Oleh: Roisatul Mahmudah, S.Pd.I.
(Praktisi Pendidikan, Kediri-Jawa Timur)
Penderitaan yang muncul akibat pandemi Covid-19 masih terus terasa menyesakkan. Kluster-kluster baru masih bermunculan. Roda perokonomian terseyok-seyok mencari penopang. Serasai mati suri ditengah pandemi. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat pandemi memaksa pusat-pusat perbelanjaan ditutup. Hal ini juga dialami pasar tradisional, meski banyak juga di beberapa daerah yang masih tetap beroperasi. Tidak hanya berdampak terhadap masyarakat, penutupan pasar juga berimbas terhadap binatang-binatang liar yang menghuni dan mengais makanan tempat tersebut. Mereka pun kesulitan mendapatkan makanan sejak pasar ditutup akibat pandemi corona. Padahal, mereka pun juga makhluk hidup yang butuh makan dan perhatian.
Kucing-kucing liar menjadi salah satu korban pandemi. Tak ada lagi pengunjung pasar yang peduli dengan makanan mereka. Selain karena pasar serta banyak akses jalan yang ditutup, hal yang lebih mengenaskan adalah karena ekonomi masyarakat terjun bebas landas menuju kurva cekung. Jangankan memikirkan nasib hewan-hewan liar, memikirkan tegaknya ekonomi domestic saja sudah kalang kabut. Alhasil, kucing-kucing tersebut mengalami kelaparan ditengah pandemi. Walaupun ada kucing-kucing liar yang biasa dijumpai di Pasar Antri, Cimahi, bisa dibilang beruntung. Sejak pasar tersebut ditutup pada 24 Mei 2020 akibat munculnya kasus dua pedagang positif corona, ada warga yang cukup peduli dengan kucing-kucing di sana. Komunitas pencinta binatang Exalos di Solo juga melakukan penyisiran pasar-pasar dan beberapa tempat lain untuk memberi makanan terhadap kucing-kucing yang turut terdampak COVID-19. Namun masih lebih banyak kondisi kucing liar yang memprihatinkan tanpa ada makanan.
Kehidupan satwa di kebun binatang lebih menyayat hati. Semenjak diperlakukan PSBB, kebun-kebun binatang juga ditutup dari pengunjung. Hilangnya pemasukan utama dari tarif tiket masuk yang dikenakan kepada pengunjung menjadi problem serius bagi keberlangsungan satwa. Pasalnya, biaya operasional serta biaya logistik satwa tersebut sangat mengandalkan tarif tiket. Meski ada kebun binatang milik pemerintah daerah yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Penutupan kebun binatang sangat berbeda dengan penutupan perusahaan atau pabrik. Jika perusahaan atau pabrik tutup maka bisa tutup total dan libur. Namun jika kebun binatang yang ditutup, bagaimana nasib satwa didalamnya? Satwa-satwa tersebut tetap butuh makan dan perawatan. Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia (PKBSI) saat ini sedang menaungi 57 kebun binatang dan lembaga konservasi, mengelola satwa sebanyak 4.912 jenis dengan total 70.000 individu satwa yang terdiri dari mammalia, unggas, reptil dan ikan. Sedangkan biaya operasional yang harus dikeluarkan setiap bulannya mencapai Rp 60 miliar yang mencakup antara lain biaya pakan satwa dan gaji pegawai.
PKBSI sendiri telah mengirimkan surat kepada pemerintah untuk meminta bantuan terkait kondisi satwa di kebun binatang di tengah pandemi ini. Namun layaknya pungguk merindukan bulan. Bantuan pun tak kunjung datang. Langkah yang akan ditempuh berikutnya adalah, mengifisienkan jatah makan satwa, serta rencana penyembelihan bebrapa hewa untuk menjadi makanan hewan lain. Melihat skala prioritas hewan mana yang harus diselamatkan lebih dulu. Langkah terkahir, rencananya akan diadakan kampanye donasi bantuan berupa uang atau makanan untuk satwa-satwa di kebun binatang.
Terlantarnya satwa-satwa tersebut mengindikasikan tidak adanya perhatian serius dan layak dari penopang kebijakan di negeri ini. Padahal semua yang ada dalam kekuasaan teritorialnya adalah sepenuhnya menjadi tanggungjawabnya, baik manusia, satwa maupun pepohonan. Begitulah tabiat buruk sistem yang saat ini dianut oleh penguasa negeri ini. Sistem kapitalis sekuler karangan manusia yang dibuat berdasarkan logika yang bersifat dangkal dan terbatas. Sebuah sistem yang selalu mengedepankan kepengurusannya diukur dari seberapa besar imbalan dan keuntungan yang didapat. Hanya memikirkan eksistensi golongan dan kekuasaannya. Dimata kapitalisme sekularisme nyawa manusia tidak ada nilainya apalagi nyawa satwa.
Kita dibandingkan dengan sistem yang telah teruji dan terbukti memanusiakan manusia dan sangat menghormati kehidupan satwa. Sebuah sistem yang diturunkan oleh Pencipta manusia dan satwa. Sistem yang sempurna dan paripurna, yakni sistem Islam. Sistem ini sangat detail dan terperinci dalam mengurusi kehidupan setiap makhluk Nya, tak terkecuali kehidupan satwa. Islam meletakkan kaidah-kaidah bagaimana bersikap yang adil dan baik kepada binatang. Hal ini karena, pada dasarnya, satwa memiliki hak yang sama seperti makhluk yang lain. Hak untuk hidup dan eksis sebagai bagian tak terpisahkan dari alam semesta. Termasuk, hak mendapatkan perlakuan baik. Sang pembawa risalah yaitu Rasulullah melarang membunuh hewan tanpa alasan yang jelas. Larangan membunuh binatang walaupun hanya seekor burung pipit atau binatang yang lebih kecil tanpa maksud jelas maka semua itu akan dimintai pertanggungjawaban sang pelaku. Beliau juga menetapkan beberapa wilayah konservasi untuk menjaga keseimbangan alam. Hima, merupakan zona yang tak boleh disentuh atau digunakan untuk apa pun bagi kepentingan manusia. Tempat tersebut digunakan sebagai konservasi alam, baik untuk kehidupan binatang liar maupun tumbuh-tumbuhan.
Para Khalifah menetapkan pula beberapa hima. Khalifah Umar Ibn Khattab, misalnya, menetapkan Hima al-Syaraf dan Hima al-Rabdah yang cukup luas di dekat Dariyah, sedangkan Khalifah Usman bin Affan memperluas Hima al-Rabdah tersebut yang diriwayatkan mampu menampung 1000 ekor binatang setiap tahunnya. Sejumlah hima yang ditetapkan di Arabia Barat ditanami rumput sejak awal Islam dan dianggap oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) sebagai contoh pengelolaan padang rumput secara bijaksana di dunia yang paling lama bertahan.
Pernyataan fenomenal Khalifah Umar bin Khattab “Jika ada seekor unta mati karena disia-siakan tidak terurus, aku takut Allah meminta pertanggungjawabanku kelak” membuka mata kita tentang sosok pemimpin yang sangat perhatian atas nasib satwa yang ada. Keberadaan pemimpin seperti itu akan terlahir dan terbentuk dari sistem yang layak. Sistem yang penuh empati dan peduli. Sistem yang mengayomi rakyat dan semua makhluk hidup yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Dia akan memperhatikan dan memenuhi kebutuhan pokok mereka. Baitul mal menjadi pos ketahanan keuangan negara. Dari sana akan diambilkan anggaran pemenuhan kebutuhan satwa. Tanpa harus menunggu pengajuan proposal-proposal sampai satwa mati kelaparan.
Di dalam sejarah di masa Dinasti Abbasiyah pengemban ssitem Islam, pernah dikeluarkan peraturan untuk memberi tempat perlindungan terhadap hewan-hewan liar seperti kucing dan anjing. Kedua jenis hewan tersebut disediakan tempat untuk berkembang biak. Begitulah sejarah telah membuktikan pada kita, sistem manakah yang layak mengayomi kita. sistem buatan manusia yang penuh dengan kedzaliman, yaitu sistem Kapitalisme ataukah sistem buatan Sang Pencipta manusia, yaitu sistem Islam? Kiranya manusia yang akalnya tertunjuki oleh kebenaran akan memilih sistem yang terpancar dari wahyu Ilahi, yakni sistem Islam.[]