Praktik Politik Kotor Sah dalam Demokrasi

 



Oleh: Neng Ranie SN (Muslimah Pegiat Literasi)



Muslimah-voice.com - Perhelatan Pilkada serentak 2020 sudah di depan mata. Praktik-praktik politik kotor, seperti politisasi agama dan politik uang kerap mewarnai gelaran pesta demokrasi di negeri ini. Tak dapat dipungkiri, menjelang pemilihan aroma politisasi agama dan politik uang semakin kuat tercium.


Pusat Pengkajian Islam dan masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Jakarta, mengungkapkan bahwa semua partai politik telah menggunakan narasi agama dalam menggaet suara pemilih di media sosial. (m.cnnindonesia.com, 17/11/2020)


Suara umat Muslim yang besar menjadi target bidik para kontestan. Jika mampu merebut hati umat Muslim, kemungkinan besar mereka akan memperoleh kemenangan. Para kontestan pun berlomba melakukan manuver-manuver politik, seperti mendadak tampil islami, berkunjung pesantren, meminta restu ke para ulama, memberi sumbangan ke masjid, dan lain sebagainya.


Sama halnya yang dilakukan presiden terpilih  AS, Joe Biden, pada saat kampanye. Untuk memikat pemilih Muslim, dia menggunakan hadis untuk mengkritisi kinerja lawan politiknya. Namun sesungguhnya, dia tidaklah meyakini  perihal hadis tersebut. Inilah yang disebut politisasi agama. Agama hanya dijadikan alat untuk mendulang suara. Namun, setelah menang mereka mendadak amnesia, umat Islam dilupakan dan agama dipinggirkan. 


Begitu pun praktik politik uang, besar kemungkinan praktik ini berpotensi meningkat, karena penyelenggaraannya di tengah pandemi. Terlebih, tidak sedikit kepala daerah yang akan maju kembali dalam Pilkada, rawan menyalahgunakan kewenangan. Aktivis Muda, Hardinand Sangkoy, menjelaskan modus politik uang saat ini dapat beragam bentuk, bisa berupa pembagian uang, pembagian sembako, pemberian bantuan alat kesehatan, Alat Pelindung Diri (APD), maupun bantuan sosial. (Tribun Manado.co.id, 4/11/2020)


Miris, pada saat masyarakat mengalami kesulitan ekonomi di tengah pandemi, situasi ini malah dimanfaatkan oleh para kontestan untuk mencari keuntungan pribadi. Dengan kata lain, penderitaan rakyat dijadikan alat panggung politik. Hal ini sekaligus mengonfirmasi, bahwa politik demokrasi memang berbiaya mahal. 


Fenomena ini bukanlah hal baru dalam politik demokrasi. Politisasi agama dan politik uang telah menjadi bagian yang tidak dapat dihindari. Politik demokrasi mendorong aktor-aktor politik melakukan praktik politik kotor. Karena paradigma kemenangan dalam politik demokrasi adalah seberapa banyak perolehan suara yang mereka dapatkan.


Sistem demokrasi berasaskan kapitalis-sekuler tidak memandang aktivitas politik didasarkan pada halal-haram. Demi mendapat kursi kekuasaan para kandidat akan berebut suara dengan cara apa pun, meski dengan cara memanipulasi. Semua sah selama bisa berkelit dari aturan regulasi. Sehingga lahirlah parpol yang batil dan  pemimpin yang hanya memikirkan kekuasaan dan kepentingan pribadinya.


Sejatinya, agama dan politik adalah dua hal yang integral, yang tidak bisa dipisahkan. Karena dalam Islam, agama menjadi pijakan utama dalam berpolitik. Kewenangan politik digunakan penguasa untuk menerapkan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.


Hal ini sesuai dengan definisi politik (as-siyasah) adalah pengaturan urusan-urusan masyarakat dalam dan luar negeri berdasarkan syariat Islam. Menurut Syekh  Taqiyuddin an-Nabhni dalam kitab Mafahim Siyasiyyah, bahwa politik dilaksanakan oleh negara dan umat, karena negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi negara dalam pengaturan tersebut.


Definisi ini juga diambil dari hadis-hadis yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban mengoreksinya, serta pentingnya mengurus kepentingan kaum muslimin. Rasulullah saw. bersabda;

“Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat, dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), dia tidak akan mencium bau surga” (HR. Bukhari dari Ma’qil bin Yasar ra)


Dari Abu Hurairah dari Nabi saw. bersabda;

"Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya (tasûsûhum) oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan banyak khalifah'. (H.R. Imam Muslim dari Abi Hazim)


Dengan penerapan syariat Islam secara kafaah akan mendorong tiap individu masyarakat memiliki keimanan dan ketakwaan. Dari sini pula, lahir parpol yang sahih, yang aktivitasnya beramar makruf nahi munkar. Juga hadirnya pemimpin yang paham bahwa jabatan/ kekuasaan adalah amanah, yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Rasulullah saw. bersabda;


فَالأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ

“Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari)


Andai saja negeri ini menerapkan politik Islam, niscaya  praktik-praktik politik kotor sebagaimana politik hari ini tidak akan terjadi. Allah Swt. berfirman:


أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. al-Maidah [5]: 50)


Wallahu a'lam bishshawab.


#politik 

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم