Oleh Adzkia Firdaus
(Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan)
Pemilihan kepala daerah (pilkada) kembali digelar pada 2020, Pilkada serentak yang akan digelar di 270 daerah yang awalnya direncanakan pemungutan suaranya pada September 2020, dan Komisi Pemilihan Umum telah memulai tahapan penyelenggaraan sejak Oktober 2019. (antaranews.com/15/6/20).
Sejatinya perhelatan ini adalah hal yang biasa dilakukan dalam alam demokrasi guna memilih pemimpin daerah se Indonesia di lebih dari 270 daerah, namun ada yang berbeda pada tahun 2020 ini, dimana kondisi negeri ini dan dunia pada umumnya tengah bertarung menghadapi pandemi yang hingga hari ini tak kunjung usai.
Banyak pro dan kontra, Sekitar 91% yang mengikuti polling meminta agar pilkada ditunda karena tidak ada urgensinya dan hanya membesarkan masalah yang sudah ada.(beritasatu.com/14/9/20).
Kewajiban memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan belum bisa dipatuhi oleh seluruh lapisan masyarakat, Sabang hingga Merauke. Jika dipaksakan, pilkada bakal menjadi bom waktu yang melipatgandakan angka positif Covid-19.
Belum lagi adanya wacana saat kampanye diadakan konser musik, terang saja hal ini akan menambah deret angka penambahan pasien covid-19 jika tidak ditangani dengan baik.
Satgas Penanganan COVID-19 mengungkap ada sejumlah bakal calon kepala daerah yang dinyatakan positif Corona (COVID-19). Jumlahnya ada 60 bakal calon kepala daerah dan "Terdapat 243 pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh bapaslon, bakal pasangan calon, maupun partai politik, beberapa pelanggaran tersebut di antaranya ada yang positif saat mendaftar, terjadinya kerumunan seperti arak-arakan, dan tidak menjaga jarak, dan tidak melampirkan hasil swab saat mendaftar," kata Wiku (news.detik.com/17/9/20)
Musuh besar bangsa kini adalah pandemi Covid-19 yang sudah terbukti mematikan, sangat cepat penularannya, dan meluluhlantakkan perekonomian. Tidak mungkin ekonomi pulih jika angka positif Covid-19 terus meningkat. Karena itu, faktor pemicu ledakan positif Covid-19, seperti pilkada, sebaiknya ditunda.
Namun berbagai keresahan masyarakat ini ditanggapi berbeda oleh pemerintah, seperti yang diberitakan bahwa pemerintah menilai penundaan Pilkada 2020 sulit diwujudkan karena berbagai alasan diantaranya adalah bahwa usulan soal Pilkada serentak kembali ditunda sulit diwujudkan karena perubahan UU membutuhkan waktu. Selain itu, penerbitan Perppu juga perlu persetujuan DPR dan belum tentu disetujui. (makassar.terkini.id/13/9/20).
Begitu rumitnya persoalan perubahan peraturan negara seolah menjadi prioritas ketimbang menyelamatkan nyawa warga. Inikah pemimpin idaman yang diharapkan? inikah sistem yang dielu-elukan? yang justru lebih memilih kursi jabatan ketimbang kesehatan masyarakat.
Apapun alasan lainnya yang dikemukakan tak ada yang lebih diutamakan selain nyawa manusia yang terus bertambah melayang akibat wabah ini. Inilah gambaran sistem demokrasi, dimana pemilu ataupun pilkada menjadi indikator keberhasilan penerapan sistem ini pada suatu negara. Sehingga penguasa seolah menutup mata dari apapun yang menghambat pemilihan itu tertunda.
Padahal andai sedikit saja penguasa negeri melirik terhadap kurva yang masih melonjak naik, sedikit saja peduli dengan banyaknya para tenaga medis yang berguguran ketika melakukan tugas, maka semua alasan di atas bisa diatasi, toch yang membuat aturan kan mereka juga, mengapa tidak digunakan alasan keadaan darurat untuk menunda pilkada ini dllaksanakan.
Sesuai UU Dasar, dalam keadaan genting dan memaksa, pemerintah dapat menetapkan peraturan pemerintah untuk melaksanakan UU sebagaimana mestinya. (Jika) UU diubah, prosesnya lama. Tetapi kalau perppu, wewenangnya kan ada di tangan presiden. Kenpa hal ini tidak dilakukan? mengapa tetap.ngotot melaksanakan pilkada ditengah pandemi belum reda?
Anggota Dewan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menilai, penundaan pilkada dapat dilakukan melalui keputusan politik antara KPU, pemerintah, dan DPR sesuai ketentuan Undang-Undang (UU) tentang Pilkada. Ketiganya dapat melibatkan pertimbangan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 berdasarkan situasi pandemi Covid-19 terkini.(republika.co.id/20/9/20).
Dalam Islam pemimpin adalah seorang perisai bagi rakyatnya, dimana dia menjadi tempat berlindung bagi ummat yang mempercayakan kepemimpinan padanya. Apalagi ditengah pandemi saat ini, tak terpikirkan untuk melakukan pemilihan kepala daerah hanya karena segala aturan yang sudah dibuat oleh mereka sendiri sulit untuk diubah lagi.
Dari Ibn Umar ra. Dari Nabi saw, beliau bersabda : " Kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang penguasa adalah pemimpin, seorang suami adalah seorang pemimpin seluruh keluarganya, demikian pula seorang isteri adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya.Kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungtawaban atas kepemimpinan kalian".[1](HR. Bukhari dan Muslim)
Jangan sampai karena pilkada tak ditunda, kurva pasien covid-19 melonjak seketika, apalagi dengan minimnya kesadaran masyarakat akan protokol kesehatan menambah keresahan akan kesehatan warga. Inilah yang harusnya menjadi pertimbangan penting bagi para penguasa. Wallahu a'lam bishowab.[]