Nay Beiskara
(Kontributor Media)
Muslimah-voice.com - Ironi. Negeri pemilik cadangan gas alam sebesar 2,8 triliun meter kubik (97 triliun kaki kubik) ini ternyata membuka opsi impor LPG. Padahal, Indonesia menjadi negara pengekspor gas terbesar di dunia. Bahkan, Indonesia mampu mengekspor gasnya ke Cina dan Amerika. Namun, tuk kebutuhan dalam negeri sendiri, Indonesia bergantung pada impor. Pertanyaannya, bagaimana bisa?
***
Negeri ini dianugerahkan kekayaan alam yang luar biasa oleh Sang Pencipta. Kekayaannya terhampar di lautan, di atas daratan, dan di bawah permukaan tanah. Salah satu yang melimpah adalah kekayaan barang tambang seperti emas, perak, nikel, tembaga, batu bara, minyak, dan gas bumi.
Namun, terkait dengan target pembauran energi 2025, yang saat ini tengah disoroti adalah cadangan minyak dan gas yang kian tahun kian merosot jumlahnya. Merdeka.com (13/08) melansir pernyataan dari Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Resiko PT Perusahaan Gas Negara (PGN), Wahid Sutopo bahwa saat ini Indonesia (tahun 2015) memiliki cadangan energi gas sebesar lebih dari 157 triliun cubic feet (TCF). Jumlah itu cukup untuk menjaga pasokan energi di Tanah Air untuk kurun waktu 80 tahun.
Memasuki 2020 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif Indonesia masih memiliki stok minyak bumi sebanyak 3,77 miliar barel. Stok gas bumi sebesar 77,3 triliun kaki kubik dan stok batubara 37,6 miliar ton. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas) memperkirakan cadangan minyak bumi Indonesia masih cukup hingga 15 tahun ke depan, sementara gas berada di kisaran 35 tahun (tirto.id, 24/10/2020).
Data di atas menunjukkan adanya penurunan cadangan minyak dan gas dari kurun 2015 - 2020. Hal ini menurut pemerintah harus diantisipasi secara cepat dan tepat. Karena berhubungan dengan pasokan minyak dan gas dalam negeri yang konsumsinya terus menunjukkan peningkatan serta tuk ketahanan energi negeri ini.
/Alasan Impor Gas/
Badan Pusat Statistik (BPS), pada Oktober 2018, tercatat volume impor LPG sebesar 460,03 ribu ton. Jumlah ini meningkat dari periode yang sama tahun lalu yang sebesar 412,36 ribu ton. Adapun secara kumulatif, sepanjang Januari-Oktober 2018, tercatat volume impor LPG sudah sebesar 4,55 juta ton. Naik dari periode yang sama tahun lalu yang sebesar 4,49 juta ton. Otomatis, hal ini juga membuat nilai impor LPG secara kumulatif melonjak, dari US$ 2,13 miliar pada Januari-Oktober 2018, menjadi US$ 2,54 miliar.
Dalam gelaran Pertamina Energy Forum 2018, di Jakarta, Kamis (29/11/2018), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menyebutkan, dalam setahun impor LPG kira-kira sebesar US$ 3 miliar atau setara Rp 5 triliun. Hal ini membuat Jonan ingin kebut gasifikasi batu bara (cnbcindonesia.com, 25/01/2019).
Jonan menambahkan, konsumsi LPG nasional pada 2019 mencapai 7,76 juta ton. Sementara produksi hanya mentok di 1,96 juta ton. Karena itu, kekurangannya sebanyak 5,71 juta ton harus diimpor dari luar negeri. Tersebab peningkatan konsumsi tak diiringi dengan peningkatan produksi.
Produksi gas Indonesia sebenarnya cukup tinggi dengan kisaran 1,2 juta barel. Jumlah ini bisa memenuhi kebutuhan domestik. Namun masalahnya, karakteristik gas yang diproduksi oleh Indonesia tidak serta merta dapat dikonversi menjadi LPG. Jonan menyebutkan banyak dari sumur-sumur gas Indonesia disebut gas kering (lean gas) dengan komponen C3-C4 tipis sehingga tidak bisa membuat LPG. Akibatnya keran impor harus dibuka lebar dan kenaikannya tercatat mencapai lebih dari 19% (CAGR) dalam periode 10 tahun terakhir.
/Upaya Pemerintah Menekan Impor/
Pemerintah telah membuat langkah-langkah tuk mengatasi masalah kelangkaan gas ini sekaligus menekan impor gas dari luar negeri. Upaya yang telah dilakukan adalah dengan mendorong peningkatan produksi di sisi hulu migas dan ekspansi kapasitas kilang di sisi hilir.
Selain kedua hal di atas, pemerintah juga berpikir tuk melakukan diversifikasi. Diversifikasi ini dijalankan dengan cara gasifikasi batu bara, yakni konversi batu bara yang jumlahnya melimpah ke gas LPG. Untuk kasus ini adalah dimetil eter (DME) yang akan jadi substitusi LPG.
Pemerintah juga mulai melirik kompor listrik sebagai alternatif kelangkaan gas LPG. Gas LPG akan dikonversi ke pemakaian kompor listrik, terutama untuk wilayah urban dan perkotaan karena dinilai lebih cepat, praktis, aman dari kebocoran, dan ramah lingkungan.
Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah meningkatkan peran perusahaan nasional dalam usaha pengeboran migas. Hal ini bertujuan agar ke depannya dapat meningkatkan kemampuan nasional dan kemandirian nasional yang akan meningkatkan ketahanan nasional. Upaya yang satu inilah yang menurut hemat penulis haruslah dilakukan sedari awal.
/Paradigma yang Keliru/
Kala pemerintah berpikir tuk meningkatkan peran perusahaan nasional dalam sektor hulu, yakni pengeboran migas, inilah yang seharusnya dari awal dilakukan. Karena dengan ini, kemandirian energi akan mampu dicapai. Namun, selama ini yang fokus dilakukan pemerintah masih berada di tataran teknis. Sedang di tataran paradigma tak pernah disentuh.
Paradigma yang dimaksud adalah pemahaman dasar yang digunakan pemerintah dalam mengatur perekonomian, wabil khusus ketika mengawal pengelolaan sumber daya alam yang ada. Saat pemerintah mengizinkan perusahaan swasta, baik asing maupun lokal, menguasai komoditas yang merupakan hajat hidup masyarakat, maka dengan gamblang kita dapat menyatakan bahwa pemerintah mengadopsi paradigma ekonomi kapitalisme sekular.
Sistem kapitalisme sekular ini bersumber dari akal manusia yang terbatas. Sistem kapitalisme hadir tuk menyelesaikan permasalah hidup manusia dalam hal ekonomi. Namun, sebaik-baiknya manusia dalam membuat hukum, tiada yang lebih baik dari hukum buatan Pencipta manusia. Sistem ekonomi kapitalisme ingin mengatasi masalah, namun yang ada justru menambah masalah.
Sistem kapitalisme berpandangan bahwa siapapun yang memiliki modal yang kuat, ia kan mampu menguasai apa saja. Kepemilikan individu atas sumber daya alam tak dibatasi. Individu dapat menguasai sumber daya alam yang merupakan hajat hidup orang banyak, semisal tambang minyak dan gas.
Finance.detik.com (11/05) melansir, sebanyak 74% kegiatan usaha hulu atau pengeboran minyak dan gas (migas) di Indonesia masih dikuasai perusahaan asing. Sedangkan, perusahaan nasional hanya menguasai 22% dan sisanya konsorsium asing dan lokal. Sementara untuk kegiatan hilir migas, sebanyak 98% dilakukan oleh perusahaan nasional. Hanya 2% saja dilakukan oleh perusahaan asing. SPBU Pertamina memang masih menjadi primadona di negeri sendiri.
Negara di sini bertugas sebagai penyedia fasilitas dan perizinan bagi perusahaan-perusahaan yang ingin berinvestasi di Indonesia. Apalagi dengan adanya Omnibus Law, para investor akan semakin mudah menjalankan usahanya tanpa disulitkan dengan birokrasi yang 'ribet'.
Paradigma ini jelas keliru. Bagaimana bisa individu atau perusahaan menguasai sumber daya alam yang merupakan hajat hidup orang banyak? Alih-alih memberi kesejahteraan untuk rakyat, justru pemerintah menzalimi rakyat.
Tambang minyak dan gas yang jumlahnya melimpah, sejatinya adalah harta kepemilikan umum. Pengelolaannya diserahkan kepada negara dan hasilnya harus didistribusikan pada rakyat. Dengan kata lain, negara tak boleh menyerahkannya pada pihak swasta tuk mengelolanya. Karena yang namanya pihak swasta, orientasinya tentu profit. Lalu, siapa yang dirugikan? Siapa lagi kalau bukan rakyat. Bayangkan bila barang tambang itu dikelola seutuhnya oleh rakyat. Rakyat pasti akan lebih sejahtera.
Karenanya, pemerintah selain melakukan upaya teknis, harus pula mengubah paradigma mendasar tadi mengenai perekonomian. Yakni, mengganti paradigma berpikir sekular kapitalis dengan paradigma berpikir Islam. Kemudian mengadopsi sistem ekonomi Islam tuk mengatasi setiap permasalahan ekonomi, khususnya dalam menghadapi kelangkaan sumber daya minyak dan gas. Namun, sistem ekonomi Islam ini takkan mampu diterapkan bila pemerintah tak kembali pada sistem Islam yang kaffah. Sistem yang memang diturunkan Allah Swt. tuk menjadi solusi setiap problem kehidupab manusia.
Wallahua'lam bishshowwab.
#Impor #Gas