Ngadi-ngadi! Kebijakan Menag Undang Polemik Publik



Vania Puspita Anggraeni


Beberapa hari yang lalu, Menteri Agama Fachrul Razi memberikan sebuah pernyataan yang cukup menggelitik publik terkait pola masuknya paham radikal melalui orang berpenampilan menarik atau bisa disebut good looking. Wajar, jika pernyataan ini mengundang polemik di tengah masyarakat luas dan reaksi yang beraneka ragam. Mulai dari reaksi penolakan hingga reaksi yang dikemas dalam sebuah candaan. 


Salah satu pihak yang ikut menunjukkan sikap terkait pernyataan Menag adalah MUI. Dikutip dari artikel online detiknews, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi menarik ucapannya terkait paham radikal masuk melalui orang berpenampilan menarik atau good looking dan memiliki kemampuan agama yang baik. MUI menilai pernyataan Fachrul itu sangat menyakitkan.


Bahkan menurut Muhyiddin, pernyataan tersebut justru menunjukkan ketidakpahaman Menag dan data yang tak akurat diterimanya. Seakan yang radikal itu hanya umat Islam dan para huffaz Al-Qur'an. Muhyiddin juga berpendapat, seharusnya Menag yang berlatar belakang militer lebih mengerti tentang peran umat Islam Indonesia dan menjadikannya sebagai rujukan untuk menciptakan stabilitas nasional, persatuan dan kemajuan di tengah kebinekatunggalikaan.


Tidak berhenti sampai di sini, Menag Fachrul Razi juga mengeluarkan kebijakan pada beberapa hari lalu terkait sertifikasi penceramah. Hal ini, tentu mengundang reaksi publik yang tidak kalah beragam. Bahkan, beberapa tokoh agama juga ikut andil memberikan reaksi terkait kebijakan yang dianggap kurang tepat ini. Meskipun, kebijakan ini dilakukan atas dasar suka rela. Dimana, penceramah boleh mengikuti sertifikasi atau tidak sesuai kehendak hati.


Dikutip dari artikel online cnn Fachrul menegaskan bahwa program tersebut bertujuan untuk mencetak penceramah yang memiliki bekal wawasan kebangsaan dan menjunjung tinggi ideologi Pancasila. Sekaligus, mencegah penyebaran paham radikalisme di tempat-tempat ibadah.


Selain itu, dikutip dari artikel online lain di laman cnn, Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi juga meminta kepada seluruh kementerian dan lembaga pemerintahan untuk tak menerima peserta yang memiliki pemikiran dan ide mendukung paham khilafah sebagai aparatur sipil negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS).


Itulah sebagian diantara kebijakan kementerian agama yang dianggap justru tak mendukung suasana beragama, terutama bagi masyarakat beragama islam. Kementerian agama yang seharusnya memebrikan kebijakan yang mendorong menguatnya identitas keagamaan masyarakat Indonesia, justru seolah menciptakan framing dan ketakutan pada Islam. 


Dengan dalih mencegah radikalisme dan menumbuhkan jiwa kebangsaan, islam dan orang-orang dengan identitas keislaman seolah-olah menjadi ancaman bangsa. Padahal, berbagai fakta nyata yang justru menumpuk untuk diselesaikan dan butuh kebijakan pemerintah dan kementerian terkait, termasuk kementerian agama. Sebut saja maraknya kasus poliandri di kalangan PNS, rusaknya moral generasi dengan meningkatnya tindak kejahatan, dan lain-lain. 


Kini, kebijakan yang dicanangkan Menag kembali menuai polemik publik. Mulai dari konsep good looking yang dianggap pola penyusupan paham radikal, sertifikasi penceramah yang dikhawatirkan akan ditunggangi kepentingan golongan tertentu, dan pelarangan ASN yang terindikasi ide khilafah. Semua itu semacam kebijakan yang dianggap kurang logis dan terkesan membatasi umat islam untuk melaksanakan syariat amar ma’ruf nahi mungkar. Lagi-lagi semua ini disokong oleh dalih pancasilais dan upaya deradikalisasi. Namun nyatanya, upaya deradikalisasi tersebut seolah seperti memberi kesan secara lugas bahwa yang sebenarnya terjadi adalah deislamisasi untuk mencegah tegaknya syariat islam yang mulia.[]



*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم