Politisasi Bansos di Tengah Pandemi, Tak Punya Hati Nurani



Penulis : Sri Indrianti 

(Pemerhati Sosial dan Generasi)


Bantuan Sosial yang diberikan pada masa pandemi ini senantiasa lekat dengan polemik.   Mulai dari data penerima yang tidak akurat sehingga salah sasaran sampai adanya politisasi bansos. 


Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan adanya politisasi bantuan sosial penanganan Covid-19 oleh kepala daerah calon petahana di 23 kabupaten/kota. Jumlah itu tersebar di 11 provinsi yang bakal menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020. (kompas.com, 13/5/2020)


Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Mochammad Afifuddin mengungkap beberapa bentuk politisasi bantuan sosial (bansos) di masa pandemi Covid-19. Diantaranya berupa bantuan yang diberi label foto kepala daerah, bansos diberi label bantuan partai politik tertentu, bansos yang bersumber dari APBD tetapi diberikan atas nama kepala daerah atau partai politik, dan  penyalahgunaan anggaran untuk penanganan Covid-19. (kompas.com, 20/7/2020)


Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyebut, petahana pada Pilkada 2020  berpotensi diuntungkan dengan adanya pandemi Covid 19. Lantaran petahana punya kesempatan mempolitisasi bantuan sosial (bansos) penanganan pandemi untuk kepentingan dukungan Pilkada. (kompas.com, 10/8/2020)


Politisasi Bansos saat pandemi sungguh tak punya hati nurani. Bahkan menunjukkan kualitas rendah seorang pemimpin. Saat masyarakat dalam kesulitan ekonomi dan sangat membutuhkan bantuan, malah dipakai ajang untuk meraih dukungan dalam Pilkada 2020. 


Padahal bantuan sosial itu merupakan hak masyarakat dan sudah ada dalam anggaran penanggulangan wabah. Bantuan sosial yang dibeli label foto kepala daerah atau partai politik bisa dianggap bahwa bantuan  itu berasal dari kepala daerah atau partai politik. Tindakan seperti ini sungguh keterlaluan dan harus ditindak tegas. 


Bukan rahasia lagi untuk menjadi penguasa di negara demokrasi membutuhkan modal yang tidak sedikit. Pasalnya, ditempuhlah segala cara demi menduduki kursi kekuasaan. Tak peduli jegal sana jegal sini yang penting bisa meraup suara. 


Tingginya modal demokrasi membuat petahana ingin mempertahankan kekuasaan. Politisasi bantuan sosial pun dilakukan untuk mendulang dukungan masyarakat. Tentu saja dengan cara ini modal yang dikeluarkan pun lebih sedikit karena bersembunyi di balik bantuan sosial. 


Seorang pemimpin yang semestinya melayani masyarakat dan memenuhi kebutuhannya, malah berbalik memanfaatkan penderitaan masyarakat untuk meraih dukungan politik. Demokrasi telah menghasilkan para pemimpin yang hanya memprioritaskan kepentingan pribadi dan kelompok politiknya. Sedangkan pelayanan terhadap rakyat hanya menempati nomor kesekian. 


Penguasa semestinya merupakan pelayan rakyat. Kepentingan rakyatlah yang diutamakan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab pada saat  mengalami paceklik panjang.


Setiap harinya, pemerintah menyembelih 120 binatang untuk menjamin kebutuhan pangan masyarakat. Pernah pada suatu malam, jamuan makan malam dihadiri 7.000 orang.


Khalifah Umar pun ikut serta dalam mempersiapkan jamuan tersebut. Beliau turut mengangkat bahan makanan untuk kaum wanita dan anak-anak yang tidak hadir dalam jamuan makan itu. Mereka dikirimi gandum, kurma, dan lauk-pauk. Semua makanan tersebut sampai ke tangan mereka di mana pun berada.


Dari sini jelaslah perbedaan antara khalifah dengan penguasa dalam negara demokrasi bagaikan bumi dengan langit. Sehingga berharap ketulusan penguasa dalam negara demokrasi merupakan suatu kesia-siaan.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم