Oleh: Siti Nur Rahma
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Muslimahvoice.com - Pada akhir bulan Januari 2021, Kementerian Agama tunjukkan aturan guru kristen bisa mengajar di sebuah Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Analisis Kepegawaian Kementerian Agama (kemenag) Sulsel Andi Syaifullah mengatakan, kebijakan penempatan guru beragama Kristen di sekolah islam atau madrasah sejalan dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) Republik Indonesia. Tentang pengangkatan guru madrasah khususnya pada Bab VI pasal 30. SuaraSulsel.Id
Eti Kurniawati adalah seorang calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang mendapat SK pengangkatan sebagai guru CPNS dengan penempatan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Tana Toraja. Eti kaget ditempatkan di sekolah islam, pasalnya Eti yang merupakan alumni Geografi Universitas Negeri Makassar (UNM) beragama Kristen. Hal ini akan berbeda dengan kebiasaan Eti yang tidak memakai jilbab dikesehariannya.
Andi Syaifullah mengatakan, ‘’Kan guru non muslim yang ditempatkan di madrasah ini akan mengajarkan mata pelajaran umum, bukan pelajaran agama. Jadi saya piker tidak ada masalah. Bahkan ini salah satu manifestasi dan moderasi beragama, dimana islam tidak menjadi ekslusif bagi agama lainnya,’’ dikutip dari laman resmi Kementerian Agama Sulawesi Selatan, Sabtu 30 Januari 2021.
Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Kementerian Agama, Muhammad Zain menegaskan guru non muslim tak melanggar aturan untuk mengajar di madrasah. Jakarta, CNN Indonesia.
Zain menegaskan kebijakan tersebut sudah sejalan dengan regulasi sistem merit. Sistem merit adalah kebijakan dan manajemen SDM yang berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar. Kebijakan itu juga tak membedakan latar belakan politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Dikutip dari cnnindonesia.com.
Sejatinya bukan hanya sekedar berbicara perbedaan lintas agama dan kebhinekaan, namun pendidikan dalam islam sejatinya urusan penting yang tidak boleh serampangan dilakukan untuk pembentukan akidah generasi. Mengadakan guru non muslim di sebuah madrasah haruslah dipahami dengan benar dampak dari sebuah figur keteladanan, sebab guru tidak hanya mentransfer ilmu melainkan juga sebagai penanam kepribadian bagi anak didiknya.
Seperti halnya bagi orang tua, seorang murid akan melihat fakta konkret dari pola berpikir dan pola perilaku seorang guru dalam setiap aktivitas belajar mengajarnya untuk digugu dan ditiru. Sehingga orang tua dan guru adalah role model kepribadian langsung yang ditiru anak, sedang Rasulullah adalah teladan hakiki. Oleh karena itu adanya guru non muslim di ranah madrasah adalah hal yang tak seharunya terjadi dalam pendidikan islam.
Meskipun alasan kemenag bahwasanya guru yang mengajar di madrasah adalah guru umum, bukan merupakan guru agama yang tidak akan menjadi masalah, namun sejatinya hal ini juga akan berdampak pada pendangkalan akidah generasi. Sebab mata pelajaran penunjangpun, seperti sains,geografi, matematika, teknologi dan kemahiran juga harus disinergikan dengan akidah islam.
Mislanya, pada mata pelajaran geografi juga harus diintegrasikan dengan tsaqofah islam. Untuk sederhananya pada pelajaran geografi dikenalkan erupsi gunung berapi yang bertujuan untuk memahami gunung berapi dan penyebab letusannya. Kemudian materi tersebut dikaitkan dengan keimanan pada kekuasaan Allah dan hari kiamat sehingga anak didik akan terdorong untuk menambah amal sholih seperti sholat tepat waktu, tahfidz, dll.
Selain kurikulum berbasis akidah islam, pendidkan di dunia islam juga mengunakan metode baku dalam penyampaian materi, yakni dengan metode berpikir talaqqiyan fikriyan untuk membentuk anak-anak pemikir (mufakkirin) bukan hanya sekedar menghafal dan paham materi. Sehingga dengan proses berfikir yang dilakukan yakni mengaitkan fakta yang diindera dengan informasi sebelumnya kemudian dicerna oleh otak maka anak akan mengetahui hakekat pelajaran yang difikirkannya. Sehingga anak mampu memahami sebuah realitas kehidupan untuk bisa dipahami dan dipecahkan sesuai dengan solusi islam.
Di madrasah, kurikulum idealnya adalah kurikulum islam dan pengajarnya adalah seorang muslim, namun jika selain itu maka tidak akan mewujudkan generasi yang berakidah islam, namun justru adalah pendangkalan akidah. Sebab hal ini merupakan upaya moderasi yang digencarkan pemerintah termasuk juga dengan adanya SKB 3 menteri tentang larangan menggunakan atribut keagamaan dalam sekolah yakni jilbab. Semangat menutup aurat untuk taat pada syariat dipatahkan, sedangkan di ranah kondusif yakni madrasah dikontaminasi dengan pengajar non muslim.
Miris.
Sesungguhnya dalam kebijakan sebuah pendidikan dalam islam, tidak diperkenankan untuk seorang anak muslim untuk bersekolah di sekolah asing yang deras dengan tsaqofah barat. Hal ini karena akan mempengaruhi tsaqofah yang dimiliki anak dalam pembentukan kepribadiannya. Dan bila pengajar muslim hendak mengajar di sekolah asing atau selain sekolah islam, maka jika membahayakan akidah seorang pengajar maka tidak diperkenankan untuk mengajar di sekolah atau lembaga asing tersebut. Begitu pula jika ada guru Kristen yang hendak ditempatkan di madrasah, jelas tidak akan sampai pada tujuan pendidikan islam, yakni membentuk kepribadaian islami.
Oleh sebab itu perlu adanya regulasi sistemis yang bisa menjadikan pendidikan islam, baik dalam kurikulum, dan sumber daya pendidiknya untuk menggapai tujuan utamanya. Sehingga jika diterapkannya aturan islam di segala aspek kehidupan, termasuk aspek pendidikan, maka tak perlu lagi bingung gonta ganti kurikulum serta salah penempatan tenaga pendidik untuk mewujudkan kerahmatan bagi seluruh alam.[]