Korban Baru ‘Gebuk’ Radikalisme




Muntik A. Hidayah

(Pegiat Literasi) 


Muslimahvoice.com - Gebuk radikalisme lagi-lagi memakan korban. Sudah berjalan beberapa tahun sejak awal kehebohannya di negeri ini, ia terus saja menimbulkan kegaduhan di tengah umat. Dan sudah bukan rahasia lagi, bahwa isu ini selalu saja berujung pada fitnah bertubi-tubi pada umat Islam, khususnya pada para pengemban dakwahnya yang teguh menyuarakan opini Islam.


Bermula dari pencabutan badan hukum HTI, dengan dalih perjuangan menegakkan syari’ah Islam dan Khilafah. Berlanjut dengan FPI, yang dalam ADART-nya juga termaktub usaha mendirikan Khilafah. Meskipun bisa dikatakan masih sedikit lunak, yakni dalam naungan NKRI bersyari’ah. Tapi toh juga tidak menghalangi pemrosesan kasusnya, begitu sentimen rezim ini pada ajaran Islam Khilafah. Kini gebuk itu menyasar seorang tokoh dari Muhammadiyah, mantan Sekretaris Umum MUI (2000-2005), Din Syamsuddin. Lantas darimana lagi korban berikutnya?


Pada dasarnya isu ini senantiasa menyerang ormas-ormas Islam dan orang-orang yang teguh memegang dan memperjuangkan Islam. Tidak pernah kita dapati korban lain dari isu yang terus ‘digoreng’ ini.


Slogan Pancasila dan NKRI harga matilah yang senantiasa dijadikan dalih atas berbagai sikap menyudutkan Islam dan mempersekusi para pengemban dakwahnya. Padahal jika kita mundur menengok kembali sejarah kemerdekan Indonesia dengan segala dinamika keberlangsungan negara ini, Pancasila dan NKRI senantiasa dinamis. Bisa dan absah untuk diubah. Sebagaimana dulu tercatat dalam sejarah bahwa bentuk negara kita pun pernah berubah menjadi Republik Indonesia Serkat (RIS). Tidak hanya itu, pada saat yang sama, muqaddimah konstitusi RIS juga menghapus jiwa dan isi pembukaan UUD 1945 yang terkandung di dalamnya butir-butir Pancasila. Tidak lama kemudian menegakkan kembali NKRI dan memberlakukan UUDS 1950.


Dari sini kita melihat bahwa “the founding fathers” pun tidak menafikan perubahan Pancasila dan NKRI sebagai hasil dari dinamika internal dan eksternal yang memerlukan perubahan dengan cepat. Disamping itu, tidak pernah pula menyatakan bahwa Pancasila dan NKRI adalah harga mati.


Sungguh jelas, bak gajah di kelopak mata, isu radikalisme ini sarat akan kepentingan politis-ideologis. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ustadz Fathy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy dalam bukunya “Pancasila dan NKRI: Harga Mati?”, menggunakan semboyan Pancasila dan NKRI harga mati adalah sikap ahistoris dan sarat nuansa politis serta sikap berlebihan-lebihan terhadap Pancasila dan NKRI.


Pada akhirnya, kita bisa menarik kesimpulan bahwa gaung isu radikalisme ini tidak lain adalah upaya untuk menghambat tegaknya kepemimpinan kaum muslimin transnasional dalam satu naungan kepemimpinan sistem Islam, Khilafah Islamiyah. Ajaran Islam yang begitu ditakuti oleh rezim di Indonesia dan seluruh dunia hari ini.


Sudah saatnya umat Islam bergerak, memperjuangkan tegaknya janji Ilahi dan tidak termakan tipu daya para pembenci. Sebab Allah ﷻ telah berfirman:

وَمَكَرُوا۟ وَمَكَرَ ٱللَّهُ ۖ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلْمَٰكِرِينَ


“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Ali ‘Imran: 54).[]



*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم