Oleh: Siti Nur Rahma
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Muslimahvoice.com - Beredar fakta miris, RE Koswara seorang kakek berusia 85 tahun digugat anak kandungnya sendiri di Pengadilan Negeri kelas IA Bandung, Selasa 19 Januari 2021. Deden anak kandung kakek tersebut, menggugat ayahnya dengan gugatan senilai Rp 3 miliar serta ganti rugi material sebesar Rp20 juta. (Kompas.tv).
Hal ini disebabkan karena adanya persoalan sewa tanah dari pihak RE Koswara kepada Deden secara lisan. RE Koswara ingin menjual tanah yang disewakan tersebut dan meminta Deden menutup usaha warung klontong yang dibangun olehnya. Lantas Deden tidak terima dan ingin menggugat ayah kandungnya dengan mengajak ketiga adik-adiknya, yakni Masyitoh, Ajid dan Muchtar.
Masyitoh sebagai pengacara Deden dikabarkan meninggal dunia karena terkena serangan penyakit jantung sehari sebelum persidangan dimulai, yakni Senin 18 Januari 2021. RE Koswara baru mengetahui kabar anak ketiganya meninggal saat pengadilan diselenggarakan. Dan pengacara Deden digantikan oleh Komar Sarbini.
Diketahui, kakek Koswara sempat mencoret 4 anaknya, termasuk almarhumah Masyitoh dari kartu keluarga karena menggugat dirinya. Kakek tersebut begitu kecewa kepada mereka. Koswara telah bercucuran keringat untuk menyekolahkan hingga perguruan tinggi. Namun saat dewasa mereka tega menggugat Rp 3 miliar.
‘’Saya uang dari mana. Menyekolahkan mereka juga sudah lebih dari itu (Rp 3 M). Nyarinya juga hujan panas berangkat untuk cari uang demi keperluan mereka, sekarang mah saya mau istirahat.’’ Ucap Koswara. (tribunnews.com)
Kemudian setelah mengikuti beberapa proses hukum di pengadilan, Deden kemudian mengakui kesalahan dan akan meminta maaf serta siap sujud di kaki sang ayah RE Koswara.
Kakek dengan enam anak tersebut mengutarakan keinginan menjual tanahnya untuk pembangunan mesjid dan sebagian hasil penjualannya juga untuk dibagikan kepada anak-anaknya. Namun apa daya, belum terwujud keinginannya, persoalan duniawi datang sebagi ujian hidupnya.
Sejatinya anak adalah anugerah yang diberikan Allah kepada hambaNya. Anak juga merupakan amanah yang berhak mendapatkan pengasuhan dan pendidikan yang benar dalam hidupnya. Sebab anak adalah manusia yang mempunyai akal, bukan sebuah robot yang hanya diberi energi untuk sekedar bisa hidup dan beraktivitas, namun anak juga membutuhkan naluri kasih sayang dan akidah hidup yang shohih.
Saat ini, di era kapitalisme yang menjadi aturan hidup di setiap lini kehidupan menjadikan tujuan hidup seseorang adalah materi. Lantas memisahkan nilai agama dalam kehidupan dunia sehingga hal ini bisa membelokkan tujuan pendidikan. Yakni tujuan yang seharusnya mampu mewujudkan manusia bertakwa yang memiliki kepribadian Islam yang mutamyyizah (khas), bergeser menjadi pendidikan yang berorientasi selembar ijazah untuk mendapatkan kerja.
Dengan tujuan pendidikan yang berasas materi, sejatinya dalam pendidikan sekuler tidak ada manusia bertakwa itu secara hakiki, karena dalam kurikulumnya agama terpisah dari kehidupan. Manusia yang hidup di alam kapitalisme-sekularisme akan menjadikan definisi takwa adalah jika sudah menunaikan sholat, puasa dan berhaji, namun saat bermuamalah dengan manusia lain tidak menjadikan agama Islam sebagai aturan hidupnya, melainkan kebebasan. Sehingga ketika dewasa tidak aneh ketika kita dapati seorang anak yang tega memeja hijaukan ayah kandungnya dengan sebab perkara harta duniawi.
Di dalam kurikulum sekuler akan menjadikan tsaqofah asing atau selain islam sangat mudah masuk ke dalam kepribadian anak. Apalagi jam pelajaran agama hanya mendapat porsi yang sedikit, yakni dua jam dalam seminggu. Jika tsaqofah islam tidak tuntas diberikan kepada anak maka anak akan terdidik dengan tsaqofah asing. Sehingga ketika anak sudah dewasa maka akan terbentuk kepribadian selain islam.
Sebuah tsaqofah akan membentuk kepribadian anak karena tsaqofah muncul dari sebuah akidah. Jika anak memahami dan mengambilnya sebagai referensi maka pemahaman itu yang akan menjadi pola tingkahnya. Misalnya saat disekolah diberi pelajaran tentang demokrasi yang asasnya adalah sekuler akan mengajarkan empat kebebasan, yakni kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan, dan kebebasan berekspresi. Ketika anak menjadikan kebebasan sebagai pemahamannya maka anak tidak mau terikat dengan aturan islam, sebab demokrasi mengajarkan membuat aturan sendiri untuk kehidupannya.
Saat ada konflik atau masalah anak akan menjadikan pola pikir kebebasan sebagai tingkahnya dalam menyelesaikan masalah. Dalam kasus anak menggugat ayah kandungnya di pengadilan juga merupakan bentuk dari pengaruh kapitalis-sekuler. Anak merasa bebas untuk melawan siapapun yang menghalangi tujuan hidupnya demi meraih materi yang diinginkan, meskipun dalam islam itu tidak diajarkan.
Pembentukan kepribadian anak yang benar haruslah dengan pembinaan akidah, kemudian pembinaan dan pembiasaan ibadah sebagai cerminan akidah anak. Lalu dengan pendidikan akhlak dan pembentukan jiwa, yakni dengan pemberian kasih sayang kepada anak dalam bentuk langsung, seperti belaian, bermain dan bercanda dengan mereka. Kemudian pembentukan intelektualitas anak dan interaksi sosial kemasyarakatan.
Karena sejatinya orang tua tidak cukup hanya memasrahkan pendidikan anak kepada sekolah dan perguruan tinggi saja agar anak menjadi insan yang mulia. Butuh adanya keluarga yang memahami ideologi islam, lingkungan masyarakat yang menganut dan menjalankan syariah islam, serta Negara yang menerapkan sistem pendidikan islam.
Dengan penerapan islam secara kaffah (menyeluruh), tak akan lagi ditemukan kisah miris keluarga sebagai korban penerapan sistem kapitalisme yang merusak. Islam akan memanusiakan manusia dengan aturan mulia dari Sang Pencipta. Menjadikan rahmat disetiap segi kehidupan termasuk keluarga harmonis hingga akhir hayat. Hanya islam yang mampu mewujudkan cinta dan kasih sayang yang hakiki dalam keluarga yang penuh dengan ketakwaan kepada Ilahi robbi.[]