Asa Menuju Solusi Pandemi

 

Oleh : Zahida Arrosyida


Pandemi Covid-19 telah melahirkan krisis multidimensi yang tidak bisa dianggap sepele. Awalnya adalah krisis kesehatan yang ditimbulkan oleh cepat dan luasnya penularan dengan disertai angka kematian tinggi di waktu singkat. Lalu merembet pada ekologi krisis baru: sosial, ekonomi, politik hingga munculnya ancaman stabilitas nasional. Sesungguhnya dibutuhkan tindakan tegas, tepat dan cepat untuk mengakhiri kondisi krisis.


Namun apalah daya, kegamangan pemerintah dalam menangani  penyebaran pandemi telah memunculkan problem di segala bidang kehidupan.


Pandemi covid-19 telah menghasilkan banyak krisis berkelanjutan di berbagai sektor. Pada sektor kesehatan, sampai saat ini pihak rumah sakit kewalahan menangani melonjaknya jumlah pasien yang terpapar Covid-19 akibat minimnya APD dan belum ditemukannya vaksin untuk virus.


Masalah ekonomi juga terdampak, dengan kebijakan PSBB dan new normal yang membatasi aktivitas, semakin membawa masyarakat pada keterpurukan  ekonomi. Indonesia diprediksi akan mengalami resesi pada kuartal II-2020. Hal ini terlihat dari peluncuran laporan Bank Dunia untuk ekonomi Indonesia Juli 2020 (https://finance.detik.com, 18/07/2020).


Dalam sektor pendidikan, keputusan pemerintah untuk menghindari meluasnya wabah dengan memindahkan proses pembelajaran dari rumah via online, justru menimbulkan masalah baru. Mulai dari orangtua yang tidak mampu menggantikan peran guru, keterbatasan sarana baik yang dialami guru dan orangtua berupa; gadget dan kouta paket data, kondisi psikologis anak yang tidak siap menerima proses BDR, dan lain sebagainya.


Dalam ranah sosial yang lain, akibat meningkatnya jumlah pengangguran ternyata berdampak pada rapuhnya ketahanan keluarga. Pandemi covid-19 ternyata juga menyebabkan meningkatnya angka perceraian. Mayoritas penggugat perceraian menyebut faktor ekonomi sebagai alasan bercerai (www.liputan6com, 26/06/2020).


Dalam upaya menanggulangi meluasnya wabah,  pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan. Diantaranya ajakan untuk berdamai dengan Corona atau new normal life. Namun  banyak kebijakan penguasa di negeri ini yang membuat masyarakat semakin resah tak tentu arah. Misalnya  kebijakan tentang pembebasan narapidana, kenaikan iuran BPJS Kesehatan disaat masyarakat benar-benar membutuhkan layanan kesehatan yang memadai karena ganasnya virus Corona ini. Kebijakan diterbitkannya TAPERA, disaat masyarakat membutuhkan rumah sebagai tempat aman untuk berlindung diri. Juga diberlakukannya kenaikan tarif listrik dikalangan masyarakat tertentu. 


Pemerintah mengklaim semua kebijakan ini diberlakukan untuk menangani pandemi agar pandemi bisa segera diatasi. Namun, lagi-lagi rakyat harus menelan kekecewaan. Karena sesungguhnya paradigma dasar kebijakan ini adalah pemulihan ekonomi negara, yang notabene pelaku utama ekonomi adalah para kapital. Miris, demi menggenjot sektor ekonomi, kesehatan rakyat tergadaikan.


Inilah potret buram negeri dibawah naungan sistem kapitalis yang hanya mementingkan laju perekonomian. Kesejahteraan dan kesehatan masyarakat dianggap sepele. Hingga pada kenyataanya kita bisa saksikan jumlah orang-orang yang dinyatakan positif Covid-19 bukannya berkurang justru kian bertambah.


New Normal Life yang digaungkan oleh penguasa, ternyata tidak mampu menjadi solusi tuntas dalam mengatasi krisis global akibat pandemi. Sampai kapan masyarakat akan terus dicekam  bayangan pandemi?  Kebijakan seperti apa yang mampu membawa negeri  bahkan dunia ini bisa keluar dari masalah pandemi global? Adakah seperangkat aturan yang mampu membawa manusia keluar dari krisis?


Tentu saja ada. Dunia membutuhkan seperangkat aturan kebijakan sempurna dan sistemik yang mampu menuntaskan berbagai persoalan hidup manusia. Peraturan itu datang dari Sang Pencipta manusia dan kehidupan. Karenanya hal ini merupakan kebutuhan mendesak yang dirindukan seluruh masyarakat dunia. Tersebab berbagai kebijakan telah diterapkan dan berbagai upaya telah dicoba, namun belum menunjukkan tanda-tanda wabah akan pergi dan krisis multidimensi akan berakhir.


Pada titik inilah, kita harus mengkaji ulang apa yang telah dilakukan selama ini. Sesungguhnya momen Idul Adha yang identik dengan semangat pengorbanan dan ketaatan telah banyak memberikan hikmah pada manusia.


Saat kita merayakan Idul Adha, ingatan pastilah melayang pada kisah nabi Ibrahim, yang telah Allah SWT perintahkan untuk menyembelih putra kesayangannya, Nabi Ismail as. Kisah ini  telah begitu lekat dalam benak. Menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi orang-orang yang beriman dan berserah diri. Allah SWT telah mengabadikan kisah kedua kekasih-Nya ini di dalam Al-Qur'an.


"Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".(QS ash-Shaffat: 101-102).


Kisah ini setidaknya menggambarkan dua hal: ketaatan dan pengorbanan. Pertama: terkait ketaatan, kisah ini tegas mengajari kita agar selalu menaati semua perintah Allah, meskipun untuk itu kita mesti mengorbankan sesuatu yang paling kita cintai, sebagaimana yang ditunjukkan Ibrahim as dan Ismail as. Apalagi Allah SWT telah berfirman: 

"Demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman hingga menjadikan angka Hakim dalam perkara apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS an-Nisa: 65).


Kedua: lebih dari sekedar taat, kisah Ibrahim as dan Ismail as juga telah mengajari kita untuk mengorbankan Apa saja yang kita miliki dan cintai sebagai bukti kepasrahan kita kepada Allah SWT. Apalagi Allah telah menyuruh kita untuk menempatkan cinta kepada Allah dan Rasul di atas kecintaan kepada yang lain, bahkan di atas kecintaan kepada diri kita sendiri. Allah SWT berfirman: 

Katakanlah, "Jika bapak bapak bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, karib kerabat kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatir kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (azab)-Nya." (QS at-Taubah: 24).


Ibadah haji mampu me-restore manusia pada fungsi awal penciptaannya, yaitu kesadaran bahwa manusia merupakan makhluk lemah yang sudah seharusnya tunduk dan patuh secara mutlak kepada Pencipta-Nya. Ibadah haji mengajarkan kepada manusia, siapapun dia pasti akan pulang kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.


Fungsi dan karakter dasar manusia saat ini sebenarnya telah dirusak paham sekularisme. Paham ini telah merasuk sangat dalam pada hati dan pikiran umat. Akibatnya ibadah haji nyaris tidak berefek, baik secara pribadi maupun keumatan.


Ibadah haji merupakan bentuk ketundukan sempurna kepada Allah SWT. Ibadah haji merupakan napak tilas peristiwa menakjubkan dari hamba Allah yang sangat mengagumkan dalam ketaatan kepada-Nya. Ketaatan kepada Allah yang dilandasi oleh keimanan, sehingga mampu taat dengan ketundukan yang benar-benar telah menembus batas rasionalitas manusia.


Dengan ketundukan dan penerapan sempurna pada aturan Allah dalam aspek individu, masyarakat dan negara, semoga menjadi jalan untuk kita semua agar segera mendapatkan pertolongan Allah berupa diangkatnya wabah dari muka bumi.


Seperti yang telah Allah janjikan  dalam firman-Nya:

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS  An-Nur: 55).


Wallahu a'lam bi ash-shawab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم