Oleh: Ummu Athifa
(Ibu Rumah Tangga)
Kebutuhan pangan merupakan hal yang penting bagi suatu negara. Adanya ketersediaan pangan yang memadai akan berdampak pada rakyat sejahtera. Indonesia memiliki lahan ladang yang melimpah ruah dari Sabang hingga Merauke. Sehingga sudah jelas rakyat tidak akan merasakan kesulitan bahan pangan.
Faktanya, pandemi korona yang masih merongrong Indonesia menyebabkan kebutuhan pangan mulai berkurang. Tidak hanya negeri ini bahkan dunia pun merasakan krisis pangan. Maka, sudah dari bulan April lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperingatkan para menteri Kabinet Indonesia Maju akan ancaman krisis pangan dunia di tengah pandemi virus covid-19 seperti yang diprediksi oleh Food and Agriculture Organization (FAO).
Hasil peringatan itu pun langsung direspon para menteri, mulai dari Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, Menteri PUPR Basuki Hadi Muljono, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dengan merencanakan pembangunan lumbung pangan nasional (food estate) pertama yang berlokasi di Kalimantan Tengah. Tetapi wacana tersebut menuai kritik. Dikarenakan LPN (lumbung pangan nasional) sudah diinisiasikan semenjak pemerintahan Presiden ke-2 RI, Soeharto, kemudian periode pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun hasilnya berujung gagal.
Menurut pengamat pertanian sekaligus Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas, adanya krisis pangan tidak hanya disebabkan oleh pandemi korona, melainkan musim yang tidak dapat diprediksi. Maka, Presiden Jokowi ternyata sudah terlebih dahulu menyiapkan cadangan logistik nasional. Ini nantinya akan dikelola oleh BUMN yang dilakukan dengan pola investasi. (detik.com/4Juli)
Langkah pemerintah ini perlu diapresiasi. Penanganan akan krisis pangan memang tidaklah mudah, namun perlu tepat sasaran. Sayangnya ini tidak diperhatikan secara teliti oleh pemerintah. Dalih ingin menyelamatkan nyawa rakyatnya, tetapi menjerumuskannya ke jurang kenestapaan.
Lumbung pangan nasional direncanakan di daerah lahan gambut Kalimantan. Padahal lahan tersebut pastinya kurang kandungan air dan mineral yang diperlukan tumbuhan. Maka, pemerintah melalui Wamenhan menegaskan tanaman yang akan ditumbuhi adalah singkong.
Penggarapan akan dimulai secara bertahap. Perlu tenaga kerja yang banyak, jika ingin rampung pada bulan Oktober-November. Dan lagi-lagi pemerintah menawarkan ke pihak swasta untuk terlibat dalam pengerjaannya. Dikarenakan membutuhkan dana investasi sebanyak Rp 68 triliun untuk pengembangannya dari hulu ke hilir. (cnbcindonesia.com/11Juli)
Sayangnya, negeri ini belum bisa mandiri dari segi pemberdayaan lahan. Untuk menjamin ketersediaan pangan saja masih mengandalkan investor. Tak ada jaminan rakyat sejahtera, tetapi akan buntung bukan kepalang. Tentu yang akan dirugikan pertama kali yaitu para petani.
Petani akan diperlakukan tidak adil oleh kebijakan ini. Mereka akan dibayar tak adil oleh majikannya. Bayaran yang sangat kecil, namun tenaganya diperas tak henti-hentinya. Sungguh, akan menyisakan beban hidup semakin terhimpit. Tetapi akan menguntungkan bagi investor.
Inilah negeri yang masih mempertahankan sistem demokrasi. Sistem yang lebih mementingkan pihak asing daripada rakyat. Jika tidak investor, akan rugi besar negara ini. Maka, adanya LPN tidak akan menjadi solusi untuk penanganan krisis pangan.
Oleh sebab itu, rasio LPN di beberapa wilayah perlu dipikirkan ulang oleh pemerintah. Jika ingin krisis pangan teratasi, bekerja sama dengan petani lokal untuk memberdayakan lahannya dengan maksimal. Lalu pemerintah menjamin adanya benih yang baik, pupuk berkualitas, dan alat-alat pertanian yang diperlukan untuk menggarap lahan.
Seyogianya, pemerintah memberikan jaminan tersebut secara gratis dan merata. Itu pula yang dicontohkan dalam Islam mengenai penanganan krisis pangan. Dikarenakan sektor pangan merupakan hal yang perlu diperhatikan.
/Penanganan Krisis Pangan dalam Islam/
Islam merupakan agama yang sempurna. Memberikan tanggung jawab terbesarnya kepada pemimpin negara, yaitu Khalifah. Khalifah akan mendahulukan kebutuhan rakyat diatas kepentingan pribadinyam
Negara akan menerapkan kebijakan pangan dengan memanfaatkan negara agraris secara optimal. Diantaranya pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian. Maka diadakan diwan ‘atho (biro subsidi) dalam baitul mal yang akan mampu menjamin keperluan-keperluan para petani.
Para petani diberikan bantuan, dukungan dan fasilitas. Diantaranya pemberian modal, peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan, research, pemasaran, dan sebagainya baik secara langsung atau semacam subsidi. Maka seluruh lahan yang ada akan produktif.
Negara juga akan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi sehingga arus distribusi lancar. Dikarenakan di dalam Islam mengajarkan memanfaatkan segala lahan produktif. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil” (HR. Bukhari).
Islam melarang menimbun dengan menahan stok barang agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah SAW melarang penimbunan makanan” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi). Jika pedagang, importir atau siapapun menimbun, ia harus mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar sesuai kebutuhan.
Inilah yang dilakukan Khalifa Umar Ibnu al-Khatab ketika di Madinah terjadi musim paceklik. Ia mengirim surat kepada Abu Musa di Bashrah yang isinya: “Bantulah umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Mereka hampir binasa.”
Setelah itu ia juga mengirim surat yang sama kepada ‘Amru bin Al-‘Ash di Mesir.
Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan ‘Amru dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah, kemudian dari sana baru dibawa ke Mekah (Lihat: At-Thabaqâtul-Kubra karya Ibnu Sa’ad, juz 3 hal. 310-317).
Itulah aturan Islam. Dilakukan secara cepat dan tepat sasaran. Dikarenakan hanya dengan Islam rakyat Indonesia tidak akan mengalami krisis pangan, walaupun sedang pandemi ataupun tidak.
Wallahu'alam bi shawabshawab.[]