PKKMB VIRAL: DARI SABUK HINGGA BERUJUNG KERETAKAN

 



Siti Ma’rufah (Pengajar Peduli Generasi)


Beredar video Pengenalan Kehidupan Kampus (PKKMB) Fakultas Ilmu Pendidikan  (FIP), Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang viral di media sosial. Video viral tersebut memuat aksi kekerasan verbal  kakak tingkat (panitia PKKMB) terhadap Mahasiswa Baru (Maba) saat peneguran karena tidak melengkapi atribut (sabuk) PKKMB. 


Menanggapi kasus yang mencemarkan nama baik Unesa ini, Humas Unesa, Vinda Maya menyatakan, ”Kami mengumpulkan semua pihak, dari pihak kampus dan mahasiswa akan diselesaikan secara kekeluargaan di dalam internal kampus. Sehingga tidak mengganggu proses pembelajaran dan perkuliahan”. Selain itu ia menambahkan,” Terkait sanksi yang diterapkan oleh kampus, kami akan memberikan sanksi berupa teguran kepada mahasiswa sebab hal ini merupakan kekerasan non verbal yang dilakukan melalui virtual. Tetapi dengan adanya kasus seperti ini akan menjadi pembelajaran dan evaluasi pihak kampus agar supaya  tidak terjadi kembali dikemudian hari”.


Yak hanya itu, Rektor Unesa Prof. Dr. Nurhasan,M.Kes. mengeluarkan pernyataan resmi secara tertulis. Pernyatan tersebut memuat tentang menyayangkan terjadinya peristiwa ini. Unesa akan mengevaluasi dan mejadikannya pelajaran untuk kedepannya. 


Selain pihak Unesa, Kemendikbud juga berkomentar. Pihaknya menghimbau pimpinan perguruan tinggi memastikan kegiatan di lingkungan kampus bebas dari bulliying  atau perundungan dan kekerasan. 


Dari rangkaian fakta tersebut, ada beberapa hal yang dapat dikomentari yaitu:


Pertama, tradisi jahiliyah kasus berupa kekerasan di dalam pelaksanaan Pengenalan Kehidupan Kampus bukanlah hal baru. Namun ini merupakan agenda yang terjadi secara turun temurun (tradisi). Hal inilah yang akhirnya memicu timbulnya rasa dendam terhadap para junior. Sebagaimana  kasus yang terjadi di Univesitas Khoirun Ternate, Maluku Utara  pada 2019 lalu yaitu mahasiswa baru disuruh meminum ludah dan berjalan jongkok. Lalu kasus mahasiswa IPDN tewas saat orientasi pada 2013. Kekerasan yang menimpa mahasiswa bernama Jonoly ini berujung pada kematian akibat sering disiksa senior saat masa orientasi. Selanjutnya kasus tewasnya taruna STIP Marunda, Cilincing Jakarta Utara. Dimas Dikita Handoko korban perlakuan kekerasan senior karena dinilai tidak respek terhadap seniornya. Satu lagi dari Unhas mahasiswa tewas setelah mengikuti ospek selama 2 hari yang membuatnya pingsan dan tidak tertolong saat dilarikan ke rumah sakit. Saat diperiksa ternyata banyak luka lebam di sekujur tubuh korban. (https://m.liputan6.com/news/read/4052462/4-kasus-ospek-yang-mencoreng-pendidikan-di-indonesia).  Alih-alih tradisi ini mengklarifikasi bahwa tujuan PKKMB/ OSPEK yang dilakukan selama ini  bukanlah untuk mengenalkan kepada Mahasiswa baru bahwa menjadi mahasiswa memiliki peran besar yaitu sebagai agen perubahan. justru praktiknya, PKKMB hanya dijadikan sebagai ajang balas dendam dengan perpeloncoan. dari sinilah akhirnya hubungan antara  senior dan junior menjadi retak atau tidak solid. 


Kedua, kurang tegasnya sangsi bagi para pelaku kekerasan. Saat terjadi kasus kekerasan di dalam instansi, seringnya kasus tersebut diselesaikan secara internal dengan alasan hal ini merupakan kesalahan dalam koordinasi, kesalahpahaman dan lainnya. Hal ini dilakukan agar nama baik instansi tersebut tidak tercemar di masyarakat. Akan tetapi dampak dari langkah ini adalah tidak adanya efek jera bagi pelaku dan rasa takut bagi yang lainnya. Karena sangsi yang diberikan tidak tegas. Sehingga hal ini berpotensi terulang kembali kasus kekerasan selanjutnya. Jika kekerasan terjadi karena kelalaian kampus (instansi) dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawas dalam pelaksanaan PKKMB, seharusnya negara juga memberikan sangsi yang tegas kepada instansi terkait. Sehingga bagi pihak yang lalai dan juga pelaku kekerasan mendapatkan sangsi tegas sesuai dengan perbuatannya. 


Ketiga, masih adanya praktik perpeloncoan dalam pelaksanaan PKKMB menunjukkan bahwa rendahnya kualitas pendidikan khususnya kampus dalam mendidik karakter mahasiswa baru. Mendidik karakter dengan cara perpeloncoan justru akan mewujudkan karakter yang pendendam, tidak menghargai orang lain, tidak hormat kepada yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, bahkan akan menumpulkan kekritisan mahasiswa karena ia harus tunduk terhadap apapun perintah seniornya walaupun harus melakukan sesuatu yang salah. Inilah produk yang dilahirkan oleh sistem pendidikan saat ini. Sistem pendidikan yang jauh dari karakter Islam. 


Sistem pendidikan Islam sangat menjunjung tinggi silah ukhuwah. Maka tindakan yang memicu pada perpecahan/ keretakan hubungan tidak boleh dilakukan. Islam membolehkan melakukan kekerasan fisik atau lainnya dalam konteks mendidik bukan menganiaya/ peloncoan seperti yang dilakukan saat ini. Allah SWT telah mengharamkan perbuatan menganiaya sebagaimana di dalam QS. Al-A’raf ayat 33 : “Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar (menganiaya)”. 

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم