Koreksi Angka Pertumbuhan Bukan Solusi Pulihkan Ekonomi

 



Oleh Dyan Ulandari


Muslimahvoice.com - Beberapa waktu lalu Menkeu, ADB, dan IMF menarasikan optimisme meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun dikoreksi karena kebijakan yang berjalan terbukti tidak efektif menurunkan angka penyebaran virus dan penanganan kasus. Namun apakah dengan adanya koreksi angka pertumbuhan termasuk solusi untuk pulihkan ekonomi?


Seperti halnya Menteri Keuangan Sri Mulyani yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2020 berkisar minus 1,7 persen hingga minus 2,2 persen. Perkiraan ini jauh lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar minus 1,7 persen hingga di level positif 0,6 persen. Sri Mulyani mengatakan sepanjang tahun, negara mengalami tantangan berat karena pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung mempengaruhi kegiatan ekonomi. Menurut Sri Mulyani, menurunnya aktivitas masyarakat membuat kegiatan ekspor dan impor turun. (tempo.co, 4/1/2021)


Country Economist ADB (Asian Development Bank) untuk Indonesia Emma Allen dalam ADB Indonesia Year-End Media Gathering, Kamis (10/12/2020) mengatakan bahwa Indonesia merupakan satu dari tiga negara yang mengalami koreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2020. ADB merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun tersebut. (kompas.com, 10/12/2020)


Pertumbuhan ekonomi dengan angka yang tinggi serta kembali pulihnya ekonomi di kala wabah dianggap menjadi indikator kesejahteraan rakyat. Padahal pemulihan ekonomi yang bertujuan untuk menyejahterakan seluruh rakyat tak bisa dinilai dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja, namun harus ditopang dengan pemerataan (kesempatan akses terhadap kebutuhan). Karena ukuran pertumbuhan ekonomi yang selama ini diadopsi oleh sistem kapitalisme di seluruh negara, baik negara maju maupun berkembang hanya mengacu pada GNP (Gross National Product) Potensial.


GNP sendiri terbukti kegagalannya sebagai acuan kesejahteraan seluruh masyarakat, mengapa? Hal ini karena ia berarti menggambarkan pertumbuhan secara agregat saja. Padahal pertumbuhan yang ideal haruslah pertumbuhan yang riil, yaitu pertumbuhan orang per orang (kemakmuran orang per orang). Maka patut dipertanyakan terkait upaya pemulihan ekonomi berdasarkan acuan angka GNP semata. Bak jauh panggang dari api.


Sebagai contoh ketidakmampuan GNP dijadikan acuan pertumbuhan serta pemulihan ekonomi diantaranya adalah yang terjadi masa tahun 1995. Di saat Indonesia mendapat julukan negara macan asia karena angka pertumbuhan ekonomi yang dinilai fantastis (mencapai 8,07%). Namun di saat tak begitu lama yakni tahun 1997 ketika negara ini menghadapi krisis moneter, pada tahun yang sama dan disusul tahun-tahun berikutnya banyak bank swasta dilikuidasi, bank masuk daftar BTO (Bank Take Over), dunia usaha banyak yang beruguguran, perekonomian goncang, tingkat pengangguran dan kemiskinan yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa angka pertumbuhan yang bahkan tinggi tersebut hanyalah angka semu, bukan riil.


Maka dari itu koreksi tinggi rendahnya angka pertumbuham ekonomi ala kapitalistik tak berbanding sama dengan pemulihan ekonomi yang diharapkan. Terlebih ketika terdampak wabah negara tergagap tak punya kesiapan budget hingga program efektifasi pencegahan serta penanganan dalam hal kesehatan dari awal tak begitu diprioritaskan.


Padahal kembali normalnya wilayah yang berdampak wabah menuju bebas wabah adalah faktor penting untuk pemulihan kegiatan ekonomi. Maka jika hari ini di saat wabah telah naik tahta menjadi pandemi, justru harus bergegas memulihkan kondisi kesehatan masyarakat secara serius dan totalitas.


*Pemulihan Ekonomi Dalam Islam*


Namun tentu saja hal seperti di atas tak akan mudah bahkan tak bisa dilakukan selama unsur sekuleris-kapitalistik yang dijadikan pedoman. Penguasa tak merasa terikat dan tak begitu memiliki tanggung jawab kelak di hadapan Allah SWT terhadap hal-hal yang menyangkut nyawa rakyatnya. Bahkan perasaanya enggan terhadap petunjuk penanganan wabah yang telah disiapkan-Nya.


Padahal jikalau mengacu pada Islam petunjuk Allah Yang Maha Tahu, atas izin-Nya akan diperoleh solusi untuk permasalahan penanganan wabah yang dianggap mempengaruhi ekonomi serta dicapai pertumbuhan riil yang justru sebenarnya didambakan oleh masyarakat.


Dalam menghadapi wabah misal, dalam Islam diperintahkan untuk melakukan lockdown lokal, karantina sementara bagi wilayah yang terkena dampak wabah. Dengan begitu orang yang sakit akan terpisah dari orang yang sehat sehingga konsentrasi terhadap penanganan masyarakat yang terkena wabah akan lebih mudah dan optimal. Selain itu dari sisi medis sudah dipersiapkan tenaga medis dan para ilmuwan yang siap mengerahkan kemampuan dan ilmunya untuk mengetahui karakteristik wabah. Di luat itu, terdapat pos anggaran dari baitul mal yang memang sudah dipersiapkan untuk alokasi bencana atau keadaan darurat termasuk wabah.


Ketika dihadapkan pada wabah misal, Allah memerintahkan kita untuk melakukan lockdown lokal yakni karantina sementara bagi wilayah yang terkena dampak wabah. Dengan begitu orang yang sakit akan terpisah dari orang yang sehat sehingga konsentrasi terhadap penanganan masyarakat yang terkena wabah akan lebih fokus dan optimal. Sedangkan bagian wilayah yang tidak terdampak wabah berjalan sebagaimana biasa.


Selain itu dari sisi medis senantiasa dipersiapkan tenaga kesehatan dan para ilmuwan yang siap mengerahkan kemampuan dan ilmunya untuk mengetahui karakteristik wabah. Di luar itu, pos anggaran yang bersumber dari baitul mal memang juga sudah tersedia untuk alokasi bencana atau keadaan darurat termasuk wabah. Maka di luar wabah maupun ketika terjadi wabah, negara tetap bisa menyelenggarakan pelayanan kesehatan cuma-cuma ke seluruh rakyatnya.


Allah yang paling mengetahui seluruh isi alam semesta, manusia, hingga makhluk kecil tak kasat mata bernama virus dan sejenisnya. Maka sungguh masuk akal solusi yang ditawarkan-Nya adalah yang terbaik dari segala pilihan, termasuk hal wabah dan pemulihan ekonomi. Allah SWT berfirman:

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ...

"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?..." (QS. Al Hajj: 70)


وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚوَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚوَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا...


"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula),..." (QS. Al An'am: 59)


Allahua'lam bisshowab. []

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم