Oleh: Kholila Ulin Ni'ma, M. Pd. I
"Kita juga tidak boleh melupakan zikir, istighfar, taubat kepada Allah Subhana Wa Ta'ala," demikian kata Presiden Joko Widodo saat membuka Muktamar IV PP Parmusi tahun 2020 di Istana Bogor Sabtu lalu (merdeka.com, 26/9). Orang nomor satu di Republik Indonesia ini mengingatkan masyarakat untuk tidak lupa mengingat Allah SWT di tengah pandemi Covid-19. Tak hanya itu, masyarakat juga disarankan untuk memperbanyak sedekah membantu orang-orang yang sedang kesulitan saat ini.
Saran yang bagus. Tidak ada yang salah dari anjuran tersebut. Islam juga menganjurkan sedekah bagi orang yang membutuhkan. Islam pun juga mengajarkan perbanyak istighfar dan taubat. Terlebih jika masalah muncul bertubi-tubi, setiap orang perlu introspeksi. Bisa jadi berbagai musibah yang datang itu sebagai bentuk teguran Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Maka memang sudah selayaknya masyarakat memperbanyak istighfar dan taubat dari segala maksiat. Tidak hanya rakyat, tapi juga para pemimpinnya.
Hanya saja, yang perlu diperhatikan ialah, taubat seperti apa yang disyariatkan Allah ta'ala? Cukupkah dengan beristighfar dan sedekah? Sedangkan berbagai kemaksiatan tetap dilakukan? Tentu tidak boleh demikian.
/Taubat yang Sesungguhnya/
Allah ta'ala berfirman:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إلى اللَّهِ تَوبَةً نَصُوحَاً عَسَى رَبُّكُمْ أنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (TQS at-Tahrim: 8)
Taubat nashuha dari dosa adalah taubat yang dilakukan dengan melakukan empat perkara. Pertama, mencampakkan dosa itu. Kedua, menyesal telah melakukannya. Ketiga, bertekad tidak mengulanginya. Keempat, jika berkaitan dengan hak Adami, maka dikembalikan kepadanya hak itu atau berupaya mendapat pemaafan/kerelaannya, dan hendaknya dalam semua itu tulus kepada Allah SWT. Dan Allah Maha Mengetahui yang rahasia dan yang terang-terangan dinyatakan. Artinya, Allah Maha Tahu siapa yang taubat karena bentuk takutnya pada Allah. Dan siapa yang taubat tapi dengan hati meremehkan maghfirah dari Allah.
Nah, siapa saja yang harus taubat? Dan dosa manakah yang perlu segera ditaubati? Musibah Covid-19 telah merata di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Maka seluruh rakyat beserta pemimpinnya harus mencari sumber dosa mereka. Perlu kiranya kita melakukan muhasabah bersama. Sudahkah kita menjadikan syariat Islam sebagai pedoman di setiap aktivitas kita? Sudahkah para penguasa menggunakan hukum-hukum Allah saat melayani rakyatnya? Sudahkah rakyat melaksanakan kewajiban untuk mengingatkan penguasa zalim yang tidak menggunakan syariat dalam memimpin rakyatnya?
Faktanya, kita masih menggunakan sistem buatan manusia untuk mengatur kehidupan kita. Negara pun masih menggunakan sistem kapitalis sekular dalam mengurus rakyatnya. Rakyatpun masih banyak yang masa masa bodoh dengan kezaliman penguasa. Sedangkan rakyat yang berjuang mengingatkan penguasa justru dikriminalisasi dengan keji. Jika tetap seperti itu, cukupkah kita hanya beristighfar? Cukupkah hanya dengan bersedekah? Seperti itukah yang disebut taubat?
Kita shalat, zakat, serta puasa mengikuti Rasulullah SAW akan tetapi ekonomi mengekor Adam Smith, politik meneladani demokrasi ala JJ Rousseau, dan secara perlahan politik berpedoman pada komunisme ala Karl Marx. Bahkan wabah corona pun tidak dihadapi dengan tuntunan syariat-Nya. Ini menunjukkan kita dan para penguasa belum taubat nasuha. Taubat nasuha hakikatnya terlaksana jika kita mengganti seluruh sistem kehidupan dengan sistem kehidupan Islam.
Kenapa demikian? Sebab, bisa jadi wabah ini adalah peringatan dari Allah sebab kita dan para penguasa meninggalkan syariat-Nya. Sehingga, taubat yang sesungguhnya adalah dengan menyesali hal itu dan kembali menegakkan aturan-aturan Allah dalam naungan institusi Islam yang biasa disebut Khilafah.
Menegakkan aturan Islam dalan naungan Khilafah merupakan kewajiban yang mulia. Bahkan para ulama menyebutnya sebagai _taajul furuudh_ (mahkotanya kewajiban). Sebab, dengan khilafah lah berbagai kewajiban lain bisa terlaksana dengan sempurna. Demi tepat sasarannya pembagian zakat, kita butuh khilafah. Untuk menjamin ibadah haji terlaksana dengan baik, kita butuh khilafah. Apalagi sistem sosial, ekonomi, politik, yang itu menyangkut banyak masyarakat, maka kita sangat butuh khilafah. Tanpa Khilafah, sangat banyak hak-hak _Adamy_ masyarakat yang tidak bisa dipenuhi oleh penguasa.
Karena itu, dalan rangka taubat nasuha, sudah seharusnya masyarakat dan penguasa mendukung tegaknya sistem Islam tersebut. Bukannya menghalang-halangi tegaknya khilafah, menentang para pejuangnya, dan justru membebek pada kapitalisme sekular. Kita semua harus sadar, inilah dosa yang harus kita taubati bersama. Tak cukup dengan istighfar. Namun, harus ada penyesalan dan upaya melaksanakan kewajiban mewujudkan Daulah Khilafah.
*Khilafah Atasi Wabah dengan Syariah*
Dengan Khilafah, in syaa Allah wabah akan segera terkendali. Sebab Islam mewajibkan segera mengunci wilayah _(lockdown)_ sejak awal. Segera diklasifikasikan pula, siapa saja yang sakit, siapa yang sehat. Dengan demikian orang-orang sehat di wilayah bebas wabah tetap bisa beraktivitas seperti biasa. Ibadah tetap bisa dilakukan optimal. Ekonomi pun tidak mandeg secara mendadak. Selanjutnya, yang sakit segera ditangani dan diberikan pelayanan kesehatan yang layak. Tenaga kesehatan pun dilindungi dan dijamin penghidupannya. Tak ketinggalan, rakyat yang ekonominya terdampak karena wabah, dibantu untuk memenuhi kebutuhannya.
Dari mana dananya? Islam mempunyai pos pemasukan yang jelas. Islam tidak menjadikan pajak dan utang sebagai sumber utama pemasukan negara. Apalagi utang riba, jelas haram hukumnya. Dana penanggulangan bencana diambilkan dari _fa'i, kharaj, milkiyah ammah_ (kepemilikan umum) seperti sumber daya alam migas, mineral, batu bara, dll yang itu dikelola oleh negara dan hasilnya diberikan pada rakyat, salah satunya untuk menanggulangi bencana.
Tercatat dalam sejarah kesuksesan Khalifah Umar bin Khaththab menyelesaikan serangan wabah yang menimpa rakyatnya. Sekalipun ditimpa hingga dua jenis bencana besar, namun Khalifah tidak kehilangan kendali. Beliau tetap menunjukkan karakternya sebagai seorang pemimpin yang bersegera menyelesaikan masalah rakyat yang menjadi tanggung jawabnya. Kedua bencana tersebut dihadapi dengan solusi yang menyelesaikan.
Kesuksesan melawan wabah yang telah diraih khalifah Umar, faktor utamanya bukan terletak pada beliau sebagai pribadi semata, namun disebabkan juga sistem aturan yang diterapkan oleh beliau.
Khilafah Islam memprioritaskan urusan pengayoman terhadap kehidupan rakyat, sebab itulah cerminan dari posisinya sebagai _raa’in_ dan _junnah_ (pelayan dan perisai). Tidak boleh negara mengambil kebijakan yang mengabaikan nasib dan nyawa mereka. Pemerintah Islam tidak mungkin mengorbankan nasib mereka atas dasar pertimbangan ekonomi, apalagi menukarnya demi kepentingan segelintir pengusaha. Jadi, kembali pada sistem Islam merupakan bentuk taubat yang sesungguhnya.
_Allahu a'lam bish shawab._