Oleh Zawanah Filzatun Nafisah
Muslimah-voice.com - Pesta demokrasi di tujuh Kabupaten di Kalimantan Barat pada Rabu 9 Desember 2020 tetap diselenggarakan meski pandemi masih melanda. Quick count mulai diupdate detik demi detik di Kabupaten Sambas, Ketapang, Bengkayang, Sekadau, Melawi, Sintang dan Kabupaten Kapuas Hulu. (tribunnews.com, 9/12).
LP3ES sebelumnya telah menyampaikan bahwa Pilkada adalah kegiatan super agresif dan otoritas pemerintah semakin menumpuk berdasarkan undang-undang darurat, terus memaksakan kehendak (detik.com, 7/9). Argumen senada juga disampaikan LIPI. Bahkan dua ormas besar PBNU dan Muhammadiyah meminta pilkada 2020 ditunda dengan alasan kemanusiaan dan orientasi pengentasan krisis kesehatan. Serta banyak lagi kalangan yang menolak Pilkada masa pandemi bahkan mengkritisi Pilkada itu sendiri yang selama ini dinilai tidak memberikan perubahan di tengah masyarakat.
Awalnya pemerintah bersikap ambivalen namun akhirnya karena ambisi kekuasaan dan kepentingan partai politik dan rezim, tetap saja pilkada digelar. Dari pilkada yang sama dan telah berulang diadakan, malah menambah daftar panjang angka kepala daerah yang terlibat korupsi. Jabatan politis sarat visi kerakyatan ini, menguap begitu saja seiring waktu. Karena regulasi yang dibuat selama menjabat, lebih berpihak pada kapitalis, konstituen dan pastinya dirinya sendiri. Wajar setelah membaca quick count dibeberapa daerah, golput merajai. Rakyat jengah dengan janji manis dan bosan dengan proses pilkada yang nyata telah menghabiskan Rp20,4 triliun (bisnis.com, 9/12). Uang segitu banyak jika dialihkan untuk pemberdayaan masyarakat dan kesejahteraannya tentu sangat berharga.
Tapi mau bagaimana lagi, rule of game dalam sistem demokrasi adalah alat menuju kekuasaan. Disitu bisa membuat regulasi sesuka hati dan berulang berkhianat dengan suara rakyat. Parahnya, sudah tak ada lagi batas imajiner antar legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagaimana amanah Montesqieu yang mengagas demokrasi. Akhirnya semua begitu solid sejalan dengan kepentingan rezim. Percuma ada mekanisme Judicial Review untuk menjinakkan gerakan anti omnibus law akan UU Omnibus Law karena mekanisme tersebut membuat pesimis atau putus asa saja. Kerja rakyat, peluh rakyat, waktu rakyat, suara rakyat bukan tukang tambal sulam UU. Itu pekerjaan penguasa, malah berbohong dengan janji manisnya yang ingin mensejahterakan rakyat melalui undang-undangnya.
Secara mendalam, potret demokrasi mau disandingkan dengan paham manapun tidak menjanjikan secuilpun perubahan hakiki. Demokrasi di mix and match sehingga bernama demokrasi langsung, demokrasi tidak langsung (liberal/ defensif), demokrasi presidential, demokrasi parlementer, demokrasi otoriter, demokrasi partisipatif, demokrasi sosial (neoliberal), demokrasi pancasila, demokrasi Islam (turut mendukung sekulerisme) dan demokrasi lain-lainnya.
Jean-Paul Gagnon bahkan menyebut bahwa jenis demokrasi dapat ditemukan di seluruh waktu, ruang, dan bahasa. Dalam bahasa Inggris saja kata benda "demokrasi" telah dimodifikasi oleh 2.234 kata sifat. Segitu fleksibelnya demokrasi, terang saja mudah klop dengan kapitalisme, sebuah ideologi yang sama rusak sejak kelahirannya.
Oleh karena itu, marilah kita tolak demokrasi. Distrust rakyat kepada demokrasi sudah nyata. Hanya saja penguasa belum bisa menterjemahkannya. Buat apalagi berharap pada demokrasi yang hampir mati. Sementara kita sudah mengenal Islam sebagai Ideologi dari Ilahi yang memberikan harapan untuk perubahan yang hakiki.[]
#Pilkada