Oleh: Puji Ariyanti
(Pegiat literasi dalam Membangun Peradaban)
Dilansir merdeka.com Hujan lebat kembali melanda Bogor, menyebabkan Tinggi Muka Air (TMA) Sungai Ciliwung di Bendung Katulampa menyentuh 250 sentimeter. Bendung Katulampa berstatus siaga satu pada pukul 18.20 WIB, Senin (21/9/2020)
Naiknya Tinggi Muka Air (TMA) di Bendung Katulampa, akibat hujan lebat mengguyur kawasan Puncak, Kabupaten Bogor. Pada pukul 17.00 WIB,Tinggi Muka Air di Bendung Katulampa terpantau hanya 40 sentimeter.
Menurut Kepala Petugas Jaga Bendung Katulampa, Andi Sudirman. Saat hujan deras di Puncak jam 17.00 masih 40 centimeter di bawah normal. Sekarang sudah siaga satu 240 sentimeter
Peningkatan Tinggi Muka Air (TMA) di Bendung Katulampa, terjadi cukup cepat. Pasalnya pada pukul 18.00 WIB,Tinggi Muka Air ( TMA) masih berada pada ketinggian 200 sentimeter atau siaga dua dengan debit air di atas 340.000 meter kubik.
Andi Sudirman juga mengimbau warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung agar waspada. Terutama di kawasan hilir. Seperti Depok hingga Jakarta dikhawatirkan terjadi banjir. Informasi yang dihimpun, air luapan Sungai Ciliwung sudah memasuki beberapa perkampungan di Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, dengan arus sungai cukup deras.
Banjir adalah luapan air dalam jumlah besar ke daratan yang sebelumnya kering. Penyebab banjir antara lain: hujan yang berlebihan, meluapnya aliran sungai, danau atau lautan.
Banjir berpotensi menyapu bersih seluruh kota, garis pantai atau daerah dan menyebabkan kerusakan pada sawah, ladang ataupun rumah-rumah, hal ini sangat berbahaya, karena memiliki kekuatan erosif yang besar dan bisa sangat merusak.
Faktanya hingga hari ini negara belum mampu mengatasi banjir khususnya di daerah yang sering terkena banjir. Sehingga ketika terjadi hujan besar dan terjadi banjir rakyat selalu menderita. Menderita kerugian harta bahkan nyawa. Banjir terjadi akibat ulah manusia yang tidak mampu menjaga ekosistem. Penebangan hutan, buang sampah di sungai dan sebagainya.
Dalam Islam Kebijakan khilafah dalam mengatasi banjir yaitu membangun bendungan-bendungan untuk menampung curahan air sungai dan sebagainya. Sebagai contoh di masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi.
Di Provinsi Khuzestan, daerah Iran selatan misalnya, masih berdiri dengan kukuh bendungan-bendungan yang dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir. Bendungan-bendungan tersebut di antaranya adalah bendungan Shadravan, Kanal Darian, Bendungan Jareh, Kanal Gargar, dan Bendungan Mizan.
Pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletser, rob, dan lain sebagainya, maka Khilafah akan menempuh upaya-upaya sebagai berikut:
Memetakan daerah rawan banjir dan melarang penduduk membangun pemukiman di dekat daerah tersebut. Namun begitu Khilafah tidak menyulitkan rakyat yang hendak mendirikan sebuah bangunan. Bahkan Khilafah akan menyederhanakan birokrasi dan menggratiskan surat izin pendirian bangunan bagi siapa saja yang hendak mendirikan bangunan.
Pembangunan sungai buatan, kanal, saluran drainase yaitu untuk mengurangi melubernya volume air dan mengalihkan aliran air, membangun sumur-sumur resapan di daerah tertentu. Khilafah akan membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana.
Selain dilengkapi dengan peralatan canggih, petugas-petugas lapangan juga dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup tentang SAR (Search And R escue), serta keterampilan yang dibutuhkan untuk penanganan korban bencana alam. Mereka diharuskan siap sedia setiap saat dan dibiasakan untuk bergerak cepat ketika ada bencana atau musibah.
Peran alim ulama sangat dibutuhkan perannya dalam memberikan tausiah-tausiah mengarahkan arti pentingnya mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal kepada Allah SWT.
Demikianlah kebijakan Khilafah Islamiyah dalam mengatasi banjir. Kebijakan tersebut tidak saja didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional, tetapi juga terdapat nas-nas syariat. Dengan kebijakan ini, insya Allah, masalah banjir bisa ditangani dengan tuntas. Wallahu A’lam bish shawab[]