf (ekstrem) misalnya, semakna dengan ghuluw, azziyaadah, mubaalaghah, tasyaddud, dan tashallub. Semuanya semakna dengan lafaz ifrath, yakni melampaui batas yang dituntut dan yang telah ditetapkan. 


Lawan dari kata ifrath adalah tafrith, yang artinya melalaikan hukum syara’, menyia-nyiakan hak, menampakkan kelemahan dalam menjalankan hukum syara’, dan sejenisnya. Alquran Surah Al Maidah ayat 77, Allah SWT mencela perilaku tatharruf atau ghuluw ini: Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”.


Contoh perbuatannya antara lain seseorang yang bernazar tidak akan duduk, tidak bicara sambil shaum. Ini tergolong tatharruf atau ghuluw dalam konteks ifrath. Atau seseorang melakukan dosa besar dan berjanji akan tobat sebelum mati. Padahal menghindari dosa adalah kewajiban dan kematian adalah rahasia baginya dan bagi siapa pun. Ini tergolong tatharruf atau ghuluw dalam konteks tafrith. Adapun i’tidal, artinya sama dengan iqtishad, tawassuth (wasathiy), rusyd, istiqamah. Orang yang mu’tadil dalam agama adalah orang yang istikamah dalam menjalankan perintah Allah, konsisten dengan batas-batas Allah, tidak menyimpang, baik ke arah ifrath (berlebihan) maupun tafrith (lalai), juga tidak membuat-buat bid’ah.


Allah SWT berfirman: “Maka tetaplah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertobat bersama kamu. Dan janganlah kalian melampaui batas! Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan.” (QS Hûd: 112). Dua lafaz ini, yakni tatharruf dan i’tidal sebetulnya biasa digunakan dalam pembahasan-pembahasan syariat. Namun dengan pemaknaan yang tidak menyimpang dari apa yang dikehendaki madlul (penunjukkan makna)-nya.


Sementara Barat sengaja menyimpangkan makna keduanya demi kepentingan politik tertentu dan untuk tujuan agar umat makin jauh dari agamanya. Karena mereka tahu, bahwa rahasia kebangkitan umat Islam terletak pada kemurnian ajarannya dan pada penerapannya secara utuh dalam seluruh aspek kehidupan.


Senyatanya, Islam memang melarang tatharruf, tapi konteksnya adalah melampaui hukum Allah SWT, atau lalai terhadapnya atau mengada-ada dalam hukum syara, alias berbuat bid’ah. Bukan seperti kata Barat, yakni melaksanakan ketaatan pada perintah Allah seperti menyerukan jihad fi sabilillah, melakukan amar makruf nahi munkar, konsisten menutup aurat, tegas menolak riba, menolak elgebeteqi, menolak pernikahan beda agama, dan lain-lain.


Islam pun memang mewajibkan i’tidal dan menjadi ummatan wasatha, tapi konteksnya adalah istikamah melaksanakan perintah Allah dan tetap di jalan yang lurus, tidak berbuat lalai atau berlebih-lebihan mengada-ada dalam urusan agama di luar yang diperintahkan. Bukan seperti kata Barat, yakni berkompromi terhadap kekufuran, talbisul haq bil baatil, dan lain-lain.


Namun demikian, ketika kita mengatakan tatharruf itu terlarang dan i’tidal serta menjadi ummatan wasathan itu wajib, sepanjang konteksnya tak menyalahi ajaran Islam, bukan berarti boleh bagi kita untuk turut menggunakan kalimat itu dalam perbincangan-perbincangan. Apalagi turut mengaruskan. Karena faktanya, istilah-istilah itu telanjur dipropagandakan dan dipahami umat sebagaimana yang Barat inginkan. Kita justru diwajibkan untuk meluruskan dan mengungkap hakikat serangannya. Agar umat tak terjauhkan dari Islam yang justru merupakan kunci kebangkitannya. 


/Analisis “Ada Apa di balik Penanggulangan Ekstrimisme” Pemerintah/


Berdasarkan penjelasan DR Riyan M.Ag pada program NgajiSubuh di www.youtube.com pada tanggal 18 Januari lalu menyatakan bahwa Presiden Jokowi telah menetapkan rencana aksi nasional penanggulangan ekstremisme yang mengarah terorisme (RAN PE) periode 2020-2024. Rencana aksi tersebut dituangkan dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2021. Sesuai Pasal 2 ayat (2) Perpres 7/2021, RAN PE bertujuan meningkatkan perlindungan hak atas rasa aman warga negara dari ancaman ekstremisme dan terorisme. 


Terdapat 3 strategi yang yang digunakan untuk mencapai sasaran pelaksanaan RAN PE yang tercantum di lampiran Perpres 7/2021. Berikut 3 strategi tersebut: (1) Pencegahan (kesiapsiagaan, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi). (2) Penegakan Hukum, Pelindungan Saksi dan Korban, dan Penguatan Kerangka Legislasi Nasional. (3) Kemitraan dan Kerja Sama Internasional. Perpres RAN PE mempunyai 5 sasaran, yaitu: 


1. Meningkatkan koordinasi antarkementerian/lembaga dalam mencegah dan menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme (ekstremisme); 

2. Meningkatkan partisipasi dan sinergitas pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan ekstremisme yang dilakukan kementerian/lembaga, pemda, masyarakat sipil, dan mitra lainnya; 

3. Mengembangkan instrumen dan sistem pendataan dan pemantauan untuk mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme; 

4. Meningkatkan kapasitas aparatur dan infrastruktur secara sistematis dan berkelanjutan, untuk mendukung program-program pencegahan dan penanggulangan ekstremisme; 

5. Meningkatkan kerja sama internasional, baik melalui kerja sama bilateral, regional, maupun multilateral, dalam pencegahan dan penanggulangan ekstremisme.


Adapun strategi pencegahannya, salah satu fokus capaian RAN PE yakni meningkatkan daya tahan kelompok rentan untuk terhindar dari tindakan ekstremisme dan terorisme (kontra radikalisasi).  Sehingga optimalisasi peran pemolisian masyarakat (Polmas) dengan melibatkan sejumlah warga dalam pelatihan Polmas. Isi lampiran Perpres RAN PE. Sehingga diharapkan masyarakat semakin paham dan terampil dalam upaya pencegahan dini ekstremisme dan terorisme di lingkungan masing-masing. 


"Meningkatnya pemahaman dan keterampilan polisi dan masyarakat dalam upaya pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme," isi tujuan pelatihan tersebut di lampiran Perpres. Polri menjadi penanggungjawab pelatihan Polmas berkoordinasi dengan BNPT. Adapun merujuk Pasal 1 angka 2 Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015, Polmas adalah kegiatan untuk mengajak masyarakat melalui kemitraan anggota Polri dan masyarakat, sehingga mampu mendeteksi dan mengidentifikasi permasalahan keamanan dan ketertiban masyarakat di lingkungan serta menemukan pemecahan masalahnya. Setiap anggota Polri menjadi pengemban Polmas. Sedangkan pengemban Polmas di desa atau kelurahan adalah Bhabinkamtibmas.


Berdasarkan itu semua gencarnya narasi radikalisme dan moderasi Islam hanyalah akal-akalan penguasa untuk menutupi kegagalan menyejahterakan rakyatnya, kegagalan mengatasi masalah multidimensi di negeri ini, menutupi kegagalan mengatasi wabah yang korbannya terus bertambah-tambah, bahkan menutupi jati dirinya sebagai bagian dari penjajah. Dan pastinya semua itu semata untuk menjegal kembalinya kebangkitan Islam (Khilafah) sebagai solusi atas masalah multidimensi negeri ini.


/Islam Kaffah dan Khilafah adalah Solusi/


Tafsir Islam Kaffah bahwa setiap dada yang telah beriman diseru untuk masuk ke dalam Islam secara kafah. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah : 208). Al-’Alim asy-Syaikh ’Atha bin Khalil pun menuturkan. Maka, kata as-silm dalam ayat ini adalah al-Islam, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibn ‘Abbas r.a. dan maksudnya adalah keseluruhan ajaran al-Islam yakni beriman terhadapnya tanpa pengecualian dan mengamalkan seluruh syariatnya tanpa yang lainnya. Artinya berakidah dengan akidah islamiah secara sempurna tanpa terkecuali dan mengamalkan syariat Islam saja tanpa syariat lainnya. Maka ayat ini jelas menolak konsep sekularisme yang memisahkan atau mengenyampingkan peran agama dalam mengatur kehidupan, sebagaimana didefinisikan al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani ketika beliau mengkritik pemahaman sesat sekularisme (al-‘ilmaaniyyah) yakni pemisahan agama dari kehidupan.


Makna kaaffah (كافّة), Ibn ‘Abbas, Qatadah, adh-Dhahhak dan Mujahid sebagaimana penuturan al-Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari bermakna jamii’an (جميعًا) yakni keseluruhan. Al-’Alim asy-Syaikh ’Atha bin Khalil menjelaskan, “Kaaffah adalah keterangan dari lafaz as-silm yakni as-silm keseluruhannya yang artinya al-Islam keseluruhannya. Dan asal-usul kata kaaffah dari ism al-faa’il (kaaffun) artinya yang menghalangi, dari kata kerja kaffa yakni mana’a (mencegah). Maka perkataan Anda: “Hal ini kaaffun” yakni yang mencegah untuk dibagi-bagi ke dalam pecahan, maka seakan-akan Anda mengatakan secara kiasan (hal ini semuanya atau seluruhnya) dengan hubungan sababiyyah.”


/Khilafah: Sistem Pemerintahan yang Allah Wajibkan/


Adapun dalil-dalil tentang kewajiban menegakkan Khilafah bisa dilihat rinciannya dalam Alquran, Sunah, serta ijmak’ sahabat.


1. Dalil Alquran. Allah SWT berfirman, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah.’” (TQS al-Baqarah : 30). Imam al-Qurthubi (w. 671 H), ahli tafsir yang sangat otoritatif menjelaskan, “Ayat ini merupakan hukum asal tentang wajibnya mengangkat Khalifah.” Bahkan dia kemudian menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) ini di kalangan umat dan para imam mazhab, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli tentang syariat) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Lihat, al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz I/2640). Dalil Alquran lainnya antara lain QS an-Nisa’ (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll. (Lihat, Ad-Dumaji, Al–Imâmah al–‘Uzhma ‘inda Ahl as–Sunnah wa al–Jamâ’ah, hal. 49).


2. Dalil Sunah. Di antaranya sabda Rasulullah saw.:“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” (HR Muslim). Menurut Syeikh ad-Dumaiji mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib. (Lihat, Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hal. 49). Nabi juga mengisyaratkan bahwa sepeninggal Baginda saw. harus ada yang menjaga agama ini, dan mengurus urusan dunia, dialah Khulafa’, jamak dari Khalifah (pengganti Nabi, karena tidak ada lagi Nabi). Nabi bersabda, “Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi (Bani Israil) wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” (HR Muslim).


3. Dalil Ijmak Sahabat. Imam as-Sarkhashi [w. 483 H] menegaskan, “Siapa saja yang mengingkari kedudukan ijmak sebagai hujah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini … Karena itu orang yang mengingkari ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini.” (Lihat, Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, Juz I/296). Karena itu, ijmak sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah tidak boleh diabaikan atau dicampakkan seakan tidak berharga karena (dianggap) bukan Alquran atau Sunah. Padahal, ijmak sahabat hakikatnya mengungkap dalil yang tak terungkap. (Lihat, as-Syaukani, Irsyadu al-Fuhul, hal. 120 dan 124). Imam al-Haitami menegaskan, “Sungguh para Sahabattelah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (Khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/Khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” (Lihat, Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).


Syari’at Islam kaffah sungguh tidak dapat diterapkan tanpa adanya Khalifah dan Khilafah, jika tidak ada Khilafah, lalu bagaimana? Cukuplah sudah 100 tahun tanpa khilafah menjadi acuan kita untuk terus bergerak memperjuangkan Islam dan kemuliaannya. Teruslah berjuang untuk melawan agenda global barat ini dan cukuplah pula ayat Allah SWT, ini sebagai peringatan: “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS At-Taubah: 32).


Wallahu a’lam bi showwab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم