UU Omnibus Law Mengusik Sertifikasi Halal-Haram

 



Oleh: Zulaikha (Mahasiswi IAIN Jember dan Aktivis Muslimah)


Setelah banyaknya penolakan terhadap UU Omnibus Law, yang sekarang menjadi UU Ciptaker yang tidak hanya menimbulkan masalah bagi parah buruh, namun juga mengubah sistem penerbitan sertifikat halal yang sebelumnya sertifikat halal hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) kini undang-undang ciptaker memberi alternatif sertifikat halal dapat dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).


Kebijakan ini diatur dalam pasal 35 A ayat 2 Omnibus Law. Didalamnya dijelaskan apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan atau menetapkan fatwa maka BPJPH dapat langsung memberikan sertifikat halal.


Alasan pemerintah memuluskan pasal ini tidak lain demi kelancaran UMKM untuk mendapatkan sertifikasi BPOM dan sertifikasi halal. Menteri Koperasi dan UMKM, Teten Masduki menilai UU Omnibus dapat mempermudah UMKM untuk mengembangkan produknya tanpa dibebankan dengan sertifikasi halal lagi. Intinya jangan dibuat ruwet proses sertifikasi halal suatu produk. (nasional.kompas.com, 18/2/2020)


Regulasi baru tentang sertifikasi halal ini, tentu sejalan dengan proyek pengembangan Kawasan Industri halal (KIH) yang sedang digarap pemerintah dan upaya pemerintah untuk membangun basis produksi halal dunia. Melalui regulasi ini pemerintah akan memudahkan investasi untuk kawasan industri halal di Indonesia, sebagaimana dikatakan Oleh Direktur perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian Republik Indonesia Ignasius Warsito, bahwa melalui KIH pemerintah ingin menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara ramah investasi. Undang-undang ini juga dapat memberi peluang Delf Declar (Deklarasi Mandiri) produk halal secara serampangan oleh produsen. 


Inilah watak sistem demokrasi kapitalis yang menilai segala sesuatu dengan uang. Segala sesuatu dibisniskan untuk meraup untung yang besar, walhasil pihak korporasi selalu menjadi pihak yang diuntungkan sementara rakyat terus dikorbankan. Parahnya lagi sistem demokrasi telah mengorbankan standar halal yang sesuai syariat atas nama profil. 


Dari sini jelas bahwa Sistem demokrasi memang telah memandulkan peran ulama, ulama hanya ditempatkan sebagai badan legislasi sertifikasi halal, namun tidak sebagai pengawal dan pengarah arah kebijakan negara agar sesuai hukum syariah. Fatwa ulama hanya digunakan jika dianggap menguntungkan rezim bukan sebagai rujukan untuk menjadi solusi masalah Negeri. Padahal merekalah lentera-lentera yang menerangi memberi petunjuk dan hujjah Allah di atas bumi. Mereka Laksana bintang-bintang di langit yang memberi terang dalam kegelapan dunia sebagaimana disebutkan hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam 


"Sesungguhnya perumpamaan Ulama di bumi ini adalah seperti bintang-bintang yang dijadikan petunjuk di dalam kegelapan-kegelapan darat dan lautan, apabila bintang-bintang ini sirna diantara kegelapan-kegelapan tadi maka sudah tentu para penunjuk jalan akan berhadapan dengan kesesatan jalan (HR. Muslim)


Dalam Islam persoalan Halal Haram bukan perkara main-main karena menyangkut barang yang dikonsumsi ratusan juta muslim di negeri ini. Islam telah menjadikan perhatian utama kebijakan adalah kesesuaian dengan syariat dan berikutnya kemaslahatan umum. Sebab Islam diturunkan kepada manusia untuk menyebarkan Rahmat ke seluruh alam, garansi kemaslahatan penerapan Islam langsung dari Allah Rabb semesta alam. kebijakan yang selalu distandarkan pada syariat Islam hanya terwujud di bawah institusi Khilafah


Waallahu'alambishawab.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم