Ajeng Najwa, S.IP
Pengusaha dan Pemerhati Sosial Politik
Beberapa hari yang lalu, telah viral di jagad media mengenai statement Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto menyoal kasus persebaran Corona virus Disease 2019(covid-19) di Indonesia yang tak kunjung pulih. Menkes menyatakan "Masih ada 3.500 dokter internship, masih ada 800 tenaga nusantara sehat dan di samping itu ada tenaga relawan 685," ucap Terawan dalam Konferensi Pers melalui Youtube Sekretariat Presiden, Senin (cnnindonesia 15/09)
Pernyataan Menkes dinilai kontroversial, sebab Menkes seolah tak berempati dengan kondisi wabah yang tak kunjung berakhir di Indonesia.
Salah satu kekecewaan atas pernyataan Menkes terungkap dari Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Adib Khumaidi Indonesia, "Kematian dokter sebanyak 115 dokter dengan asumsi 1 dokter melayani 2500 maka menggambarkan rakyat Indonesia hampir 300 ribu akan kehilangan pelayanan dari dokter, begitu juga dengan meninggalnya dokter gigi dan perawat. Apalagi dengan meninggalnya dokter spesialis yang saat ini masih dirasakan kurang di Indonesia," (cnnindonesia (15/09).
Dr. Adib melanjutkan, bahwa jumlah tersebut merupakan yang terendah kedua di Asia Tenggara. Rasio dokter spesialis di Indonesia juga rendah, hanya 0,13 persen per 1.000 penduduk. Ungkapan kekecewaan juga muncul melalui pernyataan anggota DPD, dr. Jihan Nurlela dalam siaran persnya "Alih-alih berempati atas gugurnya ratusan sejawatnya karena Covid-19, Pak Menteri Terawan malah mengeluarkan pernyataan yang lagi-lagi membuat tidak nyaman para sejawatnya (dokter),” (jambiekspressonline 18/09). dr.Jihan melanjutkan, Menkes seolah menyebut para dokter hanya sebagai stok gudang.
Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi juga lagi lagi menyatakan kalimat kontroversial menyoal deradikalisasi di Indonesia. Ia menuding paham radikal masuk ke masjid-masjid melalui anak-anak goodlooking. "Caranya masuk mereka gampang; pertama dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan Bahasa Arabnya bagus, hafiz (hafal Alquran), mereka mulai masuk," kata Fachrul dalam webinar bertajuk 'Strategi Menangkal Radikalisme Pada Aparatur Sipil Negara', di kanal Youtube Kemenpan RB, Rabu (2/9).
Tersebab pernyataannya itu, Menag panen kritik dari para legislator dalam rapat kerja dengan Menteri Agama di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (8/9), yang berlangsung sekitar tiga jam lebih (cnnindonesia 9/9). Ketua Komisi VIII Yandri Susanto mengawali kritik dengan laporan sejumlah pihak yang tersinggung atas pernyataan Fachrul karena dianggap tak pantas diucapkan oleh seorang menteri agama. Bahkan, kritikan itu semakin pedas saat ditambahkan oleh Ali Taher sebagai anggota komisi VIII DPR RI. Ali menambahkan "Sampai saya bertanya, Pak Menteri Agama Islam atau bukan? Saya mohon maaf perasaan suuzan terhadap seseorang tidak boleh sebenarnya, tapi perasaan tak enak," ia melanjutkan "Soal radikalisme Pak Menag gagal paham mengenai fungsi-fungsi agama dan fungsi pendidikan. Tanpa ingin mengecilkan Pak Menag, Bapak ini cocoknya jadi Menteri Pertahanan Keamanan atau jadi Menko Polhukam ketimbang Menag," kata Ali.
Pernyataan yg dilontarkan Menag dinilai menyinggung banyak ulama termasuk yg mendirikan pondok pesantren yang khusus mencetak anak menjadi hafiz Qur'an, dan bahasa arab yang baik. Menag cenderung terlihat panik dalam mengatasi radikalisme. Tak punya senjata lain, akhirnya menodong penampilang dan tsaqofah yang luas yang dimiliki seseorang sbg indikator pembawa paham radikal. Padahal dalam islam sangat diajarkan berpenampilan baik, rapi dan bersih.
Dua model komunikasi dari dua menteri kabinet Jokowi ini menunjukkan kepanikan dalam mengatasi masalah yang dikemas seolah-olah tenang. Padahal banyak mengandung kekeliruan yang justru akan menyadarkan masyarakat bahwa rezim saat ini semakin tak mampu meyelesaikan berbagai persoalan di negara ini. Mulai masalah gagal paham kebijakan deradikalisasi hingga pemberantasan virus corona tak mampu diatasi. Bahkan menimbulkan keresahan dan kegelisahan pada masyarakat.
Kesalahan cara berkomunikasi merupakan hasil dari fatalnya kesalahan pola pikir. Terlebih dalam mengatur sistem kehidupan dan bernegara. Jila pola pikir akan kehidupan ini diterapkan dengan benar, tak akan ada model pernyataan yang justru blunder bagi mereka sendiri. Kesalahan pola pikir dalam mengatur kehidupan bernegara ini akibat dari tumbuh suburnya paham liberalisme yang dirawat dengan sehat oleh rezim. Mengizinkan diri diatur oleh sumber hukum yang nyata bathil buatan manusia, dan melalaikan hukum paripurna yang telah dibuat oleh Allah yanh Maha Sempurna merupakan pangkal adanya kehancuran sistemik yanh disebabkan oleh tangan manusia itu sendiri.
Maka, solusi yang paling cerdas adalah bertaubat dan kembalikan pada sistem yang diridhoi oleh Allah. Sistem yang terbukti mampu menuntaskan ummat dari berbagai macam masalah dan hidup sejahtera selama 1400 tahun lamanya. Waktu yang belum pernah dimiliki oleh ideologi selain islam manapun dalam menguasai dunia. Solusi itu hanya ada pada diterapkan lagi hukum-hukum Allah melalui Khilafah 'ala minhajjinnubuwwah.
Wallahua'lam.[]