Oleh : Salma Shakila
Hari ini saya dapat bantuan masker dari pemerintah desa berupa lembaran masker yang tipis. Masker dibagikan untuk seluruh masyarakat tanpa kecuali. Bansos pada banyak warga sudah tak ada lagi. Walau itu hanya 5 kg beras untuk satu bulan. Tanggung jawab pemerintah hanya diwakili oleh lembaran masker yang tipis. Masker yang dibagikan pun jenisnya masker scupa. Masker yang dilarang oleh Departemen Kesehatan karena dianggap tidak aman.
Belakangan ini memang tersebar informasi tentang larangan penggunaan masker scupa dan buff karena dinilai tidak memenuhi standar kesehatan dengan tingkat keefektifan melindungi hanya 0-5%. Per 21 September 2020 PT Kereta Commuter Indonesia melarang masker ini ketika masyarakat mau menggunakan transportasi kereta. Lalu mengapa masker ini yang dibagikan dari pemerintah pada warga? Sepertinya tidak ada sinkronisasi di sini.
Memakai masker adalah cara perlindungan individu terhadap penyebaran Covid-19. Apa gunanya memakai masker jika masker tak efektif melindungi. Masker yang dianggap paling efektif adalah masker bedah atau ada yang menyebutnya masker kesehatan. Tingkat efektivitasnya dalam melindungi bisa sampai 95%. Jika terpaksa memakai masker dari kain, maka penggunaannya harus 2 atau 3 lapis.
Tapi sudah bukan rahasia umum lagi kalau masker kesehatan sangat sulit didapat di pasaran. Kalaupun ada sangat terbatas dan harganya masih mahal padahal masker ini hanya sekali pakai. Tentu banyak masyarakat yang tidak bisa mengaksesnya sekalipun masker ini dikatakan efektif. Lagian saya sebagai warga mengikhlaskan masker bedah atau masker kesehatan biar digunakan oleh tenaga medis yang menjadi garda terdepan dalam memerangi wabah ini. Kemarin-kemarin rumah sakit harus dipusingkan dengan APD yang minim sampai-sampai harus cuci dan pakai lagi. Masa untuk masker standar tadi mereka pun harus berebut stok dengan masyarakat yang notabene dilindungi oleh paramedis ini. Kan aneh?
====
Ah, lagi-lagi hanya soal kecil seperti masker ini saja masyarakat dibuat pusing. Padahal masker hanyalah perlindungan paling tipis dari serangan Virus-19 yang sudah menjadi pandemi. Masalah pandemi Covid-19 bukan hanya soal masker. Tidak sesederha itu.
Benarkah menggunakan masker adalah pertahanan terakhir? Tentunya bukan? Dan pasti bukan? Memang menggunakan masker termasuk Ikhtiar yang paling mudah dilakukan masyarakat untuk menghindar dari penularan Covid-19. Tapi tak lantas, masalah selesai hanya dengan selembar masker atau mungkin tiga lembar masker.
Perlu diketahui jumlah korban kian hari semakin bertambah. Ini pertanda pandemi belum selesai. Total jumlah korban per 21 September 2020 berjumlah 222.000 dengan penambahan 4.176 kasus dalam satu hari , yang sembuh sejumlah 181.000 serta meninggal sejumlah 9.677. Ingat jangan berhitung prosentase. Berhitunglah satu persatu nyawa rakyat Indonesia yang sangat berharga. Sama seperti kita saat kehilangan orang yang kita cintai.
Penambahan kasus sejumlah 50.000 kasus dari 150.000 ke 200.000 kasus hanya butuh waktu 17 hari. Jauh lebih pendek dibanding penambahan kasus dari 2 ke 50.000 kasus sepanjanh 117 hari ketika diberlakukan PSSB di Indonesia. Ini bukti pembatasan efektif mencegah penyebaran virus. Terlebih jika yang diberlakukan adalah karantina wilayah tentu angka kasus positif Covid-19 bisa ditekan secara masif dan banyak warga yang terselamatkan. Selain itu masalah tidak semakin runyam sampai-sampai Indonesia harus dilockdown oleh 59 negara. Bukannya ini begitu menyakitkan. Ya Allah.
Jangan lupa Covid-19 adalah persoalan serius. Jangan pernah meremehkan. Ingat bukan tidak percaya pada kekuasaan Allah. Bukan soal itu. Tapi soal ikhtiar dan juga sudah ada tuntunannya dalam syariat-Nya yaitu lockdown alias karantina. Itu lho karantina secara nasional. Angka penyebaran masih tinggi menjadikan lockdown tetap solusi yang harus ditempuh.
Wallahu 'alam Bis showab.[]