Oleh: Ummu Athifa
(Ibu Rumah Tangga dan Penulis)
Manusia merupakan ciptaan Allah Swt. dengan potensi yang melekat pada dirinya. Potensi berupa otak (akal), naluri, dan kebutuhan jasmani. Semua akan bekerja sama dengan baik tatkala difungsikan sebagamana mestinya.
Begitupun dengan karakter sangat dipengaruhi salah satu potensi manusia, yaitu otak (akal). Maka, dalam mengembangkan otak yang dapat mengikat informasi tak ada salahnya dengan meningkatkan minat baca buku sejarah. Ini tak lain untuk mengambil hikmah dari kejadian yang telah lampau.
Atas dasar ini menginspirasi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bangka Belitung, Muhammad Soleh mengatakan siswa SMA harus membaca buku tersebut agar mengetahui sejarah, walaupun secara umum belum sepenuhnya membaca buku tersebut (detiknews.com, 03/10/20). Namun, belum sempat keputusan tersebut sampai ke sekolah di daerahnya, tetapi langsung dihentikan. Pemberhentian itu dilakukan karena penulis bukunya, yaitu Ustad Felix Siauw.
Oleh karena itu, banyak sekali kontra yang terjadi. Seperti contoh dari Ketua PW Nahdlatul Ulama Bangka Belitung, KH Jaafar Siddiq menyayangkan dan mengkritik keras apa yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Babel, dikarenakan di dalam buku tersebut ada penggiringan untuk membangkitkan khilafah Islamiyah, bukan sejarah asli saja (detiknews.com, 03/10/20).
Selain itu, Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah mengkritik keluarnya instruksi tersebut, dikarenakan penulisnya merupakan anggota kelompok yang sudah dibubarkan oleh pemerintah. Menurutnya, masih banyak tokoh yang dapat diteladani, seperti pahlawan nasional, yaitu Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, K.H. Hasyim Asy'ari, Bung Karno, Bung Tomo, atau Jenderal Soedirman
(republika.co.id, 03/10/20).
Fakta tersebut memperlihatkan adanya kekhawatiran dari pemerintah dalam mempelajari karakter tokoh dari buku Muhammad Alfatih. Kekhawatiran yang berlebihan ini dikarenakan Alfatih merupakan Khalifah di masa Khilafah Utsmaniyah. Permasalahannya terfokus kepada penulis buku yang sering mendakwahkan ide khilafah.
Selain itu, ditakutkan siswa yang membacanya terinspirasi perilakunya dan meneladani karakter Muhammad Alfatih. Siswa itu seharusnya tidak membaca sejarah seperti itu, tetapi lebih kepada sejarah pahwalan di Nusantara. Akibatnya, kebijakan ini tak dilanjutkan lagi.
Itulah yang terjadi pada generasi saat ini. Mereka kurang pengetahuan akan sejarah Islam, karena minat baca yang kurang, ditambah acuan bukunya pun jarang ada. Padahal, buku yang berkaitan dengan sejarah Islam akan memberikan semangat juang dan renungan untuk berpikir dan bertindak agar lebih baik lagi.
Jika ditelaah buku Muhammad Alfatih 1453 mengisahkan seorang anak yang semenjak kecil dididik untuk menjadi pemimpin yang cerdas, berani, dan kuat untuk menaklukan Konstantinopel. Konstantinopel adalah kota yang memiliki peradaban besar dan pertahanannya terbaik di dunia. Sebenarnya, sudah puluhan percobaan dilakukan untuk menaklukan kota tersebur, tetapi hasilnya selalu gagal. Maka, dibuktikannlah oleh Muhammad Alfatih yang dapat menaklukannya.
Muhammad Alfatih merupakan seorang anak muda yang menjadi pemimpin dengan memiliki kekuatan pemikiran ideologis, sehingga dapat menguatkan posisinya di mata rakyat dan pasukannya. Beliau juga adalah seorang ulama dan ilmuwan yang sudah hafal Al Quran sejak masih kecil dan memahami tujuh bahasa dunia. Kehidupannya sangat akrab dengan berbagai keilmuan, serta masa pendidikannya dibimbing oleh ulama terbaik ketika itu.
Sehingga, tak heran jika Muhammad Alfatih merupakan seorang Khalifah dalam usia yang masoh sangat muda. Selain itu, merupakan panglima perang yang sangat yakin tentang bisyarah (kabar) dari Nabi Muhammad Saw. yaitu, “Kota Konstantinopel nanti akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya merupakan sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya merupakan sebaik-baik pasukan." [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335].
Itulah gambaran sosok Muhammad Alfatih yang dikisahkan dalam bukunya yang fenomenal. Maka, pada hakikat kepribadian seorang muslim tak lepas dari konsekuensi keimanannya. Yakni harus memegang identitas muslimnya dalam seluruh aktivitas kesehariannya. Identitas itu nampak pada pola berpikir (aqliyyah) dan pola bersikapnya (nafsiyyah) yang dilandaskan pada aqidah Islam.
Adapun, metode pembentukan dan pengembangan kepribadian Islam dalam diri seseorang terdapat tiga prinsip sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW. yaitu:
Pertama, menanamkan aqidah Islam sebagai aqidah aqliyyah (aqidah yg keyakinannya muncul melalui proses pemikiran yg mendalam, pemikiran tentang al uqdah al kubro).
Kedua, menjadikan aqidah Islam sebagai ide dasar (fikroh asasiyah) dalam setiap pola pikir dan pola sikapnya untuk menjalani semua aktivitas kehidupan. Artinya, semua perilakunya berlandaskan hukum Islam.
Ketiga, bersemangat mengembangkan kepribadiannya dengan cara mengikuti berbagai kajian. Ini dilakukan untuk menambah tsaqofah Islamiyyah, serta mengamalkannya dalam seluruh aspek kehidupannya dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT.
Wallahu'alam bi shawab. []