Endah Sulistiowati
Dir. Muslimah Voice
Muslimahvoice.com - Peluncuran Gerakan Wakaf Uang oleh pemerintahan Jokowi Ma’ruf pada Senin Senin (25/01) lalu, nyatanya justru mendapat respons negatif di media sosial. Sentimen negatif di media sosial terhadap Gerakan Nasional Wakaf Uang versi Jokowi sangat kuat di media sosial, terutama twitter. Dalam dua hari pascapeluncuran, ada total 12.607 cuitan. Dari total tersebut sebanyak 6.300 cuitan negatif, yang bernada positif 5.711, sementara bermuatan netral hanya 567 cuitan. (Republika.co.id).
Belum tuntas kehebohan masyarakat di jagad maya, pemerintah Jokowi kembali berulah. Kali ini melalui Menteri Keuangan terbaiknya Sri Mulyani mengenakan akan Pajak Penjualan Nilai (PPN) atas pembelian pulsa dan kartu perdana.
Pungutan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Serta Pajak Penghasilan Atas Penyerahan Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer.
Dalam Pasal 13 ayat 1 beleid yang diteken Sri Mulyani pada 22 Januari 2021 lalu tersebut besaran pajak dihitung dengan mengalikan tarif PPn 10 persen dengan dasar pengenaan pajak.
Pungutan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Serta Pajak Penghasilan Atas Penyerahan Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer.
Adapun dalam Pasal 13 ayat 2 disebutkan dasar pengenaan pajak adalah harga jual yang besarannya sama dengan nilai pembayaran yang ditagih oleh pengusaha penyelenggara jasa telekomunikasi atau penyelenggara distribusi.
Peraturan tersebut berlaku mulai 1 Februari 2021 ini. Sri Mulyani dalam pertimbangan PMK tersebut menyatakan kebijakan tersebut dibuat dalam rangka memberikan kepastian hukum.
Namun sayangnya, sebelum peraturan ini ditetapkan tidak ada hukum yang mengatur tentang pajak pulsa, kuota, ataupun token listrik yang katanya untuk melindungi konsumen, jadi peraturan ini memang benar-benar baru dibuat. Padahal kita tahu, selama pandemi WFH dan PJJ dipilih untuk meminimalisir rantai penyebaran pandemi. Siapa yang menjamin jika ditarik pajak ditingkat distributor pengecer tidak ikut menaikkan harga?
Menurut Ekonom INDEF Bhima Arya, di negara lain, pemerintahannya memberi subsidi kepada perusahaan telekomunikasi sehingga mereka bisa menambah jaringan untuk daerah terpencil dan terluar. Namun di negara kita malah sebaliknya. Bhima pun mengatakan bahwa kebijakan ini kontraproduktif dengan proses digitalisasi dan transformasi digital yang digembor-gemborkan pemerintah selama ini.
Sudah menjadi rahasia umum, jika pemerintah sedang bermasalah dengan keuangan, bisa dipastikan akan menyasar rakyat secara umum. Tanpa berusaha untuk memecahkan secara elegan. Padahal kita tahu, SDA Indonesia melimpah, tapi mengapa tidak ada keinginan atau inisiatif untuk mengelola sendiri demi kesejahteraan rakyat? Wallahu'alam.[]
.