Dipenjara Tak Membuat Jera, Haruskah Pelaku korupsi Dihukum Mati?

 


Oleh: Pannindya Surya Rahma Sari Puspita

(Mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab UIN SMH Banten)


Muslimah-voice.com - PK menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan Corona. KPK menyebut total uang yang diduga diterima Juliari Batubara sebesar Rp 17 miliar.


Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan uang miliaran rupiah itu diterima Menteri Sosial Juliari Batubara dari fee dua periode pengadaan bansos. Periode pertama, Firli menjelaskan diduga telah diterima fee sebesar Rp 12 miliar. Mensos Juliari Batubara diduga turut menerima uang senilai Rp 8,2 miliar.


"Pada pelaksanaan paket Bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar," kata Firli Bahuri dalam konferensi pers di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Minggu (6/12/2020) dini hari.


Tak hanya itu, Firli menyebut pada periode kedua, yakni Oktober-Desember 2020, sudah terkumpul uang senilai Rp 8,8 miliar yang dikelola oleh Eko dan Shelvy selaku orang kepercayaan Mensos Juliari Batubara. Uang Rp 8,8 miliar itu diduga akan dipakai untuk keperluan Mensos Juliari Batubara.


Uang itu diduga berasal dari kesepakatan fee penunjukan rekanan pengadaan bansos COVID-19 ini sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket bantuan sosial. Firli mengatakan ada tiga vendor yang ditunjuk oleh Kemensos untuk menyediakan bantuan Corona, salah satu milik anak buah Menteri Sosial Juliari Batubara, yakni Matheus Joko Santoso. Matheus Joko Santoso adalah PPK pengadaan bantuan Corona yang ditunjuk langsung oleh Juliari Batubara.


"Selanjutnya oleh MJS (Matheus Joko Santoso) dan AW (Adi Wahyono) pada bulan Mei sampai dengan November 2020 dibuatlah kontrak pekerjaan dengan beberapa supplier sebagai rekanan yang diantaranya AIM, HS dan juga PT RPI yang diduga milik MJS. Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB dan disetujui oleh AW," tutur Firli. 


Institute for Criminal Justice (ICJR) menentang keras pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri terhadap hukuman mati yang patut diberikan kepada Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Juliari ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan menerima suap dari pengadaan Bantuan Sosial (Bansos) saat pandemi Covid-19.


Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu merekomendasikan langkah yang lebih tepat diambil oleh pemerintah seharusnya fokus pada visi pemberantasan korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan khususnya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan penanganan pandemi lainnya.

"Pengguna pidana mati tidak pernah sebagai solusi akar masalah korupsi," ucap Erasmus, Minggu (6/12).


Sejarah Korupsi Di Indonesia


Korupsi di Indonesia sudah membudaya sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.


Meneropong apa komitmen yang diberikan oleh calon kepala negara untuk memberantas korupsi. Tak pelak ini terjadi karena korupsi terus terjadi menggerus hak rakyat atas kekayaan negara. Kekayaan negara yang berlimpah, nyaris tak tersisa untuk kesejahteraan masyarakat.


Semuanya tergerus oleh perilaku licik birokrat berkongkalingkong dengan para koruptor. Komitmen pemberantasan korupsi ini juga menjadi daya tarik pemilih untuk mencari calon kepala negara yang memiliki komitmen nyata dan memberikan secercah harapan bahwa setiap orang yang berbuat curang pada negara layak diusut sampai penghabisan. Namun kenyataan nya tak sejalan dengan apa yang telah dijanjikan? Inilah hal pahit yang harus ditelan masyarakat di tiap pergantian kepemimpinan, hanya  bualan tak pernah menjadi aksi sungguhan.


Era Orde Lama


Antara 1951 – 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap. Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno.


Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI.


Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil. Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur. Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad.


Era Orde Baru


Kasus-kasus dugaan korupsi mengemuka di sejumlah institusi dan perusahaan negara pada masa awal pertumbuhan rezim Orde Baru. Antara lain di Pertamina, Bulog, PN Telekomunikasi, dan Jajasan Pers dan Grafika. “Korupsi itu melibatkan bukan hanya pegawai negeri tetapi juga para pemakai jasa mereka, dan masyarakat luas,” tulis Francois Raillon dalam Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia.


Orang mengetahui pengusutan kasus korupsi tersebut dari media massa seperti Indonesia Raya, Ekspres, Sinar Harapan, dan Pedoman. Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) mengusut kasus-kasus dugaan korupsi tersebut dengan beralas pada Perpu No. 24 Tahun 1960.


/Pertamina/


Kasus dugaan korupsi Pertamina bermula dari investasi modalnya ke sejumlah bidang usaha di luar minyak dan gas. Investasi itu merentang dari hotel, restoran, biro perjalanan, sampai persewaan pesawat terbang di luar negeri pada 1969. Investasi ini mengeluarkan biaya sebesar 3,5 miliar rupiah dan 600 ribu dolar AS. Tapi yang tercatat hanya 153 juta rupiah dan 132 ribu dolar AS.


Harian Indonesia Raya mengendus ketidakberesan kebijakan investasi dan ketiadaan pengawasan keuangan di Pertamina, termasuk hasil kontrak Pertamina dengan perusahaan minyak asing.


Indonesia Raya melaporkan hal-hal janggal di Pertamina secara berkala sejak November 1969. Misalnya laporan pada 22 dan 24 November 1969. Laporan tersebut menyorot posisi dominan Letjen TNI Ibnu Sutowo sebagai Direktur Pertamina dan ketiadaan inventarisasi kekayaan Pertamina.


/Bulog/


Bulog merupakan lembaga penyuplai kebutuhan beras nasional. Bulog mengatur pengadaan, peredaran, pengendalian harga, dan persediaan beras untuk rakyat. Untuk memastikan semua tugas itu aman, rezim Orde Baru menempatkan kalangan tentara di posisi pucuk Bulog. Tetapi kebijakan ini menimbulkan sejumlah masalah.


Para pemimpin Bulog terlibat pengadaan, penjualan, dan pendistribusian beras secara gelap. Laporan Komisi Empat pada Juli 1970 menyebut bahwa pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. “Untuk tahun 1970/1971 lembaga tersebut merencanakan pengadaan beras dengan iaya Rp69,571 miliar. Tapi jumlah itu hanya akan kembali Rp56,7miliar,” tulis Komisi Empat seperti dikutip Ekspres.


/PN Telekomunikasi (Sekarang PT Telkom)/


Berbeda dari kasus dugaan korupsi di Pertamina dan Bulog, TPK kelihatan begitu bertaring dalam mengusut kasus dugaankorupsi di PN Telekomunikasi. TPK menghitung negara rugi sebesar satu miliar rupiah akibat penyelewengan direksi PN Telekomunikasi.Ketua TPK Sugih Arto menceritakan kronologis dugaan penyelewengan direksi PN Telekomunikasi dalam harian Merdeka, 30 April 1970. Semua bermula dari pembelian rumah dinas di Bandung dan tanah di Jawa Tengah.Sejumlah direksi PN Telekomunikasi memanipulasi harga pembelian rumah. Harga beli rumah menjadi lebih mahal di laporan keuangan ketimbang harga beli di lapangan. Sedangkan untuk memanipulasi pembelian tanah, mereka menulis luas tanah yang dibeli lebih luas daripada luas tanah yang sesungguhnya dibeli.


/Jajasan Pers dan Grafika (JPG)/


Kasus korupsi JPG melibatkan pemimpin redaksi harian Merdeka. Namanya Hiswara Dharmaputra. Dia duduk sebagai bendahara JPG, lembaga negara di bawah kementerian penerangan yang mengatur perusahaan-perusahaan pers Indonesia. Jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 29 Juli 1969 menyebut Hiswara bertanggung jawab atas kerugian negara sebesar Rp12.992.309. Hiswara telah menyalahgunakan wewenang dengan memalsukan surat-surat penting dan pembukuan keuangan. Hiswara melakukan tindak korupsi sejak Februari 1968. Dia menggelapkan uang satu juta rupiah hasil pengembangan modal JPG selama dua bulan dengan bunga 10 persen per bulan. Perbuatan ini diulang sebanyak empat kali.


/Reformasi/


Pada era reformasi, semangat yang menggebu-gebu sebagai wujud era baru, kebebasan berpendapat dan keterbukaan informasi memaksa pemimpin negara pada saat itu untuk segera bertindak agar dinilai berpihak kepada rakyat. Pada masa ini lahirlah undang-undang pemberantasan korupsi yang dinanti-nanti oleh masyarakat lluas dan menjadi tumpuan harapan bagi seluruh bangsa Indonesia sebagai negara madani yang bebas korupsi. Undang-Undang itu adalah UU No. 31 tahun 1999, pada masa Presiden Abdurrahman Wahid dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan  Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK yang dipimpin oleh jaksa agung yang beranggotakan jaksa, polisi dan anggota masyarakat yang kemudian dibubarkan berdasarkan Putusan MA RI atas judicial review terhadap pembentukan TGPTPK dan putusan Praperadilan Nomor 11/Pid/Prap/2000/PN.JAKSEL di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk kasus hakim Agung Ny. Hj. Harnis, Kahar, S.H. dan Ny. Hj. Supraptini Sutarto, S.H.


Hingga Masa kepemimpinan Joko Widodo, angka korupsi terus bertambah dari masa ke masa, bahkan di masa jabatan Jokowi sudah ada 4 mentri yang melakukan tindakan korupsi yakni eks Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi serta eks Menteri Sosial Idrus Marham, merupakan menteri Jokowi di Kabinet Kerja, yakni pada periode 2014-2019. Di periode kedua (2019-2024), menteri Jokowi yang terjerat yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, dan yang terbaru menteri Sosial Juliari P Batubara (JPB). Juliari menjadi menteri keempat yang tersandung kasus dugaan korupsi terhitung sejak periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi (2014-2019).


Demokrasi Tumbuh Suburkan Praktik Korupsi


Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah menyebut, bahwa munculnya kasus-kasus korupsi sangat terkait dengan keberadaan para investor atau cukong politik yang bermain dalam setiap momen pemilihan para pejabat negara, termasuk anggota dewan maupun kepala daerah.


Para investor alias cukong politik ini tak lain adalah para konglomerat yang sangat berkepentingan mengintervensi proses pemilihan karena ada kebutuhan jaminan akan kelangsungan bisnis-bisnis mereka dari kekuasaan. Merekalah yang memasok kebutuhan dana parpol dan para pemburu kursi kekuasaan yang bertarung di ajang-ajang pemilihan.


Kondisi seperti ini memang niscaya ketika Indonesia dengan sadar menerima sistem demokrasi dan korporatokrasi sebagai sistem dan model pengelolaan negara. Dalam sistem ini penguasa dan pengusaha (korporasi) berkolaborasi dalam hubungan simbiosis mutualisme. Yang satu butuh kursi, yang lain perlu kebijakan yang memuluskan.


Nilai standar hidup yang selalu berpatok pada materi membuat jiwa-jiwa manusia menjadi menggila. Berlomba menjadi kaya raya supaya dapat memenuhi birahi manusia yang hanya bersifat duniawi. Memiliki rumah dan mobil mewah, mengoleksi barang branded, berlibur kemana saja, bahkan dengan materi kekuasaan pun dapat dibeli. Materi seolah sudah dituhankan oleh sebagian manusia, mereka jadi buta agama dan rusak sikap nya, padahal kedudukan mereka tinggi namun terkadang ilmu tanpa iman akan berakhir binasa. 


Uang selalu dinobatkan sebagai hal yang membuat manusia bahagia, dapat hidup nyaman tanpa perlu kesusahan, bahkan mampu membeli harga diri siapapun. Sikap rakus dan tak merasa puas menjadi dasar lahirnya jiwa-jiwa koruptor pada tubuh pemimpin. Gaya hidup yang konsumtif menuntut high class membuat siapapun menjadi gelap mata dan tak berpikir dua kali untuk mengambil sesuatu yang bukan hak nya. Dana bansos yang seharusnya tersalurkan kepada rakyat secara menyeluruh justru macet dijalan tersendat sebab ada yang tangan-tangan nakal yang tanpa hati mengambil nya. Katakan dimana letak kemanusiaan nya seorang pemimpin yang membuat sengsara rakyatnya? 


Bandingkan saja gaya hidup para pemimpin dengan rakyatnya bagai langit dan bumi, rakyat sengsara sedangkan para pejabat bergelimang harta, rupanya memang tidak ada niat dan tujuan untuk mengayomi, melindungi dan menyejahterakan rakyat yang bernaung dibawah kekuasaannya.


Paham sekuler dan liberal inilah yang membuat aturan yang berlaku tak jelas standar dan sarat dengan berbagai kepentingan. Bahkan mekanisme demokrasi telah menjadikan pembuatan aturan sebagai jalan memuluskan kepentingan. Terutama bagi mereka yang disokong dana banyak dan akhirnya bisa duduk di kursi kekuasaan.


Penanganan Islam Terhadap Korupsi


Islam merupakan agama yang sempurna. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk urusan pemerintahan. Dalam Alquran, Hadis dan Fikih Islam, pemerintahan Islam dikenal dengan istilah Khilafah. Dalam pandangan Islam kekuasaan ada di tangan rakyat dan kedaulatan ada pada Allah (Alquran dan Hadis). Artinya kepala Negara (Khalifah) yang diangkat berdasarkan rida dan pilihan rakyat adalah mereka yang mendapat kepercayaan dari rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan Alquran dan Hadis. Begitu pula pejabat-pejabat yang diangkat juga untuk melaksanakan pemerintahan berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.


Dalam Pemerintahan Islam pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota majelis ummah/majelis wilayah berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi. Karenanya pemilihan dan pengangkatannya bisa mendapatkan kandidat yang betul-betul berkualitas, amanah dan mempunyai kapasitas serta siap melaksanakan Alquran dan sunnah. Dari sinilah, maka secara mayoritas pejabat Negara tidak melakukan kecurangan, baik korupsi, suap maupun yang lain. Sekalipun demikian tetap ada perangkat hukum yang telah disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh pejabat/pegawai negara.


Strategi Islam dalam memberantas korupsi: 


 (1) Sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik bila gaji mereka tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa. Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Abu Dawud bersabda, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin)”.


(2) Larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud di belakangnya, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah.  Rasulullah SAW bersabda, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud). Selain itu Nabi SAW bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad). 


(3) Ketakwaan,  Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwa, seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah. Dengan takwa pula, ia takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungjawaban. 


(4) Hukuman bagi pemimpin yang korupsi , Pada dasarnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Berbeda dengan kasus pencurian yang termasuk dalam bab hudud, korupsi termasuk dalam bab ta’zir yang hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh nash, tetapi diserahkan kepada khalifah atau qadhi (hakim).Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. bersabda, ”Perampas, koruptor (mukhtalis) dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan.” (HR Ahmad, Ashab as-Sunan dan Ibnu Hibban).


Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.

Wallahu a’lam bis showab.


#Korupsi 




*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم