Pahami Amanah Agar Tak Jatuh Pada Pengkhianatan


Oleh: Dina Wachid

Khianat seolah menjadi perilaku yang kian biasa di tengah masyarakat masa sekarang. Mengkhianati teman, mengkhianati perjanjian, mengkhianati pasangan, mengkhianati amanah sebagai pemimpin adalah hal yang biasa kita temui saat ini. Manusia seperti hilang rasa malunya hingga dengan mudah melakukan pengkhianatan, mulai dari level paling rendah sampai yang tertinggi.

Agar tak terjatuh pada lembah pengkhianatan, pahami dulu apa itu khianat.dan amanah. Kata khianat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan tipu daya, perbuatan yang bertentangan dengan janji, atau perbuatan tidak setia.  Sedang amanah adalah sesuatu yang dipercayakan (dititipkan) kepada orang lain; keamanan; ketenteraman; dapat dipercaya (boleh dipercaya); setia.
Menurut Al-Munawi, khianat adalah menyia-nyiakan amanah. Sedangkan menurut Al-Qurthubi, khianat adalah curang dan menyembunyikan sesuatu. Al-Jâhizh menyatakan khianat sebagai melanggar sesuatu yang diamanahkan orang kepadanya; berupa harta, kehormatan, kemuliaan, dan mengambil milik orang yang dititipkan dan mengingkari orang yang menitipkan. Raghib al-Isfahani menyebut khianat kurang lebih sama artinya dengan nifak (orangnya disebut munafik).

Rasulullah pernah menyatakan bahwa khianat adalah salah satu sifat dari orang munafik. “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; apabila berbicara berbohong, dan apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya ia berkhianat.” (HR. Muslim)

Dari sini bisa dipahami bahwa khianat adalah lawan dari menyelisihi amanah.  Secara bahasa, amanah berasal dari kata amina yang bermakna tidak meniru, terpercaya, jujur, atau titipan. Dalam Islam, amanah adalah segala sesuatu yang wajib dipelihara dan ditunaikan kepada orang yang berhak menerimanya. Setiap yang dibebankan kepada manusia dari Allah Ta’ala seperti kewajiban-kewajiban agama, atau dari manusia, seperti titipan harta juga termasuk amanah. Amanah bisa berupa benda, pekerjaan, perkataan, ataupun kepercayaan, yang nantinya akan dimintai pertanggungjawabannya.
Ibnu Katsir  berkata,“Menunaikan amanat yang dimaksudkan adalah umum mencakup segala yang diwajibkan pada seorang hamba, baik hak Allah atau hak sesama manusia” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 124).

Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa amanah adalah segala sesuatu yang diemban oleh seseorang yang diperintahkan untuk ditunaikan.

Menunaikan amanah adalah kewajiban. Wajib untuk ditunaikan. Amanah ini banyak macamnya: amanah sebagai orang tua, anak, murid, guru, karyawan, pemimpin perusahaan, sampai pada pemimpin rakyat (penguasa). Namun, apapun jabatan, kedudukan dan profesinya, ada satu benang merah yang menjadi inti dari semuanya itu. Yakni, amanah sebagai seorang muslim, sebagai hamba Allah SWT.

Kalau amanah berarti melaksanakan kewajiban yang sudah disanggupi, maka khianat adalah kebalikannya. Khianat kepada amanah di sini yaitu melakukan perbuatan yang bertentangan dengan janji, dengan melakukan berbagai macam tipu daya agar janjinya tidak direalisasikan. Khianat juga bisa diartikan sebagai suatu perbuatan yang tidak melaksanakan atau menjaga apa yang diamanahkan dan menjadi kewajibannya kepada Allah dan RasulNya.

Perilaku khianat adalah tercela dan itu dilarang oleh Allah dan rasulNya. Allah jelas sekali melarang manusia untuk berbuat khianat. Sebagaimana firman Allah SWT berikut:

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”  (QS. Al-Anfal:27)

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (QS. Al-Anfâl : 58)

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (QS. Al-Hajj : 38)
Sesuatu yang dilarang Allah, sudah pasti tidak diridhoi, tidak berkah dan membawa dosa. Khianat akan mendatangkan bencana dan menciptakan kerusakan di tengah manusia.

Salah satu akibat mengkhianati amanah dalam Islam adalah kehilangan iman. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada iman bagi orang yang tidak Amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memegang janji.” (HR. Ahmad).

Begitu besarnya perkara tentang melaksanakan amanah dan meninggalkan khianat. Konsekuensinya bukan hanya di dunia saja, tetapi juga di akhirat kelak. Karena itulah, bagi setiap muslim wajib untuk menjalankan amanah yang sudah diberikan dengan sungguh-sungguh. Menjauhkan diri dari perbuatan khianat sebagaimana tuntunan syariah.

Terlebih bagi mereka yang mendapat amanah kekuasaan, sudah pasti tanggung jawabnya lebih besar lagi. Pada hakikatnya, amanah kekuasan adalah untuk memastikan agar hukum-hukum Allah bisa terterapkan. Artinya dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin ia harus mengikuti aturanNya. Seluruh perkara pengaturan kehidupan rakyatnya harus dijalankan menurut syariah Islam. Tidak boleh melenceng sedikitpun darinya.
Jika pemimpin tak mampu menjalankan amanah kekuasaan dan justru melakukan pengkhianatan atasnya, maka hancurlah kehidupan manusia. Karena pemimpin adalah yang mengurusi keperluan rakyat, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat berada di tangannya. Sekali ia tak amanah menjalankan tugasnya, maka seluruh rakyat merasakan dampaknya.

Setiap pengkhianatan yang dilakukan pemimpin akan membawa manusia pada jurang kehancuran. Coba saja lihat, bagaimana SDA yang melimpah justru dinikmati asing, sedangkan rakyat di dalam negeri kelaparan. Bagaimana para koruptor bisa melenggang bebas padahal sudah merampok uang rakyat dalam jumlah yang melampaui akal sehat. Betapa susahnya rakyat, ketika sedang prihatin karena pandemi, iuran BPJS dan tarif listrik justru dinaikkan. Pemerintah juga dengan leluasa membuka pintu untuk TKA, sementara rakyatnya sendiri banyak yang masih menganggur.

Ketika penguasa menyerahkan harta milik rakyat kepada para kapitalis apalagi asing, juga menghalangi rakyat dari apa yang menjadi hak mereka, maka saat itu dia mengkhianati rakyat. Ketika penguasa mengangkat seseorang menjadi pejabat atau petugas yang mengurusi rakyat, sementara ada orang lain yang lebih layak, lebih punya kapasitas dan kapabilitas, lebih amanah, dan dia tahu itu, maka penguasa itu pun telah berkhianat. Ketika penguasa atau pejabat itu korupsi, melakukan manipulasi, menerima suap, dan mengambil harta secara tidak syar'i, itu juga termasuk berkhianat.

Kebijakan yang dikeluarkan pemimpin pengkhianat bukan untuk rakyatnya, melainkan demi kepentingan para pemilik modal. Membuat seribu macam dalih untuk menipu rakyatnya sendiri. Dengan entengnya berbohong dan membuat imej seolah peduli dengan rakyat kecil.  Dikatakan bahwa kebijakan dan aturan tersebut demi kebaikan rakyatnya. Padahal sejatinya untuk membela para elit kapitalis yang mengendalikan kekuasaan.
Maka tak heran jika kebijakan tersebut justru malah membuat rakyat sengsara dan menderita. Hidup di tengah kemiskinan, meski SDA melimpah ruah. Kaya raya tapi bukan milik sendiri karena sudah dijual ke asing. Rakyat menjadi buruh di negeri sendiri. Bergelimang dengan utang trilyunan jumlahnya, yang harus dibayar bagaimanapun caranya.

Kemaksiatan merajalela tak terkendali akibat dari penerapan sistem yang rusak. Pergaulan bebas, perzinaan, lgbt, miras dan kriminalitas lainnya adalah buah sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Inilah biang dari segala permasalahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Hingga memandang kehidupan dari sudut pandang kemanfaatan, bukan dari halal-haram.
Kehidupan semacam ini karena pemimpin yang mengkhianati aturan Allah. Ia tidak menjalankan hukum yang diturunkan Allah SWT. Sehingga telah menjadikannya sebagai penguasa yang bodoh (ruwaibidhah) yang menjadi alat untuk menjalankan skenario kafir Barat. Bahkan berada pada garda terdepan untuk membela peradaban Barat yang dibangun berdasarkan sistem sekuler kapitalisme. Sungguh tak berkah.

Pengkhianatan pemimpin atas hukum Allah adalah pengkhianatan terbesar. Karena pada pemimpinlah tanggung jawab untuk menjalan kekuasaan berada. Dan kekuasaannya tersebut haruslah untuk memastikan hukum-hukumNya diterapkan secara totalitas.

Rasulullah SAW bersabda:
Tidaklah seorang hamba diserahi oleh Allah urusan rakyat, kemudian dia mati, sedangkan dia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya (HR Muslim).

Terkait dengan hadis di atas, Imam an-Nawawi, di dalam Syarh Shahîh Muslim, mengutip pernyataan Fudhail bin Iyadh, “Hadis ini merupakan ancaman bagi siapa saja yang diserahi Allah SWT untuk mengurus urusan kaum Muslim, baik urusan agama maupun dunia, kemudian ia berkhianat. Jika seseorang berkhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepada dirinya maka ia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga. Penelantaran itu bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariah Allah dari unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah-ubah makna ayat-ayat Allah dan mengabaikan hudûd (hukum-hukum Allah). Penelantaran itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjihad untuk mengusir musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan keadilan di tengah-tengah mereka. Setiap orang yang melakukan hal ini dipandang telah mengkhianati umat.”

Jadi, janganlah menjadi pengkhianat jika ingin hidup yang selamat dunia akhirat. Terlebih lagi jika anda adalah seorang pemimpin. Sungguh berat konsekuensinya. Wallahu a'lam bish-shawab. []

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم