Oleh: Anita Ummu Taqillah (Anggota Komunitas Setajam Pena)
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa pemerintah menggunakan anggaran hingga Rp 90,45 miliar untuk membiayai influencer. Pengadaan untuk aktivitas yang melibatkan influencer tersebut baru muncul pada 2017 dan terus berkembang hingga 2020 dengan total paket pengadaan sebanyak 40 paket.
Terdapat 34 kementerian, 5 lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), serta dua institusi penegak hukum yakni Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung yang ditelusuri. Adapun instansi pemerintah yang disebut ICW paling banyak menggunakan jasa influencer adalah Kementerian Pariwisata dengan pengadaan 22 paket dan anggaran Rp 77,6 miliar (kompas.com, 23/8/2020).
Dari fakta di atas, sangat jelas bahwa pemerintah terkesan kurang percaya diri dalam memberikan informasi, juga dalam mengambil kebijakan. Hal ini terkesan jika pemerintah tidak dipercaya oleh masyarakat, sehingga butuh perantara untuk sosialisasi atau menyampaikan kebijakannya kepada mereka. Melalui influencer yang beberapa diantaranya adalah publik figur dan tokoh ternama, diharapakan mampu menyedot apresiasi masyarakat, sehingga tidak kontra terhadap kebijakan pemerintah.
Namun demikian, pakar kebijakan publik menyebutkan jika jasa influencer ini tidak efektif. Seperti dilansir dari bbc.com (20/8/2020), Pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Lina Miftahul Jannah, menyebut penggunaan influencer untuk sosialisasi program atau kebijakan pemerintah selama ini tidak efisien. Karena pesan yang disampaikan mereka tidak sampai ke masyarakat.
"Karena mereka enggak peduli dengan materi atau programnya, yang penting kerja dibayar. Nah sekarang apakah influencer itu menjalankan fungsinya? Kemarin kasusnya influencer enggak tahu dimanfaatkan disuruh sebarkan informasi. Nah, itu jadi masalah. Ini pemerintah paham tidak sih kegunaan humas di sini? Humas influencer ya."
Selain tidak efisien, penggunaan dana yang besar ini juga harus di waspadai. Apalagi di masa pandemi, dimana beberapa waktu lalu pemerintah memotong anggaran beberapa pos pengeluaran, seperti gaji guru untuk dialihkan penanganan covid-19. Tentu menjadi suatu hal yang aneh jika pemerintah selama ini tidak enggan menggelontorkan dana untuk influencer. Untuk itu, KPK pun harus turun tangan.
Menurut kutipan dari cnnindonesia (23/8/2020), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal turut menyoroti isu dana yang dikucurkan pemerintah untuk para influencer di media sosial. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan lembanganya wajib mengawasi isu-isu yang jadi perhatian publik seperti isu dana untuk influencer itu.
Beginilah wajah asli kapitalisme jika diemban oleh pemangku kekuasaan. Mereka rela menggelontorkan dana untuk kepentingan segelintir, dan mengabaikan kebutuhan masyarakat. Di masa pandemi saat ini, harusnya pemerintah lebih maksimal dalam mengurusi urusan masyarakat. Dimana masyarakat banyak yang serba kekurangan karena terkena PHK, pemasukan menurun drastis dan aktifitas terbatas.
Dengan dana yang besar tersebut, bukankah lebih baik jika digunakan untuk memenuhi dan membantu kebutuhan masyarakat di masa pandemi? Menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat tanpa tebang pilih. Karena dalam Islam, pemenuhan kebutuhan pokok dan mendasar rakyat adalah wajib dipenuhi oleh negara. Tak hanya sandang, pangan, papan, tetapi juga kesehatan, pendidikan, juga keamanan.
Selain itu, seorang pemimpin dalam Islam adalah sosok panutan, karena dipilih secara langsung oleh rakyat karena ketaatannya kepada Allah SWT. Sehingga, rakyat patuh dengan semua kebijakan yang tentu sesuai dengan syariat-Nya. Maka, seorang pemimpin dalam Islam tidak butuh yang namanya influencer, karena setiap kebijakan di dasarkan pada aturan Allah SWT, dan rakyat akan tunduk pada pemimpinnya karena wujud keimanan. Allha SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan kepada para pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan RasulNya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa[4]: 59)
Rakyat akan tunduk kepada kebijakan pemimpin yang menjalankan aturan Allah SWT dan Rasul-Nya. Kalaupun ada kebijakan yang bertentangan dengat syariat, pemimpin dalam Islam tidak anti kritik. Rakyat pun wajib mengingatkan tanpa takut dipersekusi.
Dalam Islam, amar ma'ruf nahi mungkar adalah kewajiban setiap muslim. Sehingga, rakyat dan pemerintah akan saling ridha untuk diingatkan dan diatur sesuai aturan Allah SWT. Wallahua'lam bish-showab.[]