Oleh: Eni Imami, S.Si (Pendidik dan Pegiat Literasi)
Muslimahvoice.com - Madrasah merupakan lembaga pendidikan formal bernafaskan Islam. Darinya diharapkan terwujud generasi Islami. Karena muatan pelajaran agama lebih banyak diberikan daripada sekolah umum. Nuansa keislamannya juga lebih kental. Pun guru-gurunya bervisi Islami sebagai teladan.
Sungguh mengherankan, ketika ada guru non muslim yang ditempatkan di madrasah. Guru yang bersangkutan juga mengalami kebingungan. "Awalnya saya kaget ketika menerima SK dan mengetahui bahwa saya ditempatkan di MAN Tana Toraja. Saya pikirnya akan ditempatkan di sekolah umum sesuai agamaku," ujar Eti dalam keterangan resmi di situs Kementerian Agama (Kemenag) Sulawesi Selatan (Sulsel) seperti dikutip pada Senin (1/2/2021).
Analis Kepegawaian Kementerian Agama (Kemenag) Sulsel Andi Syaifullah mengatakan, kebijakan penempatan guru beragama kristen di sekolah Islam atau madrasah sejalan dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) Republik Indonesia. Tentang pengangkatan guru madrasah khususnya pada Bab VI pasal 30. Tidak disebutkan calon guru harus beragama Islam. Jadi, siapa saja berhak mengajar di madrasah.
"Kan guru non muslim yang ditempatkan di madrasah ini akan mengajarkan mata pelajaran umum, bukan pelajaran agama. Jadi saya pikir tidak ada masalah. Bahkan ini salah satu manifestasi dari moderasi beragama, dimana Islam tidak menjadi ekslusif bagi agama lainnya," ungkapnya. (sulsel.suara.com, 30/1/2021)
Akhir-akhir ini moderasi agama menjadi salah satu program unggulan Kementerian Agama (Kemenag). Sebagai bukti keseriusan, Kemenag telah menetapkan berbagai kebijakan khususnya dalam dunia pendidikan. Mulai dari pelatihan guru agama sebagai ujung tombak moderasi. Merevisi ratusan buku pelajaran yang dianggap mengandung paham radikal. Menyusun modul Moderasi Beragama untuk siswa madrasah. Termasuk mengubah Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Bahasa Arab di madrasah-madrasah.
Atas nama moderasi pula Kemenag bisa menempatkan guru non muslim di sekolah Islam meski tak mengajar pelajaran agama. Semua ini tak lepas dari sistem pendidikan sekuler. Sistem yang memisahkan aturan agama dengan aturan kehidupan. Alhasil, pendidikan madrasah tak sepenuhnya bersandar pada Islam tapi bersandar pada kebebasan dan kompromi demi kepentingan.
Jika ditelaah lebih dalam, sesungguhnya moderasi agama bukanlah pemahaman orisinil dari Islam. Tidak memiliki historis keilmuan di kalangan fuqaha (ahli fikih). Moderasi agama masif digencarkan seiring masifnya dakwah Islam kaffah. Semakin banyak umat yang paham pentingnya politik Islam, dan ideologi Islam. Hal ini menjadi ancaman bagi ideologi sekuler-kapitalis. Oleh karenanya, Barat merekomendasikan proyek pemandulan ajaran Islam dengan gagasan moderasi beragama. Semua ini bagian dari realisasi Building Moderator Muslim Network and Corporation, lembaga thing tank AS pada 2007.
Moderasi agama dalam pendidikan madrasah di negeri Muslim terbesar di dunia ini bukan hanya salah kaprah, tapi berbahaya dan menyesatkan. Di antara bahayanya sebagai berikut; Pertama, akan mencetak generasi sekuler, yang inklusif dan sangat toleran. Dituntut menerima perbedaan ajaran agama, bahkan bisa menolak pemberlakuan syari'at Islam secara total.
Kedua, menyesatkan generasi muda dengan anggapan moderasi agama bagian dari ajaran Islam. Padahal konsep ini lahir dari kompromi atau jalan tengah dengan selain Islam. Jelas bertentangan dengan Islam sebagai ajaran yang Haq, tidak ada kompromi di dalamnya. Sebagaimana firman Allah, "Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui." (Qs. Al-Baqarah: 42)
Ketiga, memutar balikkan arah perjuangan generasi Muslim. Yang seharusnya membela Islam, justru membela pemikiran kufur produk Barat. Semacam HAM, pluralisme, kesetaraan gender, demokrasi dll.
Moderasi agama telah menghilangkan ketahanan ideologi generasi sebagai umat yang mulia dengan penerapan syariat Islam. Dengan demikian, madrasah tak akan mampu melahirkan generasi faqih fiddin. Adanya generasi yang sekadar tau agama namun loyal terhadap pemikiran Barat. Dalam waktu yang bersamaan menjalankan ibadah shalat, puasa, zakat, namun menolak jihad dan Khilafah. Padahal semua itu ajaran Islam.
Generasi muslim adalah aset masa depan Islam. Hanya dengan sistem pendidikan Islam mereka menjadi unggul. Karena menjadikan akidah Islam sebagai asasnya. Asas ini berpengaruh dalam penyusunan kurikulum, sistem belajar mengajar, kualifikasi guru, budaya yang dikembangkan dan interaksi di antara semua komponen penyelenggara pendidikan. Dengan demikian guru non muslim tidak akan ditempatkan dalam sekolah Islam.
Peranan guru sangat penting. Bukan sebatas transfer pengetahuan. Tapi sebagai pemimpin dalam memberikan keteladanan yang baik. Sehingga pengangkatan guru bukan demi pemerataan apalagi orientasi profit sebagaimana sistem sekuler saat ini.
Kualifikasi guru selain profesionalitas, ketakwaan juga menjadi syarat. Karena dari tangannya tujuan pendidikan Islam terealisasikan. Yakni mencetak generasi yang berkepribadian Islam. Menjadi tenaga ahli, baik dalam agama maupun pengetahuan dengan menguasai tsaqofah Islam. Memiliki keterampilan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk diterapkan dalam kehidupan.
Sistem pendidikan Islam sudah terbukti mampu mencetak ilmuwan sekaligus ulama' sekaliber Imam Syafi'i, Ibnu Sina, Al-Biruni, Al-Khowarizmi, dan masih banyak yang lainnya. Karya mereka memberikan sumbangsih peradaban dunia dan bisa dinikmati hingga saat ini. Umat Islam tak butuh moderasi agama dalam pendidikan untuk mencetak generasi unggul untuk masa depan. Allahu 'alam bis showab.[]