Hafidz nan Good Looking Agen Radikalisme?

 



Oleh : Siti Nur Rahma

( Aktifis Muslimah Peduli Generasi )


Seorang yang berakhlak mulia nan rupawan adalah penyejuk mata setiap yang memandang. Bersandang rapi, wajah berseri dan lisan penuh dzikir ilaihi, sungguh idaman bagi setiap orang tua muslim kala mendidik anaknya untuk masa depan yang gemilang.


Imam At Tirmidzi meriwayatkan hadist dari Abdullah bin Mas’ud radiallahu ‘anhu bahwa beliau mendengar Rosulullah Shollohu ‘Alaihi Wassallan bersabda, “Semoga Allah memberikan nudroh (cahaya di wajah) bagi orang yang mendengarkan sabdaku, lalu ia memahaminya, menghafalnya, dan menyampaikannya...”


Sungguh mulia seorang hafiz dalam pandangan Islam. Namun sayang, justru pemojokan dilakukan oleh seorang menteri agama kepada muslim yang taat syariat. Yang semestinya mendukung rakyatnya menjadi seorang yang baik dan mulia. Miris!


"Cara masuk mereka gampang, pertama dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan bahasa Arab bagus, hafiz, mulai masuk, ikut-ikut jadi imam, lama-orang orang situ bersimpati, diangkat jadi pengurus masjid. Kemudian mulai masuk temannya dan lain sebagainya, mulai masuk ide-ide yang tadi kita takutkan," ungkap Fachrul di acara webinar bertajuk 'Strategi Menangkal Radikalisme Pada Aparatur Sipil Negara', yang disiarkan di YouTube KemenPAN-RB, Rabu (2/9).


Siapakah hafiz yang good looking itu?


Tentu, bagi seorang muslim sejati, menjadi seorang hafiz adalah cita-cita mulia dalam qolbu dan pikirannya. Menjalar keseluruh darah dan jiwanya untuk menjaga kemurnian Quran dan hadist rosul. Berganti siang dan malam berharap menambah hafalan dan terus menjalin hafalan baru hingga khatam. Hari demi hari, tak lupa untuk membasahi lisan dengan murojaah. Ketawadukan perilaku adalah cerminan seorang hafiz yang hakiki. Mengamalkan setiap yang dihafal, bukti cinta kepada Allah dan rosulNya.


Menghindari sifat munafik, menjaga diri dari sikap tercela, dan beramar ma’ruf nahi munkar adalah perilaku seorang hafidz. Sangat jauh dari sifat prasangka buruk dengan sesama muslim.


Sungguh penampilan rupawan adalah aplikasi dari apa yang seorang hafidz hafalkan. Keimanan terhadap kitabullah, menjadi konsekuensi amal seseorang yang paham tentang akhlak karimah. Bukan semata menarik simpati manusia, melainkan Islam memang mengajarkan keindahan.


“Perumpamaan orang mukmin yang membaca al Qur’an adalah seperti buah Utruja, rasanya enak baunya harum. Perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca al- Qur’an adalah seperti buah Tamrah (kurma), rasanya enak tapi tidak wangi. Sedangkan perumpamaan orang munafik yang membaca al- Qur’an adalah seperti buah Raihanah, baunya harum tapi rasanya pahit. Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al- Qur’an adalah seperti buah Handzalah, baunya tidak harum dan rasanya pun pahit.” ( HR. Al Bukhori dan Muslim dari Abu Musa al- Asy’ari ra)


Akan menjadi sebaik-baik generasi khalaf, mewarisi generasi salaf yang terbaik, dialah hafidz yang good looking di seluruh penjuru dunia.


Nah apakah radikalisme itu?


Radikalisme itu sendiri tidak memiliki Devinisi baku, di dalam UU No. 5 tahun 2018 tentang perubahan UU terorisme, hanya mengatur tentang tindakan pencegahan terorisme dengan dua pendekatan : deradikalisasi dan kontra Radikalisasi. (Pasal 43A ayat 3). Artinya, secara hukum istilah radikalisme itu sendiri belum terdefinisikan secara jelas dan lengkap.


Namun radikalisme senantiasa digoreng untuk menjadi santapan hangat publik. Bahwasanya Islam adalah sasaran opini radikalisme yang membahayakan keutuhan negara. Maka wajar good looking yang hafidz disematkan narasi radikalisme di dalamnya.


Hal ini tak luput hanya untuk menutupi lemahnya ekonomi kapitalis di negeri yang melimpah ruah kekayaan alamnya. Menutupi bobroknya moral pendidikan. Hancurnya hukum peradilan di tengah masyarakat, tajam ke bawah tumpul ke atas. Dan hinanya hubungan LGBT yang semakin marak wujud pengaturan liberalis antara interaksi laki-laki dan perempuan yang menjunjung tinggi kebebasan.


Isu radikalisme, pesanan neoliberal yang dilemparkan ke tengah umat agar lupa akan kegagalan-kegagalan pengaturan yang terjadi. Semakin memojokkan para muslim yang taat syariat. Dan semua ini dampak dari penerapan aturan hasil akal manusia yang terbatas dan lemah. Meminggirkan aturan dari Al Mudabbir, Maha Pengatur. Jelas kerusakan terjadi dimana-mana. Namun radikalisme senantiasa dielu-elukan sebagai penyebab segalanya. Dan sasarannya adalah Islam dan pemeluknya sebagai aktor radikalis.


Radikalisme yang diidentikkan sebagai paham berbahaya bagi keutuhan dan persatuan bangsa, dicurigai ada pada diri hafidz nan good looking. Sungguh aneh tapi nyata. Hal yang tak ada relasinya namun dipaksakan untuk diterima sebagai labelnya. Semakin aneh.


Seperti halnya seorang salesman yang hendak menjual produk dagangannya, maka wajib baginya peraturan dari perusahaan untuk berpenampilan good looking. Karena memang good looking adalah fitrah manusia untuk menjadi manusia mulia. Dan Islam sejak pendidikan dini menanamkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-harinya. Bukan dilandaskan kapitalistik, namun dari kesadaran diri sebagai hamba Sang Maha Indah yang mencintai keindahan.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم