Oleh: Pipit Agustin (Koordinator JEJAK)
Muslimahvoice.co. - Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung menyatakan pemerintah saat ini membutuhkan 'kritik pedas, keras, dan terbuka' dari media. Seskab Pramono Anung menyampaikan hal tersebut dalam rangka menyambut Hari Pers Nasional (HPN) yang jatuh tepat hari ini, Selasa 9 Februari 2021 lalu.
“Bagi pemerintah, kebebasan pers, kritik, saran, masukan itu seperti jamu, menguatkan pemerintah. Kita memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras, karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun lebih terarah dan lebih benar,” ujar Pramono dalam video yang diunggah di laman resmi Sekretariat Kabinet, Selasa, 9 Februari 2021.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta masyarakat untuk rajin menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung maladministrasi di dalam birokrasi Indonesia. Pernyataan tersebut belakangan menuai sorotan sebab, di sisi lain polisi kerap menangkap seseorang atas dugaan pelanggaran UU ITE.
Menurut Analis Sosial Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun, ada semacam politik wajah ganda kekuasaan, dia munafik kekuasaan, kekuasaan berwajah munafik. Satu sisi menyatakan sesuatu yang positif. Tapi praktik yang terjadi bertolak belakang.
Sorotan atas pernyataan Jokowi itu kian membesar, terutama di jagat media sosial karena netizen dihadapkan pada realitas para pendengung (buzzer) hingga Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Keduanya bisa menjerat mereka yang lantang mengkritik, terutama lewat dunia maya. Aturan itu sering kali menjerat orang-orang yang kritis terhadap pemerintah.
Belakangan begitu marak orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah berakhir dirundung buzzer pada akun media sosial mereka. Kejadian itu menimpa kalangan artis, musisi, politisi, mantan menteri, budayawan, aktivis Islam dan ulama yang kritis.
Kekhawatiran berpendapat juga sempat disampaikan ekonom yang juga kader PDIP Kwiek Kian Gie. Kwik bahkan membandingkan kondisi saat ini dengan Orde Baru. Pada rezim yang terkenal otoriter itu, Kwik mengaku masih bisa leluasa menyampaikan kritik via media massa. Namun saat ini, ia takut melakukan hal itu.
"Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil," ucap Kwik di akun Twitter pribadinya.
Fenomena ini menunjukkan kepada kita bahwa iklim politik demokrasi sedang dan akan terus bermetamorfosis menjadi otoriter dan represif. Hal ini dikuatkan dengan penurunan indeks demokrasi.
Menurut laporan tahunan The Economist Intelligence Unit, indeks demokrasi Indonesia berada pada peringkat ke-64 dunia. Dengan skor 6,8, posisi Indonesia tertinggal dari Malaysia, Timor Leste dan Filipina. Ini merupakan yang terendah selama 14 tahun terakhir.
Dalam laporannya, EIU mencatat lima instrumen penilaian indeks demokrasi. Yakni proses pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Skor untuk kebebasan sipil paling rendah ketimbang empat instrumen lainnya, yakni 5.59. (Kompas.com)
Merosotnya kualitas demokrasi Indonesia juga terlihat dari hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada Oktober 2020. Hasil survei tersebut menunjukkan mayoritas masyarakat setuju bahwa mereka makin takut menyampaikan pendapat.
Sudah waktunya semua menyadari bahwa iklim negara demokrasi tak cocok bagi kelangsungan hidup aspirasi dalam rangka membangun negeri yang humanis. Prinsip kebebasan berpendapat yang katanya dijamin dalam konstitusi demokrasi sedang mengalami cedera berat akibat terjangan badai saling lapor kepada aparat. Problemnya jelas, standar kebebasan yang dimaksud bersifat multitafsir alias suka-suka. Belum lagi menyoal kebenaran faktanya. Kabur terbawa angin politik koncoisme yang dibeckingi dana dari kasta korporat dan oligarki. Paradigma bernegara seperti ini hanya akan menciptakan ketidakstabilan di mana-mana, memelihara konflik.
Upaya mengakhiri iklim ekstrem ini harus dengan mengubah paradigma yang ada. Mengganti mindset baper dan kekanak-kanakan. Upaya itu bukan sesuatu yang mustahil terlebih jika kita melihat bagaimana sejarah Islam melakukan perombakan tatanan sosial dan paradigma masyarakat zaman jahiliyah dahulu. Rasulullah ﷺ menempuh langkah politik dengan sinkronisasi syariat Islam ke dalam tata nilai sosial masyarakat di negara Madinah.
Islam menjadikan amar ma'ruf nahi mungkar sebagai platform utama. Bahkan, Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
"Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim" (H.R. Imam Ahmad dari Abu Said al-Khudzri)
Imam Muslim mengeluarkan hadis dari Umi Salamah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"Akan ada para pemimpin, lalu kalian akan mengetahui kema'rufannya dan kemungkarannya, maka Siapa saja yang mengetahui (kemungkaran, lalu membencinya), maka dia akan bebas, dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat. Tetapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)."
Dari kedua hadis di atas, jelas sekali bahwa melakukan koreksi/kritik terhadap penguasa adalah kewajiban, bukan sekadar hak warga negara. Islam memerintahkan kaum muslimin agar melakukan koreksi terhadap penguasa mereka dengan sifat yang tegas. Yaitu apabila para penguasa itu merampas hak rakyat, mengabaikan kewajiban terhadap rakyat, melalaikan salah satu urusan rakyat, menyimpang dari hukum-hukum Islam atau memerintah dengan selain hukum yang diturunkan oleh Allah.
Anggota perwakilan rakyat dalam Islam atau disebut sebagai majelis ummat dalam kapasitasnya sebagai wakil kaum muslimin dan juga nonmuslim, berhak menyampaikan pendapat tanpa adanya pencekalan maupun kesulitan apapun. Mereka berhak mengoreksi tindakan Khalifah dan para wakil serta stafnya selama Majelis Ummat terikat dengan hukum syara ketika menyampaikan muhasabah dan kritiknya.
Hukum syariat yang berasal dari Al-Qur'an dan hadis berfungsi sebagai standar untuk menilai benar dan salah, sehingga standar ini terhindar dari tafsir karet dan penyelewengan. Berbeda dengan standar karet dalam produk UU buatan manusia. Ia disesuaikan dengan kepentingan penguasa.
Kritik, sepedas apapun tetap akan didasarkan pada dalil-dalil syar'i. Tidak akan menjatuhkan, apalagi bernuansa kebencian. Keberadaan kritik semata sebagai wujud sense of belonging terhadap kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Kritik sebagai bentuk kepedulian agar penguasa tetap on the track dan tidak menyimpang dari hukum Allah. Sebab amanat berat yang diemban oleh penguasa adalah menerapkan Islam agar menjadi rahmat bagi alam semesta.[]