Mamay Maslahat, S.Si., M.Si.
Dosen
Bukankah memiliki putra dan putri yang rupawan (good looking) dan sholeh merupakan dambaan seluruh orang tua di muka bumi ini. Bukankah seharusnya kita bersyukur jika memiliki generasi muda yang tidak hanya baik secara fisik juga baik akhlak perangainya dan taat dalam menjalankan syariat agama. Tapi sangat disayangkan, anak-anak muda yang good looking, pandai membaca alquran bahkan penghafal alquran saat ini dicurigai sebagai agen-agen radikal yang akan memecah belah umat. Sebagaimana yang telah dilontarkan oleh Menteri Agama Fachrul Razi, “Radikalisme telah menyusupi instansi pemerintah lewat orang berwajah rupawan alias good looking, pandai bahasa Arab, dan hafal Al Quran”. Atas pernyataannya yang kontroversial ini, Sang menteri telah diminta klarifikasi oleh Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (TEMPO.CO)
Tidak cukup dengan pernyataan itu saja, kembali Sang Menteri mengeluarkan Pernyataan dan rencana kebijakannya yang sangat menyakiti dan menyebabkan kegelisahan bagi umat Islam. Yaitu tentang rencana sertifikasi penceramah/dai, padahal rencana tersebut belum disepakati bersama DPR. Menurut Yandri, anggota DPR dari partai Amanat Nasional, gelar dai diberikan oleh masyarakat. Ia menganggap pemerintah tidak berhak memberikan sertifikat kepada para penceramah. Bahkan beliau menyatakan bahwa "Jangan sampai justru Menag yang katanya beragama Islam, sepertinya benci dengan Islam".
Hal ini senada dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menolak tegas rencana Kemenag tentang sertifikasi para dai/penceramah guna menghindari paham radikal (Republika, 7/9/2020). Wakil Ketua MUI Muhyiddin Junaidi yang tertuang dalam Pernyataan Sikap MUI Nomor Kep-1626/DP MUI/IX/2020, menyatakan “MUI menolak program sertifikasi penceramah lantaran usulan itu telah menimbulkan kegaduhan, kesalahpahaman, dan kekhawatiran intervensi dari pemerintah pada aspek keagamaan di Indonesia. Potensi intervensi itu dalam pelaksanaannya dapat menyulitkan umat Islam (CNN Indonesia.com).
Ada atau tidak adanya sertifikasi dai, kaum muslimin telah menyadari bahwa aktivitas dakwah merupakan kewajiban dan urat nadi kehidupan kaum muslimin. Perintah dakwah ini langsung Allah turunkan dalam kitab-Nya yang mulia Al-Quranul Karim dan tuntunan Rasulullah SAW. “Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung “ (QS. Al-Imran, 104).
Melihat fenomena seperti ini, maka tidaklah berlebihan jika kita menyatakan bahwa terdapat “Islam Pobia” dengan arus yang cukup deras di negeri ini. Fobia-Islam atau lebih populer ditulis sebagai 'Islamo-Phobia', sekarang terjadi tidak hanya di dunia Barat tapi di negeri yang mayoritas penduduknya muslim salahsatunya adalah negeri kita. Secara bahasa, Islamofobia berasal dari dua kata, yaitu Islam dan fobia (ketakutan yang berlebihan). Jika ditarik maknanya, istilah tersebut didefinisikan sebagai prasangka atau ketakutan yang tidak wajar terhadap Islam dan kaum Muslimin.
Ketakutan terhadap Islam sebetulnya sudah ada sejak zaman dahulu ketika perang Salib meletus. Disusul dengan era penjajahan Barat atas negeri-negeri Muslim, hingga berakhirnya masa ke-Khilafahan Islam yang terakhir di Turki pada tahun 1924 M. Selama rentang waktu tersebut, terbentuk Islam phobia yang sengaja diciptakan Barat untuk mendiskreditkan kaum Muslim, mengisolir mereka, dan membuangnya sebagai sampah peradaban. Jika dahulu kaum Muslim dicap dengan stempel terbelakang, kolot, tidak berpikiran maju/produktif, jorok, maka saat ini kaum Muslim yang berpegang teguh dengan ajaran Islam, dilabeli dengan istilah radikalis.
Kaum Muslimin harus segera menyadari bahwa “Islam Pobia” adalah hasil samping dari benturan peradaban, antara peradaban Islam dan peradaban Barat. Barat menggunakan segala cara untuk memojokkan Islam dan kaum Muslim baik secara langsung ataupun melalui tangan-tangan yang lainnya. Kaum Muslimin harus tetap istiqomah dan teguh dalam melaksanakan seluruh tuntunan syariat agamanya, walaupun diberikan stigma atau label-label apapun yang menyakitkan dan menyudutkannya. Proses penyadaran umat Muslim dengan tsaqofah dan pemikiran-pemikiran Islam yang benar adalah tanggungjawab dan amanah yang mulia yang harus dipikul oleh para ulama dan Dai, melalui aktivitas dakwahnya yang bersandar pada aktivitas dakwah Rasulullah SAW. Wallahu Alam Bi Showab.