Oleh: Wafi Mu'tashimah
(Siswi SMAIT Al-Amri)
Pemerintah kini sedang meramu formula untuk kebijakan baru PP Tapera. Pajak berkedok tabungan ini, menambah daftar iuran baru bagi para pekerja dan pemberi kerja. Ia menjadi beban baru setelah BPJS kesehatan, BPJS ketenagakerjaan dan JHT.
Dikutip dari Viva.co.id, presiden Joko Widodo menekan PP no.25 tahun 2020 tentang penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA). Dalam pasal 15 dalam PP tersebut tertulis, "besaran simpanan peserta ditetapkan sebesar 3% dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan peserta mandiri".
kemudian dari angka 3% tersebut sebanyak 0,5% ditanggung oleh pemberi kerja dan sisanya sebesar 2,5% ditanggung oleh pekerja yang dipotong dari gaji pegawai. Iuran TAPERA ini akan mulai dipungut Januari 2021. Iuran Tapera berlaku untuk seluruh pekerja di Indonesia yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta dan berumur minimal 20 tahun.
PP Tapera sangatlah menyengsarakan rakyat. Pegawai yang sudah memiliki rumah pun harus ikut. Belum lagi peserta yang meggunakan gajinya untuk kebutuhan sehari-hari saja kadang tidak cukup, pemotongan gaji untuk iuran baru ini tentu sangat menyulitkan.
Iuran baru ini disebut-sebut bermekanisme layaknya tabungan. Berdasarkan PP nomor 25 tahun 2020 tentang Tapera, pengaturan penyelenggaraan Tapera melalui penyimpanan dana oleh peserta secara periodik yang dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan pesertanya. Selain itu, hasil pemupukan dana pun dapat dikembalikan kepada peserta setelah masa kepesertaannya berakhir.
Uang tabungan ini tercatat akan diserahkan kepada peserta setelah memasuki masa pengsiun atau meninggal dunia. Selain itu, ia yang meninggal dan tidak memenuhi kriteria kepesertaan selama 5 tahun akan berakhir status kepesertaannya di BP Tapera (Bisnis.co).
Sayangnya, meskipun dengan status tabungan, tapi uang yang disimpan tak bisa diambil kapan saja layaknya tabungan. Apakah adil bila sudah mengisi tabungan selama berbulan-bulan, lalu saat dibutuhkan tidak bisa diambil?. Bahkan, jika status kepesertaan berakhir sebelum masanya, dana akan tetap tinggal di rekening kepesertaan.
Sadar atau tidak, BP Tapera sangatlah riskan akan berbau kolusi dan korupsi. Pemerintah semestinya belajar pada iuran-iuran yang mereka berlakukan sebelumnya, seprti BPJS dan JHT. Dimana, tak bisa dipungkiri pernah terjadi korupsi didalamnya. Apaagi disaat dana yang ada menumpuk-numpuk dan tak segera dialokasikan akan membuat para pejabat menahan ludah.
Kenapa tidak? Para pejabat dinegeri ini telah mendarah daging faham kapitalis-sekuler dalam diri mereka. Mereka selalu memikirka uang dan bagaimana cara memanen keuntungan. Tak peduli bagaimanapun caranya. Tak mau tahu hak milik siapa.Yang penting menguntungkan, diambil sekehendaknya.
Sudah banyak lembaga yang serupa dengan BP Tapera yang menuai buntung bukannya untung. salah satunya seperti yang terjadi diBPJS. Penyimpangan kewenangan di BPJS menyebabkan defisitnya anggaran.
Dikutip dari CNN.Indonesia, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron menyebut tata kelola BPJS Kesehatan yang sampai megalami defisit triliyunan rupiah berpotensi merugikan keuangan negara.
Begitu pula yang terjadi pada BPJS Ketenagakerjaan. Dalam keterangan Koordinator Nasional Poros Benhir Aznil Tan. Ia mengatakan bahwa sudah menjadi rahasia umum BPJS TK rentan terhadap kejahan korupsi. Bahkan menjadi tempat sarang korupsi (IBC Jakarta). Belum lagi kasus Badan Asuransi Jiwasraya yang sempat menggegerkan jagad perpolitikan di Indonesia.
Jika dikalkulasikan, kerugian negara yang diakibatkan oleh korupsi sangatlah luar biasa besar. Akan tetapi pemerintah masih tak mau belajar darinya. Bukannya menghindari pembentukan lembaga kontraversial baru, penguasa negeri terus meggodoknya matang-matang. Apakah itu tidak membuntungkan negara dan menyengsarakan rakyat?
/Hanya Islam Solusi Tuntas/
Islam selalu berusaha memberantas jalan-jalan kemungkinan terjadinya korupsi. Untuk masalah pengadaan rumah bagi rakyat, Daulah Islam memiliki mekanisme tertentu. Dengannya, tak akan ada kemungkinan terjadi korupsi dan kolusi dalam pelaksanaan. Dalam lslam pula, papan termasuk kebutuhan pokok yang wajib dijamin ketersediaannya oleh negara. Berikut tata aturan yang diterapkan oleh Daulah lslam:
Pertama, negara mewajibkan setiap kepala keluarga untuk bekerja.
Allah SWT. berfirman:
"Kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf dan ahli waris pun, berkewajiban demikian".(TQS. AI-Baqarah[2]:233).
Sebelum beralih langsung ke pundak negara, kewajiban pemenuhan kebutuhan pokok dibebankan kepada para suami. Para kepala keluarga harus memenuhi nafkah kepada istri dan anaknya berupa sandang, papan dan pangan.
Kedua, pengadaan jumlah lapangan kerja yang memadai. Percuma apabila seluruh kepala keluarga sudah berniat bekerja tapi tidak ada lapangan kerja yang dapat menampung. Maka, negara juga berkewajiban menyediakan lapangan kerja yang mencukupi. Hal ini seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Anas bin Malik menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang pengemis dari kalangan Anshar datang meminta-minta kepada Rasulullah SAW. Lalu beliau bertanya kepada pengemis tersebut, "Apakah kamu mempunyai sesuatu di rumahmu?" Pengemis itu menjawab, "Tentu, saya mempunyai pakaian yang biasa dipakai sehari-hari dan sebuah cangkir." Rasul langsung berkata, "Ambil dan serahkan ke saya!".
Lalu pengemis itu menyerahkannya kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah menawarkannya kepada para sahabat, "Adakah di antara kalian yang ingin membeli ini?" Seorang sahabat menyahut, "Saya beli dengan satu dirham." Rasulullah menawarkanya kembali,"adakah di antara kalian yang ingin membayar lebih?" Lalu ada seorang sahabat yang sanggup membelinya dengan harga dua dirham.
Rasulullah menyuruh pengemis itu untuk membelanjakannya makanan untuk keluarganya dan selebihnya, Rasulullah menyuruhnya untuk membeli kapak. Rasullulah bersbada, "Carilah kayu sebanyak mungkin dan juallah, selama dua minggu ini aku tidak ingin melihatmu." Sambil melepas kepergiannya Rasulullah pun memberinya uang untuk ongkos.
Setelah dua minggu pengemis itu datang kembali menghadap Rasulullah sambil membawa uang sepuluh dirham hasil dari penjualan kayu. Lalu Rasulullah menyuruhnya untuk membeli pakaian dan makanan untuk keluarganya, seraya bersada, "Hal ini lebih baik bagi kamu, karena meminta-meminta hanya akan membuat noda di wajahmu di akhirat nanti. Tidak layak bagi seseorang meminta-minta kecuali dalam tiga hal, fakir miskin yang benar-benar tidak mempunyai sesuatu, hutang yang tidak bisa terbayar, dan penyakit yang membuat sesorang tidak bisa berusaha." (HR Abu Daud).
Ketiga, tanggungan para kerabat dan ahli waris. Mereka yang tak mampu membeli rumah, maka selanjutnya mereka menjadi tanggungan kerabat dan ahli waris. Allah SWT. berfirman yang artinya: “Dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai.” (QS. At-Taubah: 24).
Sedangan Rasulullah SAW bersabda: “Mulailah memberi nafkah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu, ibumu, ayahmu, saudara laki-lakimu, dan saudara perempuanmu, kemudian kerabatmu yang jauh,” (HR. an Nasa’i).
Keempat, Kewajiban Negara. Jika tahap pertama hingga ketiga tidak bisa menyelesaikannya, maka giliran selanjutanya adalah negara yang berkewajiban menyediakan rumah. Dengan menggunakan harta milik negara atau harta milik umum dan berdasarkan pendapat atau ijtihad untuk kemaslahatan umat, maka khalifah bisa menjual (secara tunai atau kredit dengan harga terjangkau), menyewakan, meminjamkan atau bahkan menghibahkan rumah kepada orang yang membutuhkan. Sehingga, tidak ada lagi individu rakyat yang tidak memiliki atau menempati rumah.
Rasulullah SAW. bersabda yang artinya: "Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya. Siapa yang meninggalkan keluarga yang terlantar maka itu tanggungan kami. (HR Ahmad, al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Berdasarkan hadits diatas, anggota keluarga yang terlantar sepeninggal seseorang menjadi tanggungan negara. Imam an-Nawawi didalam Syarhu Shahih Muslim menyatakan, "para ahli bahasa berkata, adh-dhaya'u adalah al-iyalu (keluarga)". Imam an-Nawawi juga meyatakan dibagian yang lain dari buku yang sama, "adapun adh-dhaya'u dan adh-dhayatu, yang dimaksud adalah keluarga yang membutuhkan dan terlantar.
Demikianlah lslam memiliki solusi tuntas dan efektif untuk mengatasi ketidakserdiaan rumah. Sistem yang pasti tak akan menimbulkan perselisihan dan persoalan baru ditengah-tengah manusia. Jika kalian sudah lelah dan marah dengan sistem kapitalis. Maka mari kita campakkan sistem yang sudah jelas kefasadannya ini dan menggantinya dengan sistem Islam yang sudah jelas kemaslahatannya. Wallahu a'lam bishowab.[]