Oleh: Rohmi Izzati
Jika kita menelurusi lebih dalam literatur klasik dari sumber-sumber islam, maka jangan kaget bila menemukan banyak sekali kesultanan islam di Nusantara sesungguhnya merupakan bagian dari kekhilafahan islam di bawah Turki Utsmaniyah. Keberhasilan islam melakukan penaklukan (futuhat) terhadap kerajaan Persia sera menduduki sebagian besar wilayah Romawi Timur, seperti Mesir, Syria, dan Palestina di bawah kepemimpinan Umar bin al-Khaththab, telah menempatkan Khilafah Islam sebagai superpower dunia sejak abad ke-7 M.
Tengku Zulkarnain, wakil sekertaris jendral MUI Pusat membeberkan bahwa negeri-negeri Nusantara yang dikuasai 200-an Sultan dari Aceh sampai Raja Ampat, Papua, tidak bisa dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. beliau menegaskan bahwa ada 200-an kesultanan di Nusantara berafiliasi ke Khilafah Utsmani. Bahkan, menurutnya, kesultanan di Nusantara sudah memiliki keterkaitan dengan Khilafah Islam sejak abad pertama Hijriyah atau sekitar 622 Masehi. Ia mengungkapkan, di negeri Barus saja (Tapanuli Tengah, Sumatra Utara), di atas 850 anak tangga di sebuah bukit, ada makam anak sahabat Nabi Muhammad SAW. Namanya adalah Syeikh Mahmud bin Abdullah bin Mas’ud ra. Pada batu nisannya tertulis wafat tahun 44 H. Hal ini menandakan bahwa beliau wafat pada zaman Khalifah Sayidina Muawiyah bin Abu Sofyan ra. Beliau, Tengku Zulkarnain meyakini bahwa Syeikh Mahmud bin Abdullah bin Mas’ud ra. memiliki tujuan mulia yaitu berdakwah ke Nusantara. Banyak makam para ulama yang dikirim oleh para khalifah ke Nusantara. Mereka tidak kembali, tapi menetap dan kemudian wafat.
Ketua Masyarakat Peduli Sejarah (Mapesa) Aceh Mizuar Mahdi Al Asyi mengatatakan, jejak hubungan Aceh Darussalam dengan Kesultanan Turki Utsmani dapat dilihat dari Kompleks Makam Tengku Di Bitay, Desa Bitai, Banda Aceh. Menurunya, nama Tengku di Bitai diambil dari ulama Palestina yang memimpin rombingan Kesultanan Turki Utsmani ke Aceh. Nama asli ulama tersebut adalah Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi. Ia berkontribusi membantu Kesultanan Aceh dalam bidang pengajaran agama Islam di Nusantara.
Seorang Doktor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr Kasori Mujahid juga menjelaskan bahwa ada hubungan antara Khilafah Utsmani dengan Nusantara diantaranya yaitu, surat yang merekam ucapan selamat Pakubuwono X saat Sultan Abdul Hamid II selamat dari upaya pembunuhan dan kudeta. Menurut Kasori, surat tersebut ada pada arsip Turki Utsmani. Isinya menjelaskan ucapan selamat Sultan Surakarta Abdurrachman (gelar PB X). Dia pun menunjukkan isi korespondensi tersebut. Bunyinya:
"Cava Adasindaki Surakarta gehrinin rocasi Abdurrchman'in, Sultan 2. Abdulha mid suikasttan kurtulmasi uzerine Batavya Bo cehbenderligi araciligryla urz ettiyi tebrik yazisinin, sultan'a sunuldugu hakkindadir."
Menurutnya, banyak sumber barat yang mencatat hubungan para ulama Demak dengan negeri-negeri di Timur Tengah dan Turki Utsmani. Diantara sejarawan yang menulis relasi tersebut adalah Tome Pires, Mendez Pinto, dan H.J De Graaf. “Mereka menulis itu dengan alasan yang kuat. Relasi itu ada terlepas apakah cuma inspirasi atau hubungan diplomasi,”ujar dia saat berbincang dengan Republika lewat sambungan telepon, Kamis (20/8) malam.
Kita juga tentu mengingat pengakuan Sri Sultan Hamengkubuwono X tentang hubungan Keraton Yogyakarta dengan Kekhalifahan Utsmani di Turki. Uniknya, kata gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut, Keraton Yogyakarta merupakan perwakilan kekhalifahan Islam di Jawa. Keraton Yogyakarta adalah kelanjutan dari Kesultanan Demak. Berikut pidato lengkap Sri Sultan Hamengkubuwono X pada Pembukaan KUII-VI:
Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan R. Patah (sultan Demak pertama) sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki.
Di tahun 1903, saat diselenggarakan Kongres Khilafah di Jakarta oleh Jamiatul Khair, yang berdiri 1903, Sultan Turki mengirim utusan Muhammad Amin Bey. Kongres menetapkan fatwa, haram hukumnya bagi Muslim tunduk pada penguasa Belanda, dengan merujuk ajaran Islam "Hubbul wathan minal iman" (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Dari kongres inilah benih-benih dan semangat kemerdekaan membara.
Bukti di atas adalah hanya sebagian kecil bukti adanya keterkaitan erat Nusantara dengan Khilafah Islamiyah. Banyak situs sejarah, manuscript di Nusantara dan pendapat para ahli yang semakin membuat kita yakin adanya keterkaitan Nusantara dengan Khilafah Islamiyah. Hal ini membuktikan bahwa keterkaitan itu bukan sekedar cerita tapi fakta.
Tentu kita tahu bahwa Presiden pertama kita, Ir. Soekarno pernah berkata “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri”. Jika dimaknai, kalimat tersebut mengandung arti bahwa sejarah merupakan hal yang sangat penting untuk membangun bangsa yang besar. Sejarah bukanlah benda mati. Ia adalah bangunan “hidup” yang memiliki pesan bijak untuk disampaikan ke banyak orang, terutama kepada generasi muda. Sayangnya saat ini minat generasi muda terhadap sejarah bangsa ini menurun drastis (koranbogor.com 15/12/19).
Generasi muda saat ini banyak yang lebih suka bermain smartphone daripada mempelajari sejarah negaranya. Hal ini menjadikan bangsa ini banyak yang tidak mengetahui bahwa sejarah bangsa ini telah didistorsi. Dimana sejarah menjadi suatu kepentingan politik. Direkayasa sedemikian rupa sehingga hadir jauh dari fakta yang sebenarnya.
Adalah Snouck Hurgronje, seorang orientalis yang sengaja menggunakan berbagai cara licik untuk mendistorsi sejarah bangsa Indonesia. Dalam narasi sejarah Indonesia, ia banyak dikonstruksikan sebagai “aktor jahat” di balik takluknya Aceh oleh pemerintah colonial dalam perang yang berlangsung dari 1878 hingga 1908. Ia juga dianggap sebagai pembelah sekaligus pelemah islam di Indonesia. Ia juga membuat teori Gujarat yang menceritakan Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 M dari pedagang India Muslim.
Padahal, jika kita menggali kembali kebenarannya, kita akan menemukan bahwa mustahil islam mulai masuk ke Nusantara pada abad ke-13 M. Karena pada abad ke-13 di Nusantara sudah berdiri suatu kekuatan politik islam, salah satunya adalah Samudra Pasai pada tahun 1275. Tentu islam datang jauh sebelumnya. Fakta ini menunjukkan kepada kita urgensitas menggali kembali kebenaran sejarah.
Inilah yang membuat sejarawan muda, Nicko Pandawa merilis film Jejak Khilafah di Nusantara yang tayang Kamis, 20/08/20 pukul 09.00 WIB lalu. Film ini juga mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan. Dilihat terkini.id hingga jumat 21 Agustus 2020, terlihat film ini sudah dilihat hingga 278.327 kali. Hal ini menunjukkan antusiasme masyarakat terhadap opini Khilafah dan perjuangan penegakkannya. Wallahualam bisowwab.[]