Lonceng Kematian Demokrasi

 



Oleh: Sherly Agustina, M.Ag

(Kontributor media dan pemerhati kebijakan publik)


Muslimah-voice.com - Plato berpendapat bahwa negara yang menganut sistem demokrasi merupakan negara yang tidak ideal (Reseaechget.net). Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Abraham Lincoln, Wikipedia). 


Dilansir dari Republika.co.id, Sekretaris Utama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Karjono menekankan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja sudah sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Karjono yang pernah menjabat Direktur Harmonisasi dan Staf Ahli Kementerian Hukum dan HAM menyampaikan sebelum Omnibus Law mengemuka sudah pernah ada yang dinamakan paket deregulasi ekonomi. Paket deregulasi ekonomi ini memangkas sekitar 128 undang-undang, dengan membuat semacam satu peraturan pemerintah untuk memperlancar investasi (28/11/20). 


Sejumlah pihak mendorong agar pembatalan UU Cipta Kerja dilakukan dengan mendesak presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Desakan ini berdasarkan presiden tuntutan pembatalan UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Saat itu memang terjadi perlawanan yang sengit dari kalangan buruh hingga dihasilkan Perppu No. 3 Tahun 2000. 


Namun, perppu ini tidak membatalkan UU 25/1997 melainkan hanya menunda pelaksanaannya hingga tahun 2002. Sebelumnya juga telah diterbitkan UU 11/1998 yang menunda pelaksanaan UU 25/1997. Penundaan semacam ini adalah bagian dari cara untuk meredam perlawanan. Artinya, belum ada presiden mengenai pembatalan undang-undang melalui Perppu (Indoprogres, 13/10/20).


Sebelum dan sesudah disahkan UU Omnibus Law menuai pro-kontra, terutama di kalangan para buruh. Atas dasar kebebasan berpendapat dijamin oleh UU dalam sistem demokrasi, rakyat turun ke jalan menyampaikan aspirasi berkali-kali bahkan bagai gelombang air bah yang tumpah tak tertahan. Namun, upaya yang dilakukan kaum buruh, mahasiswa  dan rakyat biasa seakan tak menemukan titik temu dan membuahkan hasil. Lahirnya UU Omnibus  Law menambah karut marut permasalahan negeri di tahun ini.


RUU sudah menjadi UU yang disahkan oleh DPR, dan bukan sesuatu yang mudah untuk mengubah UU tersebut. Memang DPR perwakilan rakyat, namun rakyat yang mana? Katanya demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat, tapi kebijakan yang dihasilkan dari DPR mengapa tidak memihak rakyat kecil? Penolakan dari berbagai penjuru tak mampu merubah keputusan DPR dan pemerintah. Seolah, biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.


Seorang  Pakar Hukum Tata Negara, Jimly Asshiddiqie, menegaskan pemerintah tidak sepatutnya mengubah apa pun yang termuat dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Sebab setelah UU itu diketok palu oleh DPR dalam Rapat Paripurna dan diserahkan ke presiden untuk diundangkan, maka pemerintah bisa memperbaiki dalam konteks jika ada "clerical error". Menghapus pasal seperti yang dilakukan Kementerian Sekretariat Negara, kata Jimly, dapat dikatakan mengubah substansi undang-undang yang telah sah.


Senada dengan Jimly, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan pemerintah "telah secara terbuka dan terang-terangan menyalahi" Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang prosedur pembentukan undang-undang. Feri mencurigai, pemerintah tidak hanya menghapus pasal 46 tentang Minyak dan Gas Bumi, tapi ada kemungkinan penambahan pasal-pasal. Ini karena jumlah halaman yang berubah menjadi 1.187 dari sebelumnya 812 (BBC.com, 26/10/20).


Terlihat, disahkannya UU Omnibus Law ini janggal dan banyak kepentingan namun bukan kepentingan rakyat. Sudah menjadi rahasia umum, ketika hajatan demokrasi dilakukan butuh biaya besar. Lalu, dari mana para calon pejabat mendapatkan dana kampanye, dan lain-lain. Jawabannya adalah dari para korporat yang memiliki kepentingan di negeri ini. Para korporat itu membantu, tentu no free lunch maka kebijakan apapun yang lahir akan mengutamakan penyumbang dana bukan rakyat. 


Investasi asing dianggap sesuai dengan Pancasila, padahal investasi asing adalah utang yang akan menjerat negeri ini pada jebakan-jebakan yang sudah disiapkan. Jika negara sudah tak punya modal sama sekali, lalu bergantung pada asing terutama yang memusuhi Islam. Maka sejatinya adalah menyerahkan nyawa dan bunuh diri politik. Keberadaannya di bawah tekanan si pemberi investasi, apapun yang dimiliki tergadai terutama harga diri.


Jika terus seperti ini, kebijakan yang ada tak sesuai dengan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Maka, demokrasi seperti menemui ajal kematiannya. Lonceng kematian yang selalu dibunyikan akan mempercepat kematiannya. Dalam buku 'How Democracies Die' tulisan Steven Levitsky and Daniel Ziblatt tanpa basa-basi to the point' menceritakan bagaimana demokrasi bisa mati. Pembunuhnya adalah penguasa yang terpilih dalam sistem demokrasi itu sendiri.


Karena pemimpin tak lagi memihak pada rakyat tapi pada korporat. Tak ada lagi tempat di hati rakyat bagi demokrasi. Namun, di sisi lain hal ini kabar baik bahwa manusia akan bertemu fitrahnya yaitu bertemu dengan aturan yang shahih dari Sang Pencipta alam semesta. Aturan yang terbaik bagi seluruh ciptaan-Nya dan menebar rahmat ke seluruh alam.


Maka, harapan satu-satunya bagi rakyat adalah bukan lagi demokrasi. Walaupun beredar dengan viral bagaimana solusi menyelamatkan demokrasi agar tidak mati baik di negeri asalnya atau di negeri ini. Nyatanya, tak ada yang bisa menyelamatkan demokrasi karena tabiat aturan yang dibuat manusia memang lemah. Fitrah manusia itu lemah dan terbatas, maka aturan apapun yang dihasilkan pasti memiliki kekurangan.


Kedaulatan di tangan rakyat tak sepenuhnya benar, karena dalam Islam ketika menentukan baik-buruk, benar-salah berdasarkan halal-haran yang ditetapkan oleh syariah. Bukan berdasar suara terbanyak rakyat atau yang lainnya. Zina hukumnya haram karena syariah mengharamkan, bukan karena berdasar suara terbanyak. Pembuat aturan hanya Allah, bukan manusia. Ketika manusia membuat UU maka yang terjadi seperti saat ini banyak menuai pro-kontra dan hanya untuk kepentingan segelintir orang yaitu para korporat.


Saatnya menyambut kematian demokrasi dan menggantinya dengan aturan Allah Swt. Firman Allah Swt.:


"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. al-Maidah [5]: 50). 


Allahu A'lam Bi Ash Shawab.


#Demokrasi

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم