Benarkah Vaksin Solusi Jitu Pandemi?

 



Oleh: Sitha Soehaimi


Muslimah-voice.com - Vaksin seharusnya tidak dipandang sebagai solusi pamungkas menangani pandemi Covid-19." Demikian ungkap direktur keadaan darurat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Michael Ryan (health.detik.com, 19/11/2020).


Sementara pada saat yang sama, pihak Pfizer  mengklaim tingkat efektivitas pengembangan vaksin temuannya 95% mampu melawan Covid-19, disusul Moderna 94.5% dan Rusia 90%.


Lalu, mengapa negara kita tetap membeli vaksin? Akankah vaksin mampu mengatasi pandemi?


Kontroversi Pembelian Vaksin


Memilih barang terbaik ketika membeli sesuatu adalah hal wajar. Namun sebaliknya, pemerintah justru membeli tiga juta vaksin Sinovac siap pakai di antara berbagai vaksin lain. Padahal Sinovac belum terbukti uji efikasinya. 


Motif di balik pembelian vaksin, setidaknya terungkap dari jubir vaksinasi Covid-19 sekaligus Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi. Ia mengatakan bahwa pemerintah membeli Sinovac karena menjaga   diplomasi bilateral China dan Indonesia. Ditambah Sinovac mampu memenuhi stok yang dibutuhkan Indonesia (Kompas.com, 16/12/2020).


Jika vaksin tidak aman dan tidak manjur, maka Epidemiolog Unair Windhu Purnomo  mengingatkan pemerintah agar tidak memaksa BPOM menggunakan izin edar darurat. Karena vaksin seperti ini tidak layak digunakan untuk  manusia. Sembari Purnomo berharap BPOM punya independensi (Kompas.com, 16/12/2020). 


Sungguh ini adalah kebijakan ugal-ugalan dengan menghamburkan uang rakyat atas nama pandemi. Padahal uang tersebut untuk kepentingan ekonomi pihak tertentu.  Sementara nyawa rakyat sebagai taruhannya.


Pemimpin adalah Penggembala


Hal ini sungguh berbeda dengan aturan Islam. Sabda rasulullah Saw,  "Imam (pemimpin) itu bagaikan seorang penggembala dan dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (Shahih Muslim XII/213, Abu Dawud, no. 2928, III/342-343, At-Tirmidzi, no. 1750, IV/308).


Rasulullah Saw juga bersabda, "Sesungguhnya imam itu perisai (pelindung bagi umat). Di belakangnya umat berperang dan berlindung dengannya.” (H.R. Muslim)


Seorang penggembala bukan hanya menggiring ternak ke padang rumput. Sedangkan, dia bersantai atau tidur di bawah pohon rindang.  Kemudian ketika pulang di waktu sore, dia menggiring ternaknya ke kandang.  


Namun, seorang penggembala harus mengawasi gembalaannya. Menjaga dengan penuh perhatian kebutuhan ternaknya.  Baik dari kualitas dan kuantitas makanan, minuman, musuh yang mengintai maupun penyakit. Begitu pula dia tidak membedakan ternak yang satu dengan yang lain.  


Jika ada ternak yang sakit dan penyakitnya menular maka semua ternaknya akan mendapat perhatian.  Yang sakit diobati, sedang yang sehat diberi perlakuan dan nutrisi terbaik agar tak tertular.  Semua ini akan dia pertanggungjawabkan kepada pemilik ternak.


Demikian pula seharusnya sikap seorang pemimpin terhadap rakyatnya ketika manghadapi pandemi di negeri ini.  


Menurut Prof Raghib As-Sirjani dalam bukunya Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, ketika masa kekhilafahan, perhatian kepada rakyat di bidang kesehatan diberikan sebaik-baiknya tanpa membedakan lingkungan, strata sosial dan tingkat ekonominya.”  Karena hakikatnya baik yang mampu dan tidak mampu, statusnya adalah rakyat. Sehingga semuanya berhak mendapatkan perlindungan terbaik. 


Rasulullah Saw bersabda, “Tidak boleh (haram) membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (H.R. Ibnu Majah dan Ahmad). Karena itu seorang pemimpin wajib memastikan efikasi dan keamanan vaksin yang akan diberikan kepada rakyatnya.    


Tidak dipungkiri, semua hal di atas dapat berjalan jika tersedia dana yang mencukupi. Dalam Islam, dana pandemi diambil dari pos pemasukan fa'i dan kharaj juga pos kepemilikan umum, yakni sumber-sumber tambang, listrik, minyak bumi gas dan harta milik negara. Jika ternyata tidak juga mencukupi, maka harta bisa diambil dari sedekah kaum muslim atau pajak pada orang-orang tertentu. (Zalum, A.Q., 2004, Al Amwal fii Ad-Daulah Al Khilafah, hlm. 23-24, pasal 152 bagian f RUUD).


Sesungguhnya negeri ini mempunyai banyak sekali pos kepemilikan umum. Namun penerapan sistem ekonomi kapitalisme membolehkan harta milik umum dimiliki pihak swasta, baik WNI, asing maupun aseng.  Akibatnya, ketika pandemi yang tidak terduga, negara tidak mempunyai dana menghadapinya.  Sehingga negara justru berutang kepada negara lain dan tidak mampu menolak vaksin yang ditawarkannya.


Sementara dalam sistem ekonomi Islam, semua kepemilikan umum tidak boleh dimiliki swasta.  Hasilnya harus dikembalikan untuk kemashlahatan kaum muslim. 


Karena itulah, jika negeri  yang mayoritas muslim ini ingin keluar dari semua persoalan termasuk pandemi,  bersegeralah mencampakkan sistem kapitalisme. Selanjutnya menerapkan sistem Islam dalam naungan khilafah yang penuh berkah.


#Vaksin 

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم