Rifka Syamsiatul Hasanah
Penulis Buku Antologi
Agustus, bulan dimana sejarah mencatat Indonesia meraih kemerdekaannya. Sudah 75 tahun Indonesia terbebas dari penjajahan sejak kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Semarak kemerdekaan sudah terlihat dimana - mana. Kibaran Sang Saka merah putih, pemasangan umbul-umbul, serta ornamen - ornamen lainnya yang semakin menambah kemeriahan menyambut hari kemerdekaan. Euforia masyarakat pun selalu terasa setiap tahunnya. Begitupun saat ini meski pandemi corona melanda, antusiasme masyarakat tetap menggelora.
Ada satu hal yang harus disadari bahwa dibalik kemeriahan penyambutan hari spesial rakyat Indonesia, terdapat penyempitan makna kemerdekaan. Kemerdekaan hanya diartikan ketika suatu bangsa terbebas dari bentuk penjajahan fisik (semata) oleh bangsa lain.
Perlu kiranya kita memahami hakikat makna dari kata merdeka itu sendiri. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka artinya bebas dari (penghambaan, penjajahan dan sebagainya), berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat atau bergantung kepada orang atau pihak tertentu.
Kita tengok kondisi Indonesia saat ini setelah 75 tahun merdeka. Secara ekonomi, negeri dengan slogan gemah ripah loh jinawi ini masih menganut sistem ekonomi kapitalis liberal. Dimana kebijakan ekonomi negeri ini tunduk dibawah tekanan lembaga keuangan internasional semacam IMF. Investor asing berbondong - bondong menanamkan modalnya. Akibatnya sebagian besar bahkan hampir seluruh dari SDA Indonesia dikuasai oleh investor asing. Lalu rakyat tak mendapatkan apa - apa, bahkan hidup menderita di negeri kaya raya. Ibarat tikus mati di lumbung padi, sungguh menyayat hati.
Secara budaya, pemikiran sekuler dan liberal telah berhasil meracuni generasi. Ketahanan akidah terkikis oleh pemikiran sekuler yang sangatlah berbahaya. Remaja disuguhi segala macam bentuk kebebasan yang merusak moral anak bangsa. Ancaman seks bebas dan kehidupan hedonis ala barat pun membidik mereka. Kehancuran generasi muslim nyata di depan mata.
Dalam dunia pendidikan, mengenyam pendidikan terbaik di bangku sekolah yang seharusnya dinikmati oleh seluruh rakyat, nyatanya hanya bisa dinikmati oleh orang - orang berada. Sementara orang miskin hanya bisa mengenyam pendidikan dengan dengan fasilitas seadanya. Lebih buruk dari itu banyak diantara mereka yang akhirnya tak bisa merasakan bangku sekolah. Lebih memilih menghabiskan waktu membantu orangtua bekerja demi sesuap nasi. Sungguh ironi.
Ini menunjukkan bahwa negeri ini belumlah merdeka sepenuhnya.
Idealnya, negara merdeka itu tidak hanya bebas dari penjajahan fisik semata. Tetapi juga, terbebas dari intervensi asing. Terbebas dari jeratan utang luar negeri yang mencekik hingga tak bisa berkutik. Bebas mengelola sumber daya alam untuk kepentingan dalam negeri sendiri tanpa campur tangan pihak asing. Negara mengurusi rakyat dengan baik dan tepat. Rakyat mendapatkan haknya untuk hidup sejahtera. Tidak ada lagi yang terbelenggu dalam intimidasi, kesulitan dan ketidakadilan. Namun pada faktanya justru tidak demikian, malah sebaliknya.
Islam memiliki pandangan tentang kemerdekaan ini, diartikan sebagai terbebasnya manusia dari segala bentuk penjajahan. Dalam sebuah atsar disebutkan, ketika Rib’i bin Amr Ra, salah seorang utusan pasukan Islam dalam perang Qodishiyah ditanya perihal kedatangannya oleh Rustum (panglima pasukan Persia), ia menjawab, “Allah mengutus kami (rasul) untuk memerdekakan manusia dari penghambaan manusia menuju penghambaan kepada Allah SWT, dari sempitnya dunia menuju kelapangannya, dari ketidakadilan agama - agama yang ada kepada Islam.”
Dari atsar di atas sangat jelas esensi mendasar dari kemerdekaan, yaitu ketika manusia berada dalam fitrah penciptaannya yakni tunduk patuh kepada Allah sebagai penciptanya. Hingga ia realisasikan dalam kehidupannya dengan tunduk patuh terhadap hukum syara’ secara keseluruhan. Jika ada manusia yang tidak berada pada fitrahnya, maka manusia tersebut belumlah bisa dikatakan merdeka, ia masih terjajah. Begitupun dalam konteks negara, jika ada negara yang tidak tunduk patuh terhadap hukum syara', tidak menerapkan syari'ah secara keseluruhan dalam sistem pengelolaan negaranya. Justru tunduk patuh terhadap aturan - aturan buatan manusia. Maka disitulah negara dikatakan belum merdeka dan masih terjajah.
Sejatinya kemerdekaan dapat dimaknai sebagai pembebasan dari segala bentuk kezaliman akibat penerapan sistem kapitalisme demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Sistem yang justru mencengkram negeri hingga tak mampu berdiri di kaki sendiri. Dengan demikian, jka negara saat ini masih berpegang erat pada sistem kapitalisme demokrasi yang menjadi pintu masuknya penjajahan gaya baru, maka ini tak lebih hanya kemerdekaan semu. Sejatinya hanya dengan kembali kepada fitrahnya menerapkan Islam secara kaffah kemerdekaan hakiki itu benar - benar akan diraih, dan kehidupan pun akan sejahtera lagi diberkahi. Wallahu'alam bishshawab[]