Oleh: Dwi Miftakhul Hidayah, S.ST (Aktivis Muslimah Jember)
Muslimahvoice.com - Pandemi yang melanda dunia ternyata membuat Indonesia berhasil menjadi negara yang ditakuti. Pada September tahun lalu, setidaknya ada 59 negara yang menutup pintu bagi warga negara Indonesia yang hendak mengunjungi negara-negara tersebut akibat melonjaknya kasus Covid-19 di Indonesia yang kala itu bahkan melebihi negara Cina yang merupakan negara asal wabah. Kini, Indonesia kembali menjadi sorotan setelah masuk dalam jajaran top five dunia. Prestasi apakah yang diraih negara zamrud khatulistiwa ini?
Berdasarkan data yang dirangkum oleh Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sejak Maret hingga akhir Desember 2020, tercatat 504 tenaga kesehatan meninggal dunia akibat Covid-19 (wartaekonomi.co.id, 03/01/2021). Tingginya kematian tenaga medis dan kesehatan inilah yang kemudian membuat negeri tercinta bertengger di posisi lima besar dunia dan menjadi yang tertinggi di Asia. Padahal, Oktober tahun lalu Indonesia disebut-sebut masuk dalam top five negara terbaik dalam penanganan Covid-19 (kompas.com, 12/10/2020).
Kapitalisme Biang Keladinya
Kenaikan jumlah kematian tenaga medis dan kesehatan ini menurut dr. M. Adib Khumaidi, Sp.OT dari Tim Mitigasi Pengurus Besar IDI merupakan salah satu dampak dari akumulasi peningkatan aktivitas dan mobilitas yang terjadi belakangan ini. Di antaranya seperti berlibur, pemilihan kepala daerah (pilkada) dan aktivitas berkumpul bersama teman dan keluarga yang tidak serumah (wartaekonomi.co.id, 03/01/2021).
Jika kita flashback, sebelum kasus pertama terkonfirmasi di Indonesia pada Maret tahun lalu, penguasa dan pejabat negeri ini terkesan meremehkan virus asal Wuhan itu. Padahal kasus pertama yang diperkirakan sudah terdeteksi di Cina sejak November tahun 2019 itu seharusnya mampu direspons Indonesia dengan segera melakukan upaya antisipasi. Alhasil, Indonesia tak siap menghadapi gempuran wabah.
Ketidaksiapan ini tak lantas menjadikan Indonesia berbenah. Pada Mei tahun lalu, Presiden Jokowi justru mengajak rakyat untuk hidup damai dengan virus corona. Disusul dengan kelakar Menko Polhukam Mahfud Md yang menyamakan virus corona dengan seorang istri. Bahkan ketika kasus semakin melonjak naik, pemerintah justru memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Tak ada tanda-tanda penurunan, PSBB justru dilonggarkan. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah para kapitalis sudah mulai oleng diterpa badai pandemi ini. Dengan dalih pemulihan ekonomi, skenario tahapan New Normal mulai diberlakukan Juni 2020. Namun, alih-alih pertumbuhan ekonomi membaik, Indonesia justru resmi mengalami resesi pada November 2020. Sudahlah nyawa rakyat dikorbankan, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru semakin keok dihantam pandemi.
Padahal sejak Maret tahun lalu, desakan dari berbagai kalangan untuk segera memberlakukan lockdown (karantina wilayah) sudah kencang. Salah satunya disampaikan oleh IDI. Namun apa daya, kala itu Kepala Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memberlakukan lockdown, mengacu pada instruksi Presiden Jokowi yang diberikan kepada gugus tugas Covid-19. Masyarakat diminta untuk mendisiplinkan kembali penerapan social distancing.
Apakah kebijakan itu lantas berhasil menurunkan angka kasus Covid-19 di Indonesia? Jawabannya jelas, jangankan menurun, melandai saja tidak. Bahkan, angkanya menjadi kian melambung tinggi hingga hari ini. Jika awalnya rakyat diseru untuk berdamai dengan corona, kini Presiden Jokowi mengajak warga mati-matian hentikan pandemi corona (cnnindonesia.com, 06/01/2021). Hal tersebut ia sampaikan saat rapat terbatas bersama sejumlah menteri di Istana Negara pada Rabu (05/01/2021).
Presiden meminta kepada para menterinya untuk bekerja keras dalam menerapkan 3T yakni (pelacakan) tracing, pemeriksaan (testing) dan perawatan (treatment) kasus Covid-19 agar Indonesia tak sampai terpaksa mengambil langkah yang sama berupa lockdown seperti halnya London, Tokyo dan Bangkok. Presiden meminta untuk lebih menekankan penerapan protokol kesehatan memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak (3M). Presiden tampaknya begitu menghindari pemberlakuan lockdown.
Boleh jadi keengganan pemerintah menerapkan lockdown sedari awal virus ini terdeteksi di Indonesia tersebab tak mau mengambil konsekuensi penerapan lockdown seperti yang tertuang dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Disebutkan bahwa selama lockdown kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. PSBB pun akhirnya dipilih sebagai solusi sebab kebutuhan dasar dibebankan kepada masyarakat itu sendiri. Rakyat menjadi tak punya pilihan lain selain tetap keluar rumah untuk mencari penghidupan. Bagi mereka, mati dalam kondisi mencari sesuap nasi lebih terhormat daripada mati kelaparan di rumah sendiri.
Tagar #IndonesiaTerserah yang viral tahun lalu menunjukkan bahwa para tenaga medis dan kesehatan yang harus bertaruh nyawa menyelamatkan pasien Covid-19 justru menelan kekecewaan lantaran perjuangan mereka seolah tak sejalan dengan kebijakan social distancing yang diambil pemerintah. Pemberlakuan social distancing justru membuat bandara semakin penuh sesak dan ramainya pusat perbelanjaan. Mirisnya lagi, para pahlawan ini ternyata harus berjuang dengan proteksi yang minim. Padahal tanpa adanya proteksi diri yang memadai, maka dapat dipastikan akan semakin banyak tenaga medis dan kesehatan yang menjadi korban, sebab merekalah pihak yang paling rentan terpapar virus ini lantaran tiap hari kontak langsung dengan pasien positif Covid-19.
Belum lagi pemilihan kepala daerah akhir tahun lalu yang tetap digelar di masa pandemi ternyata menjadi jalan terbukanya kluster baru Covid-19. Penguasa seolah begitu haus kekuasaan hingga ngotot menerjang badai pandemi demi sebuah ambisi. Mereka sepertinya ogah rugi atas dana yang sudah digelontorkan demi meraih kursi kekuasaan. Walhasil, kini kasus Covid-19 di Indonesia menjadi semakin tak terkendali. Namun, lagi-lagi PSBB tetap dipilih sebagai solusi.
Oleh sebab itu, tingginya kematian tenaga medis dan kesehatan adalah akibat pengambilan kebijakan dalam ideologi kapitalisme hanya didasarkan pada manfaat semata. Hal ini terlihat jelas dari bagaimana pemerintah justru tega menimbang nyawa dengan uang (ekonomi). Penguasa begitu enggan mengambil kebijakan lockdown. Padahal jika lockdown diterapkan sejak awal, maka boleh jadi sebaran kasus Covid-19 tak akan seganas saat ini. Jumlah kasus positif Covid-19 pun dapat diminimalisir sehingga tugas para tenaga medis dan kesehatan tak seberat saat ini. Namun, pemerintah justru berkutat pada solusi tambal sulam ala ideologi kapitalisme yang telah terbukti tak mampu mencabut masalah hingga ke akarnya.
Islam Punya Solusi Jitu Atasi Pandemi
Nyawa seseorang dalam pandangan Islam sangatlah berharga, baik itu muslim maupun non muslim. Maka, menjadi tugas negara untuk memelihara nyawa setiap warga negaranya. Aturan Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diterapkan oleh negara akan mampu mengatasi segala problematika kehidupan, termasuk dalam hal mitigasi (tindakan mengurangi dampak bencana) wabah. Dalam sejarah, wabah penyakit menular (kusta) pernah menjangkit pada masa Rasulullah SAW. Beliau kemudian menerapkan karantina atau isolasi terhadap penderitanya.
Beliau memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat para penderita kusta tersebut, sebagaimana sabda beliau, "Janganlah kalian terus-menerus melihat orang yang mengidap penyakit kusta" (HR. Bukhari). Untuk memastikan perintah tersebut terlaksana, Rasulullah SAW membangun tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah. Baginda Nabi Muhammad SAW pun memerintahkan dalam hadits yang lain, "Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu" (HR. Bukhari).
Karantina wilayah terdampak yang diterapkan sejak awal kemunculan wabah mampu mempersempit ruang gerak virus. Hal ini akan mencegah virus menyebar luas ke wilayah lain. Kegiatan sosial dan ekonomi di wilayah yang tidak terdampak pun dapat berjalan normal tanpa ada kekhawatiran terpapar virus.
Masyarakat yang berada di wilayah terdampak tak perlu risau memikirkan pemenuhan kebutuhan dasar mereka, sebab dalam kondisi normal pun negara sudah menjamin pemenuhan kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), kesehatan, pendidikan serta keamanan bagi seluruh rakyatnya, terlebih dalam kondisi wabah melanda. Mekanisme penanganan wabah yang sesuai dengan syari'at Islam ini jugalah yang kemudian tercatat dalam sejarah peradaban Islam mampu menghantarkan Khalifah Umar bin Khattab pada keberhasilannya mengatasi wabah tha'un di Amwas. Wallahua'lam bish-shawab. []