UU Ciptaker Sah, Umat Bertambah Resah



Oleh : Novita Natalia


Tepat Senin tanggal 5 Oktober kemarin konon yang disebut para wakil rakyat mengesahkan UU Ciptaker yang dari awal sudah menuai polemik karena jauh dari memihak kepentingan rakyat. Ketika baru berupa rancangan undang-undang pun, hal tersebut sudah menuai kontra dari berbagai kalangan. Maka tak aneh jika ketika diketuk palu pengesahannya menuai respon luar biasa hingga memunculkan demo besar-besaran dari banyak kalangan mulai dari para buruh hingga mahasiswa.


Ketika perundangan ini diresmikan, maka muncul pertanyaan besar dimanakah nurani dan keberpihakan Pemerintah pada maslahat rakyat ? Karena banyak pasal dalam UU tersebut terlihat lebih memihak pada kepentingan pengusaha dan memarginalkan keuntungan rakyat terutama pelaku perekonomian kecil seperti para buruh pekerja, nelayan dan pelaku UMKM.


Beberapa pasal yang diantara dipandang bermasalah adalah pasal 77 A mengenai kewenangan lembur tambahan sesuai kebutuhan pemilik usaha dan dihapusnya kejelasan batas waktu kontrak kerja pada pegawai tidak tetap. Di pasal 88 C dibahas tentang penghapusan UMK sebagai standar gaji di kota atau kabupaten. Lalu pasal 93 ayat 2 menjelaskan pencabutan hak cuti bagi pekerja ( tirto.id/Daftar pasal bermasalah dan kontroversi omnibus law Ruu cipta kerja ).


Jika dilihat pada 3 pasal diatas, jelas UU ini alih-alih menyejahterakan rakyat malah cenderung menyengsarakan. Dengan sah-nya perundangan ini maka akan bertambah rendah penghasilan para pekerja. Dan kualitas kehidupan mereka akan lebih jauh dari kata terjamin dengan tiadanya jaminan hak seperti kejelasan kontrak kerja, masa cuti dan pilihan mengambil lembur atau tidaknya.


Belum lagi jika menelisik pada pasal-pasal lainnya yang berpengaruh terhadap sektor pers, lingkungan hidup dan juga pendidik. Pengesahan UU ini jelas lebih mengarah kepada para kepentingan pemilik modal yang hanya mengindahkan nilai komersil tanpa menimbang dampak pada masyarakat atau lingkungan. 


Terkait pasal 11 mengenai pers, Ketua AJI (Aliansi Jurnalis Independen )   Bengkulu, Harry Siswoyo mengatakan RUU Cipta Kerja berpotensi mengancam nilai-nilai kebebasan pers bagi jurnalis, karena akan terjadi perubahan isi dari Pasal 11 UU Pers.  Pengubahan pasal ini, menurut Harry, berpotensi membuat pemerintah kembali mengatur pers seperti sebelum UU Pers pada tahun 1999 dirancang oleh insan pers dan kemudian menjadi pedoman seluruh pekerja pers hingga saat ini. 


Pada pasal 88 yang menyoal tentang lingkungan hidup juga nampak perubahan yang tidak memihak kepentingan umum. Antara lain dihapuskannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)  yang dapat menjerat pelaku pembakar hutan dan lahan (karhutla). Dan adanya penghapusan pasal Pasal 93 yang menyatakan “Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara." Penghapusan pasal ini juga yang menyebabkan banjirnya kritik bagi pemerintah terkait UU Ciptaker. 


Hingga Manajer Kampanye Pangan Air dan Ekosistem Esensial Nasional Walhi Wahyu A. Perdana berucap  dalam keterangan tertulis, Jumat (14/2/2020, Tirto.id ) 

“Ini adalah hal yang paling konyol. RUU ini pantas disebut sebagai RUU Cilaka, karena pengesahannya hanya memperhatikan dan mengakomodasi kepentingan bisnis,".


Amat disayangkan isi dari pengesahan UU Ciptaker jauh dari memihak kepentingan dan maslahat umat. Di saat belum redanya ujian musibah yang menimpa karena Pandemi Covid-19, jelas sah-nya UU ini menambah daftar keresahan masyarakat terutama kalangan masyarakat menengah kebawah.  Padahal jelas tentunya diharapkan adalah bentuk perlindungan dan proteksi penguasa atas ketidakpastian kondisi selama pandemi ini. 


Maha Benar Allah SWT Sang Khaliq yang telah mengariskan bahwa tugas seorang pemimpin atau penguasa adalah bertanggung jawab terhadap urusan dan maslahat rakyatnya. Karena secara logis dan fitrahnya bahwa rakyat memang tidak bisa berdiri sendiri mencapai kesejahteraan dalam urusan hidupnya tanpa seorang pemimpin.


Cukuplah kita diingatkan dengan sabda  Rasulullah Saw,

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).


Makna raa‘in (penggembala/pemimpin) adalah “penjaga” dan “yang diberi amanah” atas bawahannya. Rasulullah saw memerintahkan untuk memberi nasehat kepada setiap orang yang dipimpinnya dan memberi peringatan untuk tidak berkhianat. Imam Suyuthi mengatakan lafaz raa‘in (pemimpin) adalah setiap orang yang mengurusi kepemimpinannya. Lebih lanjut ia mengatakan, “Setiap kamu adalah pemimpin” Artinya, penjaga yang terpercaya dengan kebaikan tugas dan apa saja yang di bawah pengawasannya (serambinews.com).


Maka dengan terbitnya UU ini bertambahlah tugas kita sebagai bagian dari umat untuk kembali mengingatkan penguasa akan perlunya kembali memihak pada kepentingan umat. Bukan memihak pada kepentingan para pengusaha yang berasas komersil. Maka kembali kita mengingatkan mereka yang diberi amanah sebagai wakil rakyat untuk tidak memikirkan keuntungan para kapitalis dan meng-gol-kan UU liberal yang bertentangan dengan amanah sebagai pemimpin. Dan nampaklah kejelasan bahwa sistem kehidupan sekuler dan liberalis ini tidak menjamin kesejahteraan umat. Dan apa yang disabdakan dalam hadits Nabi SAW bahwa pemimpin adalah pengurus maslahat rakyat hanya bisa terwujud jika kita mengembalikan urusan kita pada syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW. 

Allahu ‘alam bisShawwab.[]


*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم