Oleh Diana Wijayanti
Mendadak viral, berita seorang anak SMP Negeri 1, Rembang Jawa Tengah, yang sekolah sendirian akibat tidak memiliki smartphone. Dimas Ibnu Alias, anak pasangan Didik Suroyo ( nelayan) dan Asiatun (buruh pengeringan ikan).
Kasus kesulitan menjalankan proses pendidikan dipelosok Nusantara juga tak kalah mengenaskan, seperti yang terjadi di Kampung Godang Oli Hai, Desa Hokor, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sejak kemerdekaan Indonesia hingga hari ini belum ada akses listrik, jalan dan telekomunikasi.
Bagaimana bisa belajar daring kalau semua fasilitas tidak tersedia. Sementara sejak 24 Maret 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim melepas Surat Edaran No. 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam masa Darurat Penyebaran Covid19.
Lewat surat sakti ini, Mendikbud mengumumkan Ujian Nasional (UN) tahun 2020 dibatalkan, pembelajaran daring diterapkan dan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dapat dialihkan untuk pengadaan alat kebersihan dan pembiayaan pembelajaran jarak jauh.
Ini adalah salah satu potret, kondisi masyarakat Indonesia yang tak memadai guna mendukung program belajar daring yang ditetapkan Kemendikbud sebagai solusi atas Pandemi yang menimpa pendidikan.
Pak Menteri sendiri mengakui "kaget" bahwa ternyata banyak siswa yang tak memiliki akses listrik dan sinyal internet yang memadai. Hal ini dinyatakan pada saat acara peringatan Hari Pendidikan Nasional 2020 yang disiarkan melalui kanal YouTube. republika.co.id 2/5/2020.
Sementara, berdasarkan data Kementerian ESDM, rasio elektrifikasi hingga kuartal III 2018 mayoritas disokong oleh layanan PT PLN (Persero) sebanyak 95,43 persen, Non PLN 2,5 persen, dan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTHSE) 0,12 persen.
Menurut Pak Menteri Jonan, sisa 2 persen yang belum terjangkau dalam rasio elektrifikasi setara dengan 5,2 juta masyarakat Indonesia (setara penduduk Singapura). Sebagian besar masyarakat yang belum merasakan layanan listrik berada di Nusa Tenggara Timur dan Papua.
Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI1), jumlah pengguna internet di Indonesia sebanyak 143,26 juta atau sekira 55% dari populasi. Artinya, masih terdapat 45% sisanya yakni sekira 117 juta masyarakat yang masih belum tersentuh internet. Kominfo.go.id. (07/2018).
Walaupun fakta jangkauan listrik dan internet belum merata, Mendikbud berwacana belajar jarak jauh akan dipermanenkan. "Pembelajaran jarak jauh, ini akan menjadi permanen. bukan pembelajaran jarak jauh pure saja, tau hybrid model. Adaptasi teknologi itu pasti tidak akan kembali lagi," dikutip TribunStyle.com dari Wartakotalive.com, Senin (6/7/2020).
Tentu saja wacana ini mendapat kritik pedas dari berbagai lapisan masyarakat tak terkecuali anggota DPRD DKI Jakarta Tina Toon. Menurutnya, kebijakan ini tak memperhatikan seluruh lapisan masyarakat yang tak semuanya memiliki akses internet.
Dari sini muncul pertanyaan, kenapa kebijakan Kemendikbud dalam memberikan solusi masalah pendidikan makin tidak terarah, menimbulkan kontroversi, tidak menyentuh akar persoalan bahkan memunculkan persoalan baru?
Apabila kita mencermati secara mendalam, kekurangcakapan pejabat publik ini adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem Demokrasi, Kapitalisme. Demokrasi meniscayakan pemimpin itu adalah orang yang memiliki modal besar bukan berdasarkan kecakapan dan kemampuan.
Sehingga pemimpin yang berkuasa dipilih berdasarkan pencitraan, dan kecurangan. Walhasil ketika berkuasa mengharuskan dirinya, bagi-bagi kekuasaan terhadap para pendukung yang sebagian besarnya korporasi, hingga diangkatlah para menteri.
Dimana mereka bukan orang yang paham pendidikan dan punya basic Pendidikan, namun orang yang bermodal besar, pemilik perusahaan star up, CEO perusahaan besar. Pertimbangan teknologi semata yang mendasari terpilihnya pejabat, mengakibatkan kebijakan yang ekstrim dan menimbulkan kegaduhan publik. Maka wajar bila ketidakmampuan pejabat untuk memberikan solusi dengan kebijakan yang diambil tidak sejalan dengan kebutuhan rakyat.
Sistem demokrasi juga memiliki cacat sejak lahir. Pandangan terhadap fungsi negara sungguh bathil, negara dianggap sebagai regulator saja, menjembatani para perusahaan besar mengambil keuntungan atas rakyatnya. Hal ini tampak dari kebijakan pemerintah dalam pendidikan, yaitu membuat 'nikah massal' antara perguruan tinggi dengan perusahaan. Bahkan presiden negeri +62 menganjurkan untuk membuat program studi yang sesuai dengan permintaan korporasi.
Infrastruktur yang dibangun pun ternyata tergantung kepentingan Korporasi, seperti pembangunan besar-besaran jalan tol untuk mengangkut Sumber Daya Alam (SDA) dan LRT di beberapa kota yang belum dipandang butuh, kecuali mementingkan kepentingan segelintir orang saja. Sementara infrastruktur yang sangat urgent bagi masyarakat berupa listrik dan internet masih sangat kurang.
Ini semua adalah konsekuensi logis penerapan sistem Kapitalisme-Demokrasi. Sangat diskriminasi terhadap rakyat khususnya sektor pendidikan. Oleh karena itu butuh solusi atas persoalan pendidikan secara sempurna, seiring pembangunan. Untuk itu butuh sistem yang mumpuni, memberi solusi paripurna tanpa menimbulkan problem baru. Sistem ini hanya bisa diperoleh dari Dzat Yang Maha Sempurna, Pengatur Bumi dan Langit yaitu sistem Islam. Islam telah merinci bagaimana mengangkat seorang pemimpin.
Ada tujuh syarat wajib dalam mengangkat pemimpin umat. Diantaranya adalah muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil dan memiliki kemampuan. Ketika tujuh syarat itu sudah dipenuhi maka Rasulullah Saw, memilih diantara umat yang memenuhi syarat wajib tersebut adalah dipilih yang paling bertakwa.
Hal ini karena pemimpin dalam Islam adalah pelayan umat, Rasulullah Saw bersabda yang artinya "Imam itu adalah penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaanya". Jadi pemimpin bukan hanya regulator atau fasilitator saja terhadap rakyatnya.
Adapun masalah pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang pendidikan, ini adalah keharusan yang menjadi tanggung jawab pemerintah, karena pendidikan adalah kebutuhan dasar setiap warga negara baik, miskin maupun kaya, muslim maupun non muslim.
Seperti halnya dimasa pendemi seperti saat ini kebutuhan listrik dan internet sangat mendesak sehingga harus menjadi prioritas agar semua anak didik bisa belajar dengan baik. Kebutuhan dana yang besar untuk infrastruktur yang kurang mendesak dibutuhkan umat seperti rencana pemindahan ibukota bisa ditunda dulu, agar Pandemi bisa diselesaikan. Pendidikan juga bisa dijalankan dengan baik.
Namun ini semua mustahil jika visi pelayanan terhadap rakyat bukan prioritas. Seberapapun besar dana yang ada tidak akan sampai kepada kemaslahatan umat. Berbeda dengan pemahaman pemimpin yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT maka seorang pemimpin dalam Islam sangat berhati-hati dalam pembelanjaan uang rakyat.
Bahkan negara bila kas negara kosong, bisa mengumpulkan tabaruat (sumbangan rakyat) bahkan jumlah dana yang dibutuhkan bila belum mencukupi bisa pinjam dana dari masyarakat tanpa riba dan dikembalikan dengan mewajibkan pungutan pajak bagi kaum muslimin yang mampu, untuk mencukupi kebutuhan yang wajib saja tidak boleh lebih dan terjadi terus menerus. Meskipun kas kosong itu peluangnya sangat kecil pada masa kekhilafahan Islam. Hal ini karena sumber pemasukan negara dalam Islam sangat banyak, diantaranya adalah :
1. Ghanimah
2. Fa'i
3. Kharaj
4. Usyur
5. Jiziyah
6. Pengelolaan tambang yang berlimpah
7. Pengelolaan kepemilikan umum ( air, Padang rumput dan energi)
8. Tanah dan bangunan milik negara
9. Khumus, atas Rikaz
10. Harta ghulul pejabat
11. Harta orang murtad dan orang yang tidak punya ahli waris.
12. Pajak
13. Zakat
Pembangunan sarana dan prasarana pendidikan ini telah dicontohkan pada masa kekhilafahan Islam.
Gambaran praktis penerapan aturan-aturan Islam dalam pembiayaan pendidikan ini tercermin dari sejarah Kekhilafahan Islam. Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah al-Muntahsir Billah di kota Baghdad contohnya.
Siswa-siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Tak hanya itu, keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitasnya pun lengkap seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian.
Madrasah an-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad 6 H oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky tak kalah bonafit. Di sekolah ini terdapat fasilitas asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan, serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi. Tentu saja madrasah ini bukan sekolah elit komersil seperti yang ada pada peradaban kapitalisme sekarang ini.
Begitulah pandangan Islam terhadap pemenuhan kebutuhan mendasar pendidikan sehingga harus difasilitasi oleh negara tanpa pungutan dari masyarakat. Kualitas Sumber Daya Manusia sangat diperhatikan dan pembangunan infrastruktur yang sangat mendukung wajib dipenuhi sehingga tidak ada pengabaian.
Bila sistem Kapitalisme terbukti Bobrok, kenapa tidak berpindah ke sistem Islam, yang akan membawa Rahmatan Lil 'alamin, selamat didunia dan akhirat?
Wallahu a'lam bishshawab