Oleh: Ummu Abed
Muslimahvoice.com - Covid-19 dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) merupakan sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan. Dimana yang biasanya BLT diberikan dalam bentuk Bansos sekarang beralih berupa uang tunai sebesar 300rb dalam rangka membantu masyarakat dalam menghadapi Covid-19.
Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi, meminta agar jangan sampai ada wilayah di Kota Bekasi yang memotong Bantuan Sosial Tunai (BST) dari Kementerian Sosial sebesar Rp 300 ribu per keluarga. (PikiranRakyat.com /Jawa-Barat)
Sebelumnya, pada Kamis tanggal 14 Januari 2021 pukul 10.47 WIB dilaporkan oleh Admin Kecamatan Medansatria, bahwasanya ada laporan warga yang mengatakan telah terjadi pemotongan BST di RT 009 RW 001. RW 01 Pejuang, Medansatria, berinisiatif menarik Rp100.000 untuk tiap-tiap keluarga yang mendapat BLT demi membantu warga lain yang tidak kebagian.
Pengakuan salah satu warga RT 001 RW 01 mengatakan Rp80.000 untuk membantu warga lain, Rp10.000 untuk pengurus (RT), dan Rp 10.000 untuk uang kas. (AyoBandung.com 15/01/2021).
Sungguh miris dari sisi besaran dananya jelas tidak mampu memenuhi kebutuhan yang harus ditanggung masyarakat selama masa pembatasan fisik. Apalagi jumlah dan luasan penerima manfaat juga tidak menjangkau semua masyarakat miskin. Belum terhitung masyarakat kelas menengah yang usaha dan pekerjaannya terdampak langsung pandemi dan “turun kelas” menjadi miskin.
Dalam sistem kapitalistik hari ini persoalan penyaluran dana bantuan memang bukan hanya persoalan teknis berupa salah sasaran, data ganda, atau mekanisme berbelit. Jumlah atau besaran dana yang dialokasikan negara untuk rakyat seringkali mengusik rasa keadilan publik.
Mengapa pemerintah pelit dan berbelit untuk memberikan hak rakyat? Dan sebaliknya, begitu murah hati terhadap golongan borjuis. Bukankah ini menegaskan jati dirinya sebagai rezim kapitalis? Penguasa yang lahir bukan dari kepercayaan utuh rakyat tapi lebih banyak disokong pencitraan buah kampanye masif yang membutuhkan anggaran besar.
Hal ini terbukti disektor perbankan dan pariwisata dan pajak pengusaha seringkali mendapat perhatian lebih untuk mendapat anggaran besar, karena dianggap sebagai wajah dan ukuran kekuatan ekonomi Negara. Tak terkecuali di era krisis saat ini.
Islam menggariskan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar rakyat adalah kewajiban pemerintah untuk menjaminnya. Negara me mastian bahwa setiap individu rakyat mampu memenuhi kebutuhan pangan tersebut secara layak.
Mekanisme langsung diberikan melalui pemberian bantuan kepada kelompok masyarakat yang faktanya kesulitan mendapat bahan pangan karena tidak ada penghasilan atau tidak cukup dana (fakir miskin) atau juga harga sedang tidak stabilnya harga akibat pasokan kurang.
Pemerintah wajib memberikan bantuan dan melakukan operasi pasar tanpa mekanisme berbelit. Seperti dalam kondisi wabah di masa Khalifah Umar RA terdata 70 ribu orang membutuhkan makanan dan 30 ribu warga sakit. Semua diperlakukan sebagai warga negara yang berhak mendapatkan haknya dari negara, tanpa direndahkan dan disengsarakan dengan mekanisme berbelit.
Khalifah terus mencari tahu apakah masih ada orang yang berhak yang tidak terdata atau bahkan mereka tidak mau menunjukkan kekurangannya. Sebab, membiarkan ada yang miskin dan tidak mendapat bantuan karena mereka tidak mengajukan diri adalah juga bagian dari kelalaian pemerintah.
Dalam khilafah, semua warga Negara -muslim maupun nonmuslim- tidak dibedakan dalam mendapatkan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk kebutuhan pangan. Bantuan diberikan tanpa syarat rumit.
Maka syarat administratif berupa keterangan miskin atau KTP yang menunjukkan bahwa dia warga daerah A, bukan menjadi satu-satunya penentu. Meski tidak memiliki KTP atau tanda pengenal resmi, kalau dipastikan bahwa dia warga negara, maka berhak mendapat bantuan.
Bahkan bukan hanya orang yang mengajukan diri, tapi juga orang-orang yang menjaga diri (tidak menampakkan kemiskinan) juga harus diberi bantuan. Sungguh luar biasa Solusi Islam dalam memenuhi kebutuhan rakyat, semuga tidak lama lagi negara ini di atur dengan sistem Islam.[]