_Reporter: Puspita Satyawati_
Pakar hukum dan masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menilai, pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja pada rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020), merupakan wujud ketidakadilan penguasa serta mendukung ketamakan oligarki.
"RUU Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi menindas pekerja dan memanjakan korporasi. Mendukung pengesahannya menunjukkan bahwa kita bukan hanya tidak Pancasilais, menabrak konstitusi, tetapi juga mendukung ketidakadilan penguasa serta ketamakan oligarki," tuturnya dalam kuliah online Uniol 4.0 Diponorogo "RUU Omnibus Law CLBK: Buat Siapa Sih," Selasa (27/10/2020), di Zoom Meeting.
Suteki menyebut RUU Omnibus Law menjadi mimpi buruk bagi dunia ketenagakerjaan atau kaum buruh. "RUU ini menciptakan penindasan baru bagi buruh. Beberapa hak dasar buruh terkait upah, pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, hak status karyawan tetap, model karyawan kontrak, yang sebelumnya diatur baik dalam UU No. 13/2003, justru dikaji ulang hingga dihilangkan," jelasnya.
Ia menyoroti, RUU ini mengandung anarkisme konstitusi. Cacat secara formil maupun materiil yang akan berujung pada pemaksaan kehendak pemerintah.
"RUU ini cacat secara formil karena merampas kewenangan menafsirkan peraturan perundang-undangan yang awalnya wewenang yudikatif (Mahkamah Konstitusi) menjadi wewenang eksekutif (presiden melalui pengajuan RUU). Juga cacat secara materiil karena RUU ini tidak mungkin menghasilkan produk legislasi bersifat komprehensif dan memperhatikan aspek konstitusionalitas," bebernya.
Tak hanya mengalami cacat konstitusi, Suteki memperkirakan dampak negatif yang ditimbulkannya justru lebih besar dibanding keuntungan yang bakal diperoleh.
"Dampak negatif RUU ini adalah berpotensi sebagai alat hegemoni oligarki, terjadi sentralisme kewenangan, kaum buruh menjadi budak modern, kerusakan lingkungan hidup, orientasi sistem pendidikan pada penyiapan tenaga kerja murah dan berpotensi memiskinkan kalangan petani, nelayan, perempuan serta difabel. Juga diprediksi bakal terjadi represi negara terhadap rakyat, sementara negara memberikan keistimewaan hukum kepada kapitalis," paparnya.
Menurutnya, RUU Omnibus Law jelas dirancang berbasis paradigma kapitalisme. Kapitalisme menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas segalanya. Kepentingan para kapitalis mendapatkan pelayanan terdepan. "Wajar jika isi RUU tersebut jauh dari rasa keadilan dan kesejahteraan sosial terhadap rakyat," tegasnya.
Ia memandang, pengesahan RUU Omnibus Law menunjukkan posisi institusi DPR tak lebih sebagai tukang stempel bagi rezim untuk menghasilkan peraturan yang menguntungkan keduanya. Termasuk kepentingan kaum oligarki yang menangguk untung dari UU tersebut.
"Negeri ini menghadapi masalah krusial. Sistem yang ada tidak mampu menyangga permasalahan negeri yang kompleks. Sementara rezim hanya memikirkan diri dan kelompoknya. Gejala otoritarianisme terlihat nyata," ujarnya.
Suteki menegaskan, sebagai bentuk ketidakadilan, sudah selayaknya RUU Omnibus Law ditolak. Selain itu, rakyat bersama-sama berjuang mewujudkan tatanan negara mandiri, tidak bergantung pada investasi dan utang luar negeri. Penguasanya juga melayani rakyat dengan sepenuh hati.
"Jadilah negara beneloven. Negara harus mengambil alih soal pengurusan rakyat. Tetaplah menjadi negara pengurus," pungkasnya.[]