UU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA MENANDAI DIMULAINYA REZIM OLIGARKI?

 


Oleh: Yasmin Ramadhan

(Komunitas Muslimah untuk Peradaban)


Akhirnya sah juga. Cita-cita Presiden Jokowi pun tercapai. Keinginannya Indonesia memiliki UU Omnibus Law pun terwujud. Tepat di tengah malam, hari Senin (05/10/2020) UU Omnibus Law Cipta Kerja diketok palu.


UU setebal 900 halaman lebih dan memuat 174 pasal terdiri dari 15 bab. Di dalamnya mengatur banyak hal mulai dari ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup. Inilah yang disebut dengan Omnibus law.


Tujuannya untuk mempermudah dan meringkas birokrasi. Menciptakan iklim usaha dan investasi yang kondusif. Sehingga mendorong pelaku usaha termasuk investor untuk membuka perusahaan dan lapangan pekerjaan.


Presiden Jokowi mengungkapkan akan ada potensi relokasi pabrik-pabrik dari China sebanyak 119 perusahaan. Saat ini, Indonesia sudah kelimpahan relokasi pabrik dari China, Jepang dan Korea (cnbcindonesia.com, 30/06/2020). Sudah ada 7 perusahaan yang masuk dengan nilai investasi USD 37 miliar dan menyerap 112.000 tenaga kerja.


Demi kelancaran relokasi pabrik-pabrik tersebut, tentu diperlukan sistem regulasi yang mudah. Hadirnya UU Omnibus law diduga bisa menjawab apa yang diinginkan. Sampai di sini, sudah jelas peruntukkan UU Omnibus Law Cipta Kerja.


Omnibus law UU Cipta Kerja draft awalnya adalah RUU Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) sejak awal telah mendapat penolakan banyak pihak. Melansir dari detik.com pada 30 Januari 2020 lalu, organisasi rakyat dan lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menolak Omnibus Law RUU Cilaka. Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) dinilai merupakan alat pemerintah untuk mendapatkan investasi asing melalui cara-cara kolonial.


Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Merah Johansyah Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bahkan pernah mendaftarkan gugatan terhadap Keputusan Presiden untuk Pembahasan RUU Omnibus Law bersama DPR melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (kontras.org, 03/05/2020).


Setidaknya ada lima alasan dilayangkannya gugatan. Pertama, RUU Cilaka cacat prosedur dan substansi, RUU ini tetap dipaksakan oleh Presiden untuk dibahas dan disahkan bersama DPR. Kedua, RUU Cilaka dibuat hanya untuk kepentingan investasi dengan menumbalkan rakyat dan lingkungan hidup. 


Ketiga, RUU Omnibus adalah contoh nyata korupsi politik, praktik buruk penyusunan UU yang menjadi pola yang berulang dalam proses penyusunan kebijakan yang lain. Keempat, RUU Omnibus Law jelas melanggar prinsip negara hukum, demokrasi dan hak asasi manusia. Kelima, bentuk partisipasi aktif warga menjaga HAM dan lingkungan.


Meskipun banyak penolakan dan entah sampai mana gugatan yang dilayangkan ke PTUN, pada faktanya pembahasan RUU Omnibus law ini jalan terus. Seakan kejar tayang, para anggota dewan rapat siang dan malam membahas RUU ini. Bahkan mereka mengorbankan masa reses. 


Sudah disindir oleh Najwa Shihab dalam narasinya. Saat parlemen lain sibuk mengurus covid, di sini malam sibuk membahas UU yang tak ada hubungannya dengan Corona. Justru terkesan seperti kejar setoran. Karena UU yang dibahas bukan untuk kepentingan rakyat, tapi para kapital.


Wajar jika pecah demonstrasi di sana sini menyambut pengesahan UU Cipta Kerja. Seluruh elemen masyarakat turun ke jalan. Buruh, mahasiswa, hingga pelajar menolak Omnibus law UU Cipta Kerja. Bentrokan dengan pihak keamanan pun tak terelakkan.


Sementara, dengan entengnya dijawab para anggota dewan: silakan ajukan gugatan ke MK, sambil mereka bersantai, berlibur mengisi masa resesnya.


Ketika pemerintahan, eksekutif dan legislatif lebih mendengar dan mengakomodir kepentingan pengusaha di atas kepentingan rakyat. Ketika suara rakyat dibungkam sedang rengekan pengusaha terus dilayani. Di saat itulah kekuasaan rezim oligarki dimulai. Dan pengesahan UU Cipta Kerja menandai bermulanya rezim oligarki. Wallahu a'lam. []

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم