Oleh : Ummu Syam (Aktivis Muslimah Majalengka)
Muslimah-voice.com - Jiika ada negara dengan tingkat kebencian paling akut kepada Islam, maka itu tak lain adalah Prancis. Tinta sejarah menuliskan, bahwa atas persekongkolan jahat antara Prancis dan Inggris dengan dibantu negara-negara Barat lainnya, Daulah Khilafah hancur berkeping-keping. Menyisakan penderitaan bagi umat Islam.
Jejak penghinaan Prancis kepada Islam pun dapat dilihat dari berbagai literatur sejarah, karena bagi dunia Barat utamanya Prancis melakukan tindakan penghinaan terhadap Islam adalah sebuah tradisi turun-temurun yang harus dilestarikan.
Yang paling fenomenal adalah karya dari Voltaire. Sastrawan yang bernama asli François-Marie Arouet (1694-1778 M) ini pernah mementaskan sebuah drama Le Fanatisme, ou Mohamet le Prophete (Fanatisme pada Nabi Muhammad Saw).
Dalam karya seninya, ia menggambarkan Nabi Muhammad Saw sebagai sosok penipu yang senantiasa mengatasnamakan agama demi mencapai tujuan politiknya. Sebenarnya, hal ini ia tujukan sebagai sebuah sindiran atas sikap gereja dan penguasa pada saat itu yang senantiasa mengatasnamakan agama demi melegitimasi kekuasaan dan kezalimannya, yang ia kemas dalam lebel Islam agar bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat dan tentu saja, menghindari kecaman pihak gereja dan penguasa.
Dan kini, Voltaire abad 21 telah lahir melalui wajah majalah satir Charlie Hebdo dan mirisnya setiap ulah yang dilakukan majalah ini selalu didukung oleh negara-negara Barat dengan dalih kebebasan berekspresi.
Setelah Charlie Hebdo memutuskan untuk menerbitkan kembali kartun Nabi Muhammad Saw pada awal September 2020 silam, gejolak drama di pusaran pemerintahan Prancis terus bergulir bagai episode dalam sinetron yang terus bersambung.
Kini, babak baru dimulai dimana Presiden Prancis Emmanuel Macron meminta para pemimpin Muslim menerima 'piagam nilai-nilai Republik', sebagai bagian dari tindakan keras terhadap Islam radikal. Pada Rabu (18/11), Macron memberikan ultimatum 15 hari kepada Dewan Kepercayaan Muslim Prancis (CFCM) untuk menerima piagam tersebut. Piagam ini dikeluarkan Macron menyusul tiga serangan kurang dari sebulan ini. (Republika, 20 November 2020)
Dua prinsip pada piagam tersebut menyatakan bahwa Islam adalah agama dan bukan gerakan politik, dan melarang campur tangan asing dalam kelompok muslim. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi apa yang disebut dengan "separatisme Islam" dan mencegah radikalisasi Islam.
Sejatinya, bahwa prinsip-prinsip yang terkandung di dalam piagam tersebut telah memperkosa ajaran Islam. Menyatakan bahwa Islam adalah agama dan bukan gerakan politik, adalah bentuk dari sekularisasi ajaran Islam. Selain itu, piagam tersebut juga membuat posisi LSM Muslim terancam dibubarkan jika "tindakan mereka mengancam martabat manusia" atau jika mereka "melakukan tekanan psikologis atau fisik pada orang lain."
Apa yang dilakukan Macron memberikan sinyal kepada kita bahwa 'piagam nilai-nilai Republik' tersebut sebagai bentuk untuk mengalihkan perhatian publik dari kegagalannya sendiri dalam mencegah serangan. Hal ini pun merepresentasikan permusuhan Macron dan dunia Barat terhadap Islam politik, permusuhan kepada ajaran Islam yang hakiki.
Padahal, Islam sendiri adalah agama yang diturunkan untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesamanya.
"Untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesamanya" merupakan deskripsi yang komprehensif meliputi seluruh aspek, mulai dari urusan dunia sampai akhirat, baik yang menyangkut dosa, pahala, surga, neraka, maupun akidah, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.
Itulah mengapa Islam dikatakan sebagai Aqidah Ruhiyah sekaligus Aqidah Siyasiyah. Aqidah Ruhiyah adalah keyakinan yang mengatur aspek-aspek ruhaniyah dan akhirat. Aqidah Siyasiyah adalah keyakinan yang mengatur aspek kemanusiaan, kemasyarakatan, dan keduniawian. Inilah yang membuat Islam berbeda dengan agama lainnya. Agama lainnya hanya sebatas Aqidah Ruhiyah, sedangkan untuk pengaturan dari aspek kemanusiaan, kemasyarakatan, dan keduniawiannya mereka mengambil sistem Kapitalisme, Sosialis/Komunis yang notabene lahir dari pemikiran yang dangkal.
Yang artinya tidak bisa dipungkiri bahwa Islam adalah agama politik dan spiritual. Hal ini bisa dibuktikan dari segi normatif, historis dan empirisnya. KH. Hafidz Abdurrahman, MA pernah menjelaskan dalam bukunya "Diskursus Islam Politik dan Spiritual" dengan penjabaran sebagai berikut:
Pertama, secara normatif. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat elemen yang dimiliki oleh Islam, yaitu pemikiran dan metode.
Elemen pemikiran ini mencakup:
1. Akidah Islam, yaitu keimanan kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Kiamat serta Qadha' dan Qadar;
2. Pemecahan masalah kehidupan manusia, yaitu meliputi hukum syara' yang berkaitan dengan seluruh masalah kehidupan manusia, baik dengan Tuhannya, seperti ibadah, atau pun dengan sesamanya, seperti ekonomi, sosial, politik, pendidikan, sanksi hukum dan sebagainya, maupun masalah manusia dengan dirinya sendiri seperti masalah makanan, pakaian dan akhlak.
Sementara elemen metode ini meliputi bagaimana konsep tersebut diterapkan, dipertahankan dan dikembangkan, antara lain:
1. Metode menerapkan akidah dan hukum syara', yaitu melalui negara Khilafah Islam dan partai politik Islam yang menegakkan Islam;
2. Metode mempertahankan akidah dan hukum syara' melalui institusi pengadilan (al-qadhâ'), dan penerapan sanksi hukum (uqûbât) kepada para pelaku pelanggaran akidah dan hukum syara' yang dijalankan oleh Khilafah Islam.
3. Metode mengemban akidah dan hukum syara' yang dilakukan melalui dakwah yang diemban oleh individu, partai politik dan negara, serta Jihad Fî Sabilillâh baik defensif maupun ofensif, yang dijalankan oleh Khilafah Islam. Jihad ini dimaksudkan untuk menghancurkan dinding penghalang yang menghalangi masuknya cahaya Islam di wilayah yang diperangi. Dengan begitu, para penduduk wilayah tersebut akan dapat menyaksikan cahayanya dengan sempurna.
Kedua, secara historis, banyak bukti dilihat dalam catatan sejarah, sebagaimana yang dibukukan oleh ahli sejarah, baik dalam sîrah maupun târîkh, seperti Sîrah Ibn Ishaq, Maghâzi al-Wâqidi, Tabaqât Ibn Sa'ad, Sîrah Ibn Hisyâm, Târîkh al-Umam Wa al-Mulk, Târîkh Ibn al-Atsîr, Târîkh Ibn Katsîr dan sebagainya. Buku-buku sejarah ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana Islam diterapkan sepanjang berabad-abad.
Ketiga, secara empiris, banyak bukti bisa disaksikan hingga saat ini. Taqiyuddin an-Nabhâni memberikan gambaran yang rinci mengenai dua aspek: Pertama, melalui lembaga pengadilan (al-qadhâ') yang bertugas menyelesaikan perselisihan di tengah masyarakat, baik kasus yang menyangkut anggota masyarakat dengan sesama anggota masyarakat, ataupun kasus antara anggota masyarakat dengan pejabat pemerintahan. Kedua, melalui institusi pemerintahan (al-hakîm) yang bertugas melaksanakan seluruh hukum Islam di tengah masyarakat.
Mengenai bukti empiris penerapan Islam yang terepresentasikan dalam pemerintahan (al-hakîm) yang menerapkan hukum Islam sangat jelas. Ini dapat dilihat dalam buku-buku fiqih, antara lain terlihat melalui struktur: (1) Khalifah, (2) Wakil Khalifah (Mu'âwin tafwîdh), (3) Pembantu administratif khalifah (Mu'awin tanfîdz), (4) Penguasa wilayah dan daerah (Wullât was al-'ummâl), (5) Biro administrasi umum (al-Jihâz al-idâri), (6) Panglima perang (Amîr al-Jihâd), (7) Majelis umat dan (8) Pengadilan.
Inilah fakta dan bukti-bukti empiris yang telah membuktikan keutuhan Islam sebagai ajaran agama yang komprehensif, baik menyangkut konsepsi politik maupun spiritualnya. Maka dari itu, dakwah Islam dengan cara memisahkan agama dan politik sama halnya seperti memisahkan bumi dari porosnya.
Ketika dakwah merupakan metode yang disyaratkan agar Islam bisa diemban kepada orang banyak, masalahnya kemudian adalah mungkinkah dakwah tersebut berjalan tanpa ada yang menjalankannya? Tentu mustahil. Maka, Allah juga mensyariatkan adanya partai politik, jamaah atau kelompok dakwah Islam untuk mengemban tanggungjawab dakwah tersebut.
Karena itu, adanya partai politik, jamaah atau kelompok dakwah yang membawa Islam merupakan keniscayaan yang tidak bisa dinafikan. Jika hukum ini tidak ada, niscaya dakwah akan sulit dijalankan dengan baik dan sukses.
Macron dan dunia Barat paham bahwa Islam akan memimpin dunia kembali, dan kebangkitan Islam hanya persoalan waktu. Untuk itu, Macron dan dunia Barat berusaha untuk meredam kebangkitan umat Islam dengan mengultimatum Dewan Kepercayaan Muslim Prancis (CFCM) untuk menerima piagam tersebut. Dengan menerapkan prinsip Islam adalah agama bukan gerakan politik, sesungguhnya Macron ingin memisahkan umat Islam dengan aktivitas politiknya yaitu berusaha menegakkan kembali kekuasaan yang pernah tegak selama 14 abad lamanya, yang tak lain adalah Daulah Khilafah Islamiyah dengan cara mendakwahkannya.
Bahkan tidak menutup kemungkinan Macron menginginkan lebih dari itu, yaitu seluruh umat Islam buta terhadap politik sehingga umat Islam tidak mampu bangkit. Inilah yang sebenarnya tengah terjadi pada sebagian umat Islam. Padahal Bertolt Brecht, seorang penyair dan dramawan Jerman mengatakan, "Buta terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik, tak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung kepada keputusan politik. Dia membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar: 'Aku benci politik!'. Sungguh bodoh dia, yang tak mengetahui bahwa karena dia tidak mau tahu politik, akibatnya pelacuran, anak terlantar, perampokan, dan yang terburuk, korupsi dan perusahaan multi nasional yang menguras kekayaan negeri."
Untuk itu, jalan satu-satunya untuk menghentikan serangan Barat kepada Islam adalah umat Islam harus memiliki kesadaran politik, yang membuat umat Islam bangkit sehingga pertolongan Allah SWT melalui tegaknya Daulah Khilafah itu datang. Karena Daulah Khilafah hanya akan tegak melalui perjuangan politik dan Khilafah lah satu-satunya pelindung umat.
Wallahu a'lam bish-shawab.