Oleh: Ummu Abed
Muslimahvoice.com - Selama tahun 2020, di Indonesia bukan hanya pandemi virus corona, tetapi kasus-kasus korupsi juga semakin mengganas di Tanah Air. Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merusak sendi perekonomian suatu negara. Tak terhitung berapa banyak kasus korupsi terjadi, misal di tahun 2020 kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (persero) bahkan di sebut sebagai kerugian besar bagi negara oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang mencapai hingga belasan triliun rupiah.
Kasus ini menyeret eks Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya periode 2008-2014, Syahmirwan dituntut selama 18 tahun penjara. Selain itu, kasus juga menyeret Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya 2008-2018, Hendrisman Rahim, ia dituntut 20 tahun penjara. Hendrisman terbukti melakukan korupsi yang merugikan keuangan negara senilai Rp16.807 triliun. Sementara mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya periode tahun 2013-2018, Hary Prasetyo dituntut penjara seumur hidup.
Kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari adalah tersangka dalam kasus penyuapan uang 500.000 dolar AS, sekitar Rp7,3 miliar dari buronan Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Edhy Prabowo ditangkap KPK. Dia ditangkap Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) bersama istri dan beberapa orang lainnya di Bandara Soekarno-Hatta sepulang dari Amerika Serikat. Kasus yang menjeratnya terkait ekspor benih lobster atau benur.
KPK menetapkan Edhy Prabowo sebagai tersangka pada 26 November 2020. Selain Edhy, KPK juga menetapkan enam tersangka lainnya yang juga terseret dalam kasus ekspor benih lobster atau benur.
Pada 27 November 2020, Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna ditangkap KPK. Penangkapan Ajay oleh komisi antirasuah tersebut dilaporkan terkait dugaan suap perizinan Rumah Sakit.
Pada 6 Desember 2020 lalu, KPK menetapkan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial Covid-19. KPK menduga Juliari menerima uang Rp 8,2 miliar.
Dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Sabtu, 5 Desember di beberapa tempat di Jakarta, petugas KPK mengamankan barang bukti uang dengan jumlah sekitar Rp14,5 miliar dalam berbagai pecahan mata uang yaitu sekitar Rp11, 9 miliar, sekitar 171,085 dolar AS (setara Rp2,420 miliar) dan sekitar 23.000 dolar Singapura (setara Rp243 juta). (PikiranRakyat.com /22/12/2018)
Sungguh miris korupsi semakin menggurita hampir di semua sektor, dari tingkat individu, kelompok politik sampai tingkat negara. KPK tak mampu menciptakan efek jerah bagi pelaku korupsi yang ada semakin menjamur laksana musim semi. Semua itu terjadi akibat demokrasi buah dari penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan para penguasa rakus akan kekuasaan yang diperoleh dengan biaya mahal.
Demokrasi dengan suara mayoritas, siapa yang mampu membayar politiknya dengan lebih mahal maka merekalah yang akan berkuasa. Sehingga tidak heran jika sudah menjadi penguasa maka bagaimana modal politiknya kembali bahkan bisa lebih. Sebagaimana di sampaikan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo menilai tingginya biaya politik menjadi salah satu penyebab demokrasi Indonesia prosedural dan transaksional. Untuk menjadi seorang bupati harus mengeluarkan uang puluhan miliar dan menjadi gubernur ratusan miliar.(Republika.co.id / 25/1)
Ketua MPR Zulkifli Hasan menilai salah satu masalah pelik Indonesia sampai saat ini yakni korupsi yang masih merajalela. Masih banyaknya perilaku koruptif itu, berkaitan erat dengan sistem demokrasi yang berbiaya tinggi.(Detik.com /2/10/2017).
Kondisi ini berbeda dengan Sistem Islam ketika diterapkan. Islam merupakan agama paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk urusan pemerintahan. Dalam pandangan Islam kekuasaan ada di tangan rakyat dan kedaulatan ada pada Allah (Alquran dan Hadis). Artinya kepala Negara (Khalifah) yang diangkat berdasarkan rida dan pilihan rakyat adalah mereka yang mendapat kepercayaan dari rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan Alquran dan Hadis.
Begitu pula pejabat-pejabat yang diangkat juga untuk melaksanakan pemerintahan berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Dalam Khilafah Islamiyyah pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota Majelis Ummah atau Majelis Wilayah berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi. Karenanya pemilihan dan pengangkatannya bisa mendapatkan kandidat yang betul-betul berkualitas, amanah dan mempunyai kapasitas serta siap melaksanakan Alquran dan Sunnah.
Sehingga mayoritas pejabat Negara tidak melakukan kecurangan, baik korupsi, suap maupun yang lain. Sekalipun demikian tetap ada perangkat hukum yang telah disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai negara.
Pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang dijalankan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Dalam pemerintahan Islam terdapat larangan keras menerima penggelapan uang , yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota atau bupati) dan para pegawai Negara dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik Negara maupun harta milik masyarakat. Pejabat akan memperoleh gaji atai tunjangan. Selain itu harta-harta yang diperoleh karena memanfaatkan jabatan dan kekuasaanya seperti suap, korupsi maka termasuk penggelapan uang atau harta yang diperoleh secara curang tidak bisa dimiliki dan haram hukumnya sebagaimana Tafsir Ibn Abbas:
" (Barangsiapa yang berkhianat) dari harta ghanimah sedikitpun, (maka pada hari kiamat ia akan datang) membawa apa yang dikhianatkannya itu pada leher-pundaknya, (kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan kecurangannya) setimpal, (sedang mereka tidak dianiaya) tidak dikurangi kebaikannya dan tidak ditambah keburukannya"
Adapun aturan yang diterapkan sistem Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyyah untuk mencegah korupsi, kecurangan dan suap adalah sebagai berikut:
Pertama, Badan Pengawasan atau Pemeriksa Keuangan. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan atau Pemeriksa Keuangan. Ditambah lagi keimanan yang kokoh akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah.
Firman Allah surat Al Fajr ayat 14 yang artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” Juga dalam surat Alhadid ayat 4:
“Dia (Allah) bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Pada masa Khalifah Umar bin Khatthab mengangkat pengawas, yaitu Muhammad bin Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat.
Kedua, gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Negara Khilafah memberikan gaji yang cukup kepada pejabat atau pegawainya, gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier. Di samping itu dalam pemerintahan Islam biaya hidup murah karena politik ekonomi negara menjamin terpenuhinya kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif, akan digratiskan oleh pemerintah seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, jalan dan birokrasi. Sedangkan kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga yang murah. (Abdurrahman al Maliki, Politik Ekonomi Islam, Bangil: Al Izzah, 2001)
Ketiga, ketakwaan individu. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai Negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Karenanya mereka memiliki self control yang kuat. Sebagai seorang Muslim akan menganggap bahwa jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan benar, karena akan dimintai pertanggung jawaban di dunia dan akhirat. Dengan demikian seorang Muslim akan menjadikan amanah atau jabatannya itu sebagai bekal masuk surga. Firman Allah surat Alhasyr ayat 18:
"Hai orang-orang yang beriman, kepada Muhammad SAW dan Alquran, (bertakwalah) takutlah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan (apa yang telah diperbuatnya) pahala atau kebaikan (untuk hari esok-akhirat) apa yang dikerjakan untuk hari kiamat, maka engkau akan menemui pada hari kiamat apa yang kau kerjakan di dunia. Jika kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan dibalas dengan keburukan)"
"(Dan bertakwalah kepada Allah) takutlah kepada Allah apa yang kau kerjakan, (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan) baik kebaikan maupun keburukan."( Ibn Abbas, Tanwir Miqbas Juz II, hlm78)
Ketakwaan individu juga mencegah seorang Muslim berbuat kecurangan, karena dia tidak ingin memakan dan memberi kepada keluarganya harta haram yang akan mengantarkannya masuk neraka. Firman Allah SWT surat Attahrim ayat 6 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
Keempat, amanah. Dalam pemerintahan Islam setiap pejabat atau pegawai wajib memenuhi syarat amanah. Yaitu wajib melaksanakan seluruh tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Sebagaimana Firman Allah surat Almukminun ayat 8:
Dan sungguh beruntung orang-orang yang memelihara amanat-amanat (melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan janjinya (menepati janjinya baik kepada Allah maupun kepada manusia).(Ibn Abbas Tanwir Miqbas, Tafsir surat Almukminun ayat 8)
Berkaitan dengan harta, maka calon pejabat/ atau pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya saat menjabatpun akan dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan, maka diverifikasi apa ada penambahan hartanya itu secara syar’i atau tidak. Jika terbukti dia melakukan kecurangan atau korupsi, maka harta akan disita, dimasukkan kas negara dan pejabat tersebut akan diproses hukum.
Khalifah Umar bin Khatthab pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika bertambah sangat banyak, tidak sesuai dengan gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk menyitanya.
Rasulullah pernah menyita harta yang dikorupsi pegawainya. “Nabi pernah mempekerjakan Ibn Atabiyyah, sebagai pengumpul zakat. Setelah selesai melaksanakan tugasnya Ibn Atabiyyah datang kepada Rasulullah seraya berkata: “Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang kepadaku…lalu Rasulullah bersabda: Seorang pegawai yang kami pekerjakan, kemudian dia datang dan berkata: “Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang kepadaku. Apakah tidak lebih baik dia duduk (saja) di rumah bapak atau ibunya, kemudian dapat mengetahui apakah dia diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang nyawaku ada di tanganNya, salah seorang dari kalian tidak akan mendapatkan sedikitpun dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat dia akan datang dengan membawa unta di lehernya…(HR. Bukhari-Muslim, Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm. 119).
Kelima, penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras. Hukuman nya bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Semua itu tidak akan pernah terjadi pada sistem kapitalisme sekuler dalam kedok demokrasi. Namun hanya akan bisa ditegakkan di sistem Islam dalam bingkai Khilafah.[]