Oleh : Ade Farkah
Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Penggalan lirik lagu tersebut, seolah ingin menyampaikan betapa beruntungnya rakyat Indonesia dikaruniai tanah yang subur dengan sumber daya alam melimpah. Tak berlebihan rasanya, jika Indonesia dijuluki sebagai zamrud katulistiwa.
Zamrud katulistiwa merupakan nama lain untuk menggambarkan kondisi tanah Indonesia yang subur, kaya akan sumber daya alam. Idealnya, tanah subur dan limpahan sumber daya alam mampu menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki kedaulatan pangan, mandiri dan tidak mudah di dikte oleh asing.
Ironisnya, Indonesia menjadi tergantung dengan negara lain melalui impor beras dan bahan pokok lainnya. Karenanya, kedaulatan pangan dirasakan hanya isapan jempol belaka.
Beberapa waktu lalu, presiden Jokowi bersama para mentri berencana akan membangun lumbung pangan nasional (LPN) pertama yang berlokasi di Kalimantan Tengah. Hal tersebut merupakan reaksi atas peringatan WHO tentang adanya krisis pangan akibat Covid-19 (detik.com, 05/7/2020).
Meski begitu, pro kontra terhadap wacana pembangunan lumbung pangan nasional tetap terjadi. Pasalnya, wacana tersebut sudah direncanakan sejak pemerintahan presiden Soeharto dan SBY. Bahkan presiden Jokowi pun sempat merencanakan pembangunan lumbung padi di Merauke yang belum terealisasi hingga kini (detik.com, 05/7/2020).
Pertanyaannya, perlukah lumbung pangan nasional dibangun saat ini di negeri zamrud katulistiwa?
Kedaulatan dan ketahanan pangan menjadi kewajiban untuk diupayakan oleh negara. Karena berkaitan erat dengan kelangsungan makhluk hidup didalamnya. Apalagi, Indonesia memiliki potensi alam yang mumpuni. Meski begitu, pemerintah tetap harus mempertimbangkan berbagai macam kemungkinan. Mengingat, saat ini hampir seluruh negara mengalami krisis multidimensi termasuk Indonesia.
Jangan sampai terjebak didalam kesalahan yang sama. Harusnya, pemerintah saat ini berkaca dari kebijakan mantan presiden Soeharto dan SBY. Mengapa gagasan pembangunan lumbung pangan nasional (LPN) belum terealisasi hingga kini? Apa kiranya yang menjadi akar masalah hingga negeri ini mengalami krisis pangan? Bukankah limpahan sumber daya alam seharusnya mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya?
Deretan pertanyaan tersebut seperti mewakili isi hati rakyat Indonesia, terutama petani. Karena para petani lah yang terdampak langsung dari kebijakan pemerintah. Baik soal impor beras dan bahan pokok maupun pembukaan lahan baru.
Diantara kebijakan yang memungkinkan timbulnya permasalahan tersebut adalah tentang penyerahan pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah kepada pihak swasta dan asing yang mengakibatkan efek domino. Kapitalisasi kekayaan alam menjadi bebas tanpa batas. Inilah ciri khas dari sistem yang menyerahkan kedaulatan ditangan manusia.
Limpahan kekayaan alam tak menjadi berarti. Yang kaya makin kaya, si miskin makin merana. Sebab, tidak ada aturan baku (batasan) untuk mengatur distribusi kekayaan termasuk pertanian. Bahkan pengelolaan dan pemanfaatan hak milik luput dari perhatian.
Solusi tuntas membangun kedaulatan pangan negara.
Membangun kedaulatan dan ketahanan pangan sebuah negara erat kaitannya dengan penerapan sistem ekonomi. Pembahasannya tidak dapat dipisahkan dari pembahasan ideologi yang selanjutnya akan menghasilkan aturan dan undang-undang (hukum).
Sebagai negara sekuler demokrasi, Indonesia cenderung memandang bahwa standar kebijakan pemerintah haruslah mengacu pada kemaslahatan. Meski hal itu bersifat relatif dan kondisional. Sehingga tak mengherankan jika kebijakan yang digulirkan akan menimbulkan pro dan kontra karena efek domino yang ditimbulkan. Serta dipandang tidak mampu menuntaskan persoalan.
Misalnya pada gagasan pembangunan lumbung pangan nasional (LPN). Beberapa pihak mengkritisi wacana tersebut lantaran belum ada realisasi yang nyata baik oleh pemerintahan Jokowi maupun periode sebelumnya (pemerintahan Soeharto dan SBY).
Sebaliknya, pemerintah dihimbau untuk memberikan perhatian maksimal pada sektor perPertanian yang ada. Memaksimalkan perannya dalam mensejahterakan masyarakat melalui pertanian. Mengingat, Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian penduduknya hidup dengan bertani.
Jika kita berkaca pada permasalahan di negeri ini, pada umumnya kebijakan pemerintah sering menimbulkan efek domino yang memunculkan reaksi pro dan kontra. Misalnya, pada kebijakan kenaikan iuran BPJS, TDL, tarif tol dan sebagainya. Maka, perlu ditelusuri akar permasalahannya, yakni pada siapa yang berwenang dalam membuat aturan (hukum).
Manusia dengan segala keterbatasannya terbukti tak mampu mewujudkan aturan yang adil dan proporsional. Maka menyerahkan kewenangan dalam membuat aturan (hukum) kepada manusia (rakyat) adalah sebuah tindakan yang keliru. Oleh sebab itu, kita perlu mengembalikannya kepada zat yang maha sempurna yakni Tuhan semesta alam.
Dengan mengembalikan aturan (hukum) kepada sang pencipta, otomatis standar kebijakan apapun haruslah mengacu pada ketentuan-Nya.
Demikian pula dalam hal pembangunan lumbung pangan nasional (LPN). Negara terlebih dahulu menginfentarisir persoalan yang harus diselesaikan. Persoalan ketahanan pangan beririsan langsung dengan aspek ekonomi. Maka perlu diperhatikan pula asas-asas dalam sistem ekonomi.
Dalam sistem ekonomi Islam, terdapat beberapa asas yang menjadi bangunannya, yakni 1) kepemilikan, 2) pengelolaan dan pemanfaatan hak milik dan 3) distribusi kekayaan.
Dalam Islam, setiap orang (masyarakat) bebas menjalankan aktivitas ekonomi dengan membatasi sebab kepemilikan dan jenis pemiliknya. Tidak ada batasan pada jumlah kekayaan yang boleh dimiliki. Selanjutnya, Islam membagi kedalam tiga jenis kepemilikan yakni : kepemilikan individu, kepemilikan umum dan negara.
Dengan demikian, batasan kepemilikan dalam Islam sangat jelas. Sudah barang tentu, pihak swasta dibatasi dalam kepemilikan. Terlebih pihak asing, yang tidak diizinkan untuk memiliki dan mengelola kekayaan negara.
Adapun jika negara hendak membuka lahan baru (ihya'ul mawat), negara terlebih dahulu memastikan kepemilikan lahan tersebut. Adapun jika termasuk dalam kepemilikan umum seperti air, padang rumput dan barang tambang, maka negara boleh mengelola dan mengatur pemanfaatannya.
Kedua, pengelolaan dan pemanfaatan hak milik yang merupakan usaha untuk mengembangkan harta kekayaan. Maka, Islam membolehkan pengembangan harta tersebut melalui cara-cara yang halal, seperti jual beli, sewa menyewa, syirkah, usaha pertanian, pembukaan industri dan lain-lain. Sebaliknya, Islam melarang cara-cara yang haram dan tercela seperti menimbun barang.
Selanjutnya, harta yang telah berkembang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat termasuk pembangunan fasilitas umum.
Ketiga, distribusi kekayaan dalam Islam diatur melalui pewajiban zakat yang diperuntukkan bagi golongan tertentu seperti : fakir, miskin, orang yang memiliki hutang, musafir dan lainnya. Melalui pemberian harta, negara memberikan jaminan kesejahteraan kepada masyarakat tanpa kecuali. Pemberian harta dapat pula diberikan oleh individu melalui pembagian waris.
Sehingga, pihak asing tidak diberikan kesempatan untuk mengelola kekayaan negara apalagi untuk memilikinya. Hasilnya, kesejahteraan masyarakat dapat dirasakan oleh semua lapisan. Orang kaya akan tetap bersahaja, orang miskin tidak akan merana jika konsep ini diterapkan di negeri zamrud katulistiwa.
Dengan izin Allah Swt. Indonesia akan mampu menjadi negara adidaya, berdaulat, tidak mudah didikte oleh asing dan memiliki ketahanan pangan yang kokoh. Waallahu a'lam.[]