Islam Layakkah Jadi Pesakitan?



Oleh : Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban


Staf Khusus Ketua Dewan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Benny Susetyo menyoroti penyalahgunaan agama sebagai alat kepentingan politik. Menurut Benny, saat ini isu agama menjadi aspirasi untuk merebut kekuasaan dengan cara-cara yang tidak sehat. Sehingga perlu diwaspadai. 


Menurutnya, penggunaan isu agama untuk kepentingan kekuasaan sebetulnya bukan barang baru. Menurut dia, sejak berabad-abad lalu, isu agama memang kerap menjadi alat politik semata untuk merebut kekuasaan. Di zaman modern ini, beberapa pihak tidak memahami agama secara kritis dan penafsirannya tidak menyeluruh secara kontekstual. Hal ini lah yang membuat agama mudah digunakan untuk kepentingan politik kekuasaan.


Bambang Jonan dari Gereja Bethel Indonesia dalam diskusi yang sama mengatakan, saat ini yang menjadi permasalahan di Indonesia adalah menyandingkan agama dengan ideologi Pancasila sebagai dasar negara. "Untuk Pancasila sebagai ideologi bangsa, dengan kemudian agama yang memiliki pelayanan misi, ini agak sulit untuk bisa kemudian duduk bersama-sama, sehingga yang seharusnya dipikirkan adalah bagaimana memisahkan state dan religion, kata Bambang (CNN Indonesia, 10/9/2020).


Sudah bukan rahasia lagi, agama yang dimaksud disini adalah Islam. Serangan demi serangan dilancarkan oleh para penjaga Pancasila. Mengapa harus Islam? Padahal jika melihat pada sejarah, justru yang real menggunakan agama sebagai senjata menjajah dan mempolitisasi sebuah bangsa dan negara adalah non Islam.


Bagaimana Gradana, Spanyol pada tahun 1492 M bertekuk lutut dan rakyatnya terusir  oleh kerajaan Castila serta Aragon bersatu di bawah kendali Isabel dan Ferdinand. Namun sebelum peradaban Islam di Eropa benar-benar padam, umat Islam terlebih dulu mengalami pembantain secara keji oleh tentara-tentara Kristen saat itu.


Penaklukan Granada oleh Castilla sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke-13, dilatarbelakangi oleh kepentingan politik dan agama serta kebencian terhadap Umat Islam. Ambisi merebut Granada dari Umat Islam dikenal dengan semangat reconquista atau penaklukkan ulang.


Berakhirnya kekuasaan Islam di Eropa, menjadi awal kisah kelam Umat Islam di sana. Awalnya, Raja Ferdinand menjanjikan kebebasan beragama, kaum Muslim dipersilakan mempertahankan agamanya. Sayangnya, janji tersebut hanya tipu muslihat agar Granada bisa jatuh dengan mudah ke tangan mereka.


Justru di tahun yang sama Ferdinand dan Isabella mengeluarkan Dekret Alhambra yang memerintahkan seluruh Yahudi untuk meninggalkan Spanyol. Kemudian, pasukan Kristen memasuki istana Alhambra, dan memasang bendera dan simbol kerajaan Kristen Eropa di dinding istana serta mengibarkan bendera salib (republika.co.id, 11/03/2020).


Sedangkan jika kita berbicara bagaimana sejarah sebelum Castilla memporak-porandakan Granada adalah saat Islam masuk ke Eropa pada tahun pada tahun 93 hijriah/711 masehi melalui jalur Afrika Utara di bawah pimpinan Tariq bin Ziyad yang memimpin angkatan perang Islam untuk membuka Andalusia, Spanyol saat ini. 


 Puncaknya, pada masa pemerintahan Abd al Rahman III (912-961 M), namun tak ada tertulis dalam sejarah bahwa kedatangan kaum Muslimin  tersebut adalah untuk menghilangkan kaum beragam lain, umat Islam justru  berhasil menjadikan kota Cordova sebagai pusat peradaban Islam di dunia.


Hal ini bisa dipahami, sebab ketika Islam berbicara politik, maka itu yang dimaksud adalah pengurusan urusan umat agar tercipta kesejahteraan lahir dan batin. Sedangkan agama selain Islam murni bagian dari metode mereka menjajah dan mengekploitasi negara jajahannya. Sebagaimana semboyan mereka Gold Glory Gospel yang mendasari aktivitas eksplorasi, eksploitasi dan pada akhirnya kolonialisme serta imperialisme yang dilakukan bangsa Eropa pada tahun 1400 hingga 1750an. 


Hingga kemudian pada masa modern ini, bangsa barat berhasil menegakkan sistem kapitalisme di negeri-negeri Muslim. Menyebabkan bermunculan berbagai problem utama seperti kapitalisme liberal yang sekuler, memisahkan agama dari kehidupan termasuk politik. Kesengsaraan umat manusia makin bertambah, pelecehan, kemiskinan kebodohan snan


Parahnya, serangan  musuh Islam ini dengan  menggunakan Pancasila sebagai alat politik untuk pukul lawan politik dan bungkam aspirasi umat Islam, padahal kita tahu secara akar, Islam tak bisa disamakan dengan Pancasila, sebab Islam berasal dari Wahyu Allah SWT, zat yang menciptakan alam semesta, manusia dunia dan seisinya. Sedang Pancasila adalag buatan manusia.  


Mereka hanya berusaha menutupi kegagalan sistem yang mereka puja dan junjung, yaitu Kapitalisme Demokrasi.  Pancasilapun juga tak bisa dibuktikan mampu menyelesaikan persoalan. Berapa banyak pihak yang berkoar paling Pancasilais akhirnya masuk bui sebagai pesakitan? Dimana Pancasila saat rakyat Timor-Timor meminta tetap menjadi bagian Indonesia? Atau apa kabar OPM di Papua? Makin mengganas dan kita masih meributkan Pancasila sebagai ideologi. 


Para penjaga Pancasila ini sejatinya sedang meludahi matahari, menentang sesuatu yang tak mungkin ditentang. Lantas layakkah Islam dijadikan sebagai pesakitan? Logika ngawur ini tumbuh sebagai akibat dari lemahnya Islam yang dipegang oleh pemeluknya. Politik Devide at Impera barat makin memperparah keadaan dengan melemahkan ukhuwah Islamiyyah, sehingga meskipun sesama Muslim, seakidah namun tak merasa sesaudara. 


Inilah pula politik yang digunakan oleh para penjajah negeri-negeri kaum Muslim khususnya Indonesia,   Diikuti oleh AS. Islam dan umatnya terus dilemahkan. Islam digambarkan buruk, baik pengikutnya, ajaran maupun simbol-simbolnya. Akankah kita mengikuti pemahaman sesat ini dan bukannya malah mengambil kemuliaan bersama para pejuang Muslim yang menghendaki perubahan? Wallahu a' lam bish showab.[]


*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم