Oleh: Siti Nurul Hidayah, S.Si (Guru dan Pengasuh Rumah Bina Al-Qur’an di Sampang)
Kembali, umat Islam dibuat meradang dengan kasus penusukan Syekh Hafidz kondang di negeri ini beberapa waktu yang lalu. Syekh Ali Jaber ditusuk seorang pemuda berinisial AA saat menghadiri pengajian dan wisuda Tahfidz Alquran di Masjid Falahudin, Tamin, Tanjungkarang Pusat, Bandar Lampung. Pemuda tak dikenal itu diketahui membawa pisau dari rumah, dia naik ke atas panggung tempat berlangsungnya acara hingga terjadi penusukan yang melukai Sang Pendakwah Syekh Ali Jaber.
Sangat disayangkan setelah kejadian ini ada pengakuan dari pihak keluarga pelaku bahwa AA sudah 4 tahun mengalami gangguan mental. Meskipun pihak kepolisian masih menelusuri tentang pengakuan gangguan jiwa tersebut dengan dokter ahli jiwa terkait, banyak kalangan yang berharap agar pihak kepolisian tidak mudah mempercayainya dan bisa mengusut tuntas kejadian ini, sehingga tidak terus berulang kejadian yang menimpa para ulama'.
/Respon khalayak menyikapinya/
Anggapan gangguan kejiwaan si pelaku itu, telah banyak menuai respon dari berbagai kalangan yang membuat tagar orang gila trending topik di jagad maya hingga dicuitkan sebanyak 44 ribu kali. Banyak pihak yang meragukan tentang anggapan gila si pelaku. Termasuk kesaksian dari orang-orang yang mengenalnya baik dari lingkungan tinggalnya maupun dari akun medsos yang dimiliki si pelaku.
Di samping itu masyarakat sudah mulai tumbuh kesadarannya dari kejadian demi kejadian yang menimpa para ulama' dan umat Islam di negeri ini. Karena setiap kekerasan yang terjadi terhadap para tokoh agama selalu diduga dilakukan oleh orang yang mengalami gangguan jiwa.
Hal ini membuat masyarakat bertanya-tanya adakah perlindungan keamanan untuk para ulama' di negeri ini? mengingat sejumlah kejadian yang selalu berulang dialami para ulama berupa kekerasan hingga berujung pada kematian.
/Jaminan perlindungan untuk Ulama yang hilang/
Terkait kejadian penusukan terhadap syekh Ali Jaber di Bandar lampung itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD angkat bicara.
Beliau menjelaskan “Pemerintah menjamin kebebasan ulama untuk terus berdakwah amar makruf nahi munkar. Dan Saya menginstruksikan agar semua aparat menjamin keamanan kepada para ulama yang berdakwah dengan tetap mengikuti protokol kesehatan di era COVID-19,” katanya. (viva.co.id, 13 September 2020).
Menyikapi pernyataan tersebut, sebenarnya merupakan pernyataan yang belum sesuai realita. Karena pada faktanya masih banyak ulama dipersekusi karena mendakwahkan ajaran Islam yang sesungguhnya dan melakukan koreksi terhadap praktik kedzaliman rezim.
Padahal sejatinya ulama adalah pewaris para nabi yang mengemban amanah dakwah sebagaimana telah disabdakan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits,
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sungguh ulama adalah pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Akan tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambil ilmu itu, maka ia telah mendapatkan bagian terbanyak (dari warisan para nabi).” (HR Tirmidzi (2682))
Karena itu amanah dakwah merupakan kewajiban setiap muslim yang dilakukan para ulama untuk menyampaikan perintah yang berasal dari Al-Qura'an dan As-Suunnah. Bukan dakwah yang dilakukan dengan legalitas sertifikat apalagi pesanan kepentingan rezim penguasa.
Semestinya dengan menjamurnya para pendakwah di negeri ini bisa didukung oleh pemerintah karena hal itu dapat membantu pemerintah dalam memberikan edukasi tentang pemahaman agama bagi masyarakat yang masih sangat dibutuhkan. Bukan dengan upaya sertifikasi yang mengakibatkan ruang para pendakwah seolah-olah makin dipersempit. Apalagi sampai dicurigai dengan adanya faham radikalisme yang melekat pada da'i tertentu. Maka pertanyaannya apakah hal ini yang dimaksud memberi jaminan kebebasan terhadap ulama dalam berdakwah? Tentunya tidak dengan meresahkan para ulamanya bukan?
Dengan memperhatikan kejadian demi kejadian yang dialami para ulama dan tokoh agama belakangan ini, seharusnya dapat menjadi instropeksi bagi pemerintah bahwa di tanah air ini, perlindungan keamanan terhadap para ulama belum terjamin meskipun sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Dan sesunguhnya yang dibutuhkan ulama bukan hanya sekedar perlindungan dari ancaman secara fisik saat berdakwah. Tetapi hal yang lebih besar lagi yaitu juga membutuhkan keberadaan sistem yang mendukung agar dakwah yang dilakukan bisa menghantarkan pada kesadaran umat dalam ber-Islam secara kaffah. Karena yang dirasakan saat ini sistem pelindung itu hilang, akibatnya pendakwah dicurigai sedangkan umat tidak teredukasi.
/Sistem Islam Menjamin Perlindungan Terhadap Ulama/
Sesuai pernyataan Menkopolhukam tentang adanya jaminan dari pemerintah terhadap kebebasan ulama dalam berdakwah, tentunya selalu menjadi harapan dari masyarakat agar benar-benar sesuai kenyataan. Sesungguhnya harapan ini telah terwujud dalam sistem yang pernah dicontohkan oleh Rasululullah dan para Kholifah dalam masyarakat Islam. Karena dalam sistem Islam yaitu Khilafah, para ulama wajib dimuliakan. Para ulama sangat berperan bahkan menjadi rujukan dalam berbagai urusan kehidupan. Bukan hanya dalam masalah ibadah dan akhlaq tapi juga masalah bermasyarakat dan bernegara dalam aspek politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lainnya.
Oleh karenanya menjadi sosok ulama dalam masyarakat Islam begitu didambakan. Para generasi mudanya termotivasi untuk mendalami berbagai keilmuan. Sehingga tidak heran banyak bermunculan para cendekiawan muslim yang dilahirkan dalam peradaban Islam. Karena negara memberikan kemudahan seluas-luasnya kepada warganya dengan menyediakan berbagai fasilitas dan sarana guna mendukung lahirnya para ulama di tengah-tengah mereka.
Selain itu para penguasanya begitu dekat dengan ulama untuk dimintai nasihat dalam urusan kepemimpinannya. Seperti khalifah Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Umar bin Abdul Azis yang meminta nasehat dari Dzakwan bin Kaisan dengan julukan Thawus (burung merak) karena laksana thawus bagi para fuqaha dan pemimpin pada masanya. Begitu pula ketika khalifah beralih ke tangan Hisyam bin Abdul Malik, banyak kejadian masyhur dan mengesankan antara dia dengan Thawus bin Kaisan.
Demikianlah sikap seharusnya penguasa terhadap ulama yang dikisahkan pada sistem Islam. Dengan memuliakannya yaitu mengikuti ajarannya bukan memusuhinya apalagi mencurigainya. Karena itulah keberkahan hidup dalam naungan sistem Islam terasa dan kejayaan Islam selama ribuan tahun terjaga hingga menguasai 2/3 wilayah dunia.
Namun sangat disayangkan kini sistem pelindung itu hilang di bawah kekuasaan Sekuler Kapitalis yang hanya menjadikan ulama sebagai alat kekuasaan. Sehingga kehidupan di negeri ini terasa jauh dari keberkahan dan persoalan kehidupan tidak kunjung terselesaikan.
Maka di saat Allah menurunkan musibah yang tengah melanda umat manusia di dunia ini yaitu adanya wabah covid 19 yang belum kunjung berakhir. Sudah seharusnya hal ini menjadi pengingat kita umat Islam utamanya para penguasa di negeri-negeri muslim, agar kembali kepada hukum-hukum Islam sebagai panduan dan menjadikan ulama sebagai rujukan. Dengan begitu tidak akan ada lagi sitem pelindung untuk ulama dan umat yang hilang. Semoga hal itu tidak lama lagi. Amin.[]