The Clift Curve Hutang Indonesia

 



Oleh : Ninik Rahayu, S.Kep

Aktivis Muslimah Malang Raya


Sebagaimana yang tertuang dalam dokumen APBN KiTa yang diterbitkan Kementrian Keuangan tercatat utang pemerintah bertambah Rp 1.257 triliun selama tahun 2020. Saat ini total utang pemerintah sudah tembus Rp 6.074,56 triliun merupakan posisi hutang pada bulan desember 2020, terjadi peningkatan Rp 136,92 triliun dari posisi Rp 5.910,64 triliun pada bulan sebelumnya.  Dengan begitu, maka rasio utang pemerintah terhadap produk domestic bruto (PDB) sebesar 38,68%. Hutang ini terdiri dari pinjaman dan surat berharga Negara (SBN) dimana jika diperinci kita dapati bahwa untuk pinjaman sebesar 852,91 triliun yang terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp 11,97 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 940,94 triliun. (Finance.detik.com/18/1/2021).


Nampak bahwa hutang tetap menjadi tumpuan anggaran APBN Negara karena menyabet posisi hampir 40% dari total pemasukan Negara, sebuah prosentasi yang cukup besar jika mengingat ternyata penerimaan Negara dari sektor non pajak berupa sumber daya alam hanya mencapai Rp88,8 triliun pada November 2020 tahun lalu. Padahal kita mengetahui bahwa negeri ini adalah surganya dunia dimana hampir seluruh sumber daya alam ada disini. Mulai dari potensi sumber daya mineral dan pertambangan, air beserta lautan, hutan dengan beragam kandungan hayati didalamnya, dan sebagainya. Kenapa justru menjadikan hutang sebagai orientasi penerimaan Negara seolah negeri ini miskin dari potensi alam yang ada. Dan apakah benar jika hutang mampu menyelamatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.


Alasan kenapa Negara ini menjadikan hutang terutama hutang luar negeri sebagai ramuan mujarab untuk menutup pintu defisit anggaran APBN tidak lain karena selama ini Indonesia menggunakan konsep kebijakan anggaran berimbang atau defisit. Namun, realitasnya lebih cenderung kepada anggaran defisit. Hal ini karena melihat pada proporsi hutang luar negeri yang dimiliki Negara trennya semakin bertambah dari tahun ke tahun.


Kebijakan anggaran defisit merupakan kebijakan pemerintah dimana pengeluaran anggaran lebih besar dari pendapatan atau pemasukan yang didapatkan.  Tidak aneh jika pemerintah mengatasi pengeluaran yang lebih besar dari pendapatan dengan memakai pinjaman baik itu berasal dari pihak dalam negeri maupun luar negeri. Sehingga sumber hutang ini akan tetap menjadi kebijakan promadona sekaligus instan bagi APBN tiap tahunnya.


Selain karena regulasi anggaran, keberadaan negara yang selama ini menerapkan konsep ekonomi liberal juga menjadi motif pengadaan hutang. Salah satu doktrin ekonomi liberal dimana negara tidak boleh campur tangan langsung dalam perekonomian. Maka marak terjadi privatisasi hampir semua sektor termasuk pelayanan kepada rakyat (sector publik). Privatisasi pengelolaan sumber daya alam menyebabkan SDA negeri ini dikuasai oleh swasta domestik maupun asing. Ditambah banyak BUMN juga diprivatisasi, akibatnya kekayaan negara lebih banyak dinikmati asing daripada rakyat pribumi . Hal ini tentu akan mengurangi pemasukan negara dari sektor bukan pajak, secara otomatis akan meniscayakan untuk memperbesar pos pendapatan lain yaitu sektor hutang. Ini juga yang menjadikan ciri negara kapitalisme liberal dimana negara hanya berfungsi sebagai pengawas saja dengan menyerahkan perekonomian kepada mekanisme pasar (invisible hand), minus adanya tanggung jawab sepenuhnya untuk mengurus dan mengayomi rakyat.


/The clift curve hutang/


Tidak bisa dinafikan jika memang keberadaan hutang luar negeri itu sebagai solusi instan untuk mendapatkan stok cash money yang bisa langsung dipergunakan. Hal inilah yang nampak menggiurkan bagi banyak orang sehingga tidak jarang yang berakhir dengan mempunyai kebiasaan berhutang, hobi berhutang. Kemudahan mendatangkan suplly uang segar membuat silau mata lupa terhadap konsekuensi hutang jangka panjang.


Banyak kebijakan rakyat yang bisa terselamatkan dengan hutang luar negeri ini. Memberikan subsidi langsung, penanggulangan bencana termasuk kemiskinan, pembiayaan pendidikan dan aspek kesehatan, pembangunan infrastruktur serta yang lainnya bisa terbantu dengan dana hutang. Seolah-olah regulasi pengadaan hutang menjadi dewa penyelamat sekaligus dianggap sebagai faktor pendorong pertumbuhan ekonomi negara. Terlihat bagus dan membantu, namun jika kita melihat lebih jauh ternyata kenikmatan demi kenikmatan yang ditawarkan negara lain melalui hutang itu hanya kenikmatan semu, efeknya sementara seperti candu. Kecanduan untuk terus berhutang pada negara lain tanpa memperhitungkan implikasi ke depan bahwa negara bisa hancur lebur hanya karena hutang. Kondisi ini mirip seperti kurva “the clift” yang dijabarkan oleh Seth Godin dalam buku berjudul The Dip.


The clift (jurang) merupakan suatu kondisi dimana berbagai sensasi kenikmatan atau kemudahan dalam hidup itu didapatkan dengan baik hingga meningkat dari waktu ke waktu dan pada puncaknya akan terjatuh menuju jurang penderitaan. Jatuh bisa berupa kesengsaraan yang didapat atau hal-hal buruk lainnya yang menimpa. Banyak negara telah merasakan dampak dari kebijakan pro hutang luar negeri ini. Negara Sri Lanka harus merelakan bandara dan pelabuhan ke cina sebagai akibat gagal bayar hutang. Zimbabwe memiliki utang US$ 40 juta kepeda China. Akibatnya negara itu harus mengikuti keinginan China mengganti mata uangnya menjadi yuan sebagai imbalan penghapusan utang. Begitu juga dengan Nigeria di mana model pembiayaan melalui utang yang disertai perjanjian merugikan negara penerima pinjaman dalam jangka panjang. China mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal China untuk pembangunan infrastuktur di Nigeria. Selanjutnya ada Pakistan, di mana Gwadar Port yang dibangun bersama China dengan nilai investasi sebesar US$46 miliar harus direlakan. Hutang luar negeri (diplomasi hutang) saat ini telah dijadikan upaya negara lain bisa menguasai suatu negara dengan strategi debt trap (jebakan hutang). Menjadikan Negara pendonor (pemberi) bisa mendikte kebijakan dan menguasai asset vital dari Negara resipien (penerima) hutang seperti china pada kasus sebelumnya. Sungguh debt trap ini nyata, bukan sebuah kajian konspirasi semata.


/Memahami hutang dengan benar menurut Islam/


Hutang luar negeri bisa menjadi alternatif pemasukan bagi negara agar bisa melaksanakan fungsi ri’ayah atau pengururusan urusan masyarakat. Keberadaan hutang ini tentu harus sesuai dengan kemaslahatan masyarakat yang telah diatur dalam syariat. Jika dengan hutang ini justru mewujudkan kemudharatan di sisi umat maka negara harus bisa menahan diri dari berhutang kepada negara lain yang notabene menjadi mitra negara, bukan negara yang menjadi musuh islam seperti negara kafir penjajah. Apalagi jika hutang tersebut telah nyata menjadikan negara lain bisa menguasai kaum muslimin maka dilarang untuk mengambilnya meskipun menggiurkan.


Islam memandang bahwa hutang bukan menjadi jalan utama pendapatan negara. Dalam APBN syariah menposisikan hutang luar negeri ini berada di pilihan terakhir setelah semua jalan/pos penerimaan telah dilakukan. Sehingga berhutang tidak menjadi hobi dan kewajiban yang harus dilakukan negara islam. Karena pos pendapatan negara islam beraneka ragam dan besar seperti ghanimah (harta rampasan perang), fai, kharaj, harta pengelolaan dari asset milik umat seperti sumber daya alam, dan sebagainya. Dengan ijin Allah SWT ini cukup untuk mengurus urusan kaum muslimin tanpa harus berhutang.


Jikapun negara harus berhutang pada mitranya, maka hal itu memang pada kondisi darurat dimana kas negara kosong setelah melakukan penarikan pajak pada orang-orang kaya dari rakyat. Pengelolaah harta dari hutang ini juga harus hati-hati, dilakukan dengan penuh tanggung jawab keimanan pada abdi negara. Kontradiktif dengan realitas saat ini dimana dana hutang masih saja dikorupsi. Sebuah ironi negeri yang dipimpin oleh para penjahat iman tanpa takut dosa dan siksa api neraka.


Untuk bisa menuju negara yang berdikari terbebas dari hutang, tidak lain haruslah merubah mindset negara ini terlebih dahulu. Merubah konsep regulasi anggaran dimana tidak menjadikan lagi kebijakan anggaran berimbang atau deficit sebagai acuan, karena konsep tersebut berasal dari resep asing. Islam memiliki sendiri resep pengelolaan anggaran negara yang berbasis kepada syariat. Selama negara ini masih terkungkung dalam penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal maka tidak akan pernah selesai urusan hutang berhutang. Karena hutang adalah resep pakem dari sistem ekonomi kapitalisme liberal. Oleh karena itu, butuh political will (kemauan politik) yang luar biasa dari bangsa ini untuk merubah haluan kapal NKRI menjadi lebih baik dengan sistem yang baik yaitu syariat dari Allah SWT. Dengan syariat Allah SWT menjadikan negeri ini akan dilimpahi berkah dari langit dan bumi Allahumma aamiin.


Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A'raf Ayat 96).[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم