Mamay Maslahat, S.Si., M.Si.
Dosen
Pandemi Covid-19 ternyata memberikan efek domino berupa kerusakan pada keharmonisan keluarga dan rumah tangga penduduk Indonesia yang berujung pada perceraian. Hampir di setiap daerah, kasus perceraian mengalami peningkatan selama masa pandemik ini. Pengadilan Agama Kelas 1A Kota Semarang mencatat kenaikan drastis kasus perceraian selama masa pandemi covid-19 hingga tiga kali lipat. Setiap hari panitera setidaknya menerima 100 orang yang mendaftarkan gugatan perceraian. Sekitar 80 persen penggugat datang dari pihak perempuan atau istri (CNN Indonesia TV, Rabu 24/6). Begitu juga Pengadilan Agama Kelas II A Jepara memproses 800 kasus gugatan cerai pasangan suami istri, dan data Pengadilan Agama Cianjur menunjukan tingkat perceraian di Cianjur meningkat. Jumlah pendaftar gugatan dalam satu hari mencapai 50 orang.
Perceraian ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu masalah ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pertengkaran hingga perselingkuhan, tetapi faktor penyebab yang paling tinggi adalah masalah ekonomi. Sektor ekonomi yang terdampak menyebabkan pemilik usaha atau perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada karyawan dan berujung pada perselisihan rumah tangga karena himpitan masalah ekonomi.
Untuk kasus KDRT selama masa pandemik ini, mengalami peningkatan juga dengan kelompok yang paling rentan menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Menurut hasil survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) terhadap lebih dari 20.000 keluarga, hasilnya adalah 95% keluarga dilaporkan stres akibat pandemi dan pembatasan sosial, hal itu terjadi pada April-Mei 2020. Data Komisi Nasional Perempuan selama wabah hingga 17 April, pengaduan kekerasan pada perempuan via surat elektronik sebanyak 204 kasus, ada pula 268 pengaduan via telepon dan 62 via surat (https://mediaindonesia.com).
Menjalani kehidupan di masa wabah pandemik ini memang tidaklah mudah, terlebih lagi dalam sistem liberalistik kapitalistik. Paham kebebasan berfikir dan bertingkah laku serta gaya hidup materialistik dan hedonis menyebabkan mudah dan rentan sekali keluarga yang sedang terhimpit ekonomi ini jatuh dalam kasus KDRT dan ujung-ujungnya perceraian. Melihat fenomena ini, sebagai seorang muslim seharusnya menjadikan Islam sebagai pedoman kehidupannya dan mengembalikan seluruh persoalan kehidupannya kepada Islam.
Islam memberikan pedoman dalam kehidupan berkeluarga dengan sangat jelas dan detil dalam bentuk seperangkat hukum-hukum Fiqih yang saling berkaitan satu sama lain. Perceraian dalam Islam dikenal sebagai thalaq. Secara etimologis, thalak berarti melepas ikatan. Thalak berasal dari kata iṭlaq yang berarti melepaskan atau meninggalkan. Dalam terminologi syariat, thalak berarti memutuskan atau membatalkan ikatan pernikahan, baik pemutusan itu terjadi pada masa kini (jika thalak itu berupa thalak bain) maupun pada masa mendatang, yakni setelah iddah (jika thalak berupa thalak raj’i) dengan menggunakan lafadz tertentu.
Syariat Islam menjadikan hukum asal thalak adalah sesuatu yang sifatnya mubah/boleh akan tetapi sangat dibenci oleh Allah SWT. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah Azza wa Jalla adalah talak”.
Ibarat pintu darurat, thalak atau perceraian adalah jalan yang ditempuh paling terakhir jika pasangan suami isteri tersebut tidak mendapatkan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi dan bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Sifatnya sebagai alternatif terakhir, Islam menunjukkan agar sebelum terjadinya perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, karena ikatan perkawinan adalah ikatan yang paling suci dan kokoh.
Syariat Islam mendorong setiap muslim agar menghiasi dirinya dengan sifat sabar dan senantiasa tawakal atas setiap ketetapan Allah SWT. Sebelum memutuskan terjadi perceraian, setiap dari kedua pasangan suami isteri dihimbau untuk saling merenung dan mengevaluasi diri dan meminta bantuan dari pihak keluarga atau pihak yang dianggap kompeten sebagai mediator yang dapat mendamaikan dan memberikan arahan atau nasehat bagi pasangan tersebut.
Selain daripada itu, seharusnya negara juga tidak boleh lalai dalam melaksanakan kewajibannya mengurus urusan umat (riayatul suunil ummah). Negara wajib membantu masyarakat yang sulit dalam memenuhi kebutuhan pokok keluarganya, karena terganggunya sumber nafkah, bukan malah menambah beban masyarakat dengan naiknya tarif listrik dan sejumlah tagihan-tagihan lainnya. Cukuplah sebagai pengingat bagi Penguasa, apa yang sudah Rasulullah sabdakan dalam haditsnya. Dari Aisjah Ra berkata, saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
"Ya Allah siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku, lalu mempersulit mereka, maka persulitlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku lalu berlemah lembut pada mereka, maka permudahlah baginya (HR Muslim). Wallahu alam bishowab.[]