Oleh : Syfl (Pelajar)
Pada Selasa 11 April 2017 lalu publik digegerkan dengan peristiwa penyiraman air keras kepada penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Beliau disiram air keras usai sholat subuh di masjid dekat rumahnya. Peristiwa itu mengakibatkan kecacatan permanen pada mata kiri Novel.
Penyelidikan terhadap kasus tersebut dinilai cukup lama yaitu kurang lebih selama 3 tahun. Akhirnya dua pelaku penyiraman diadili. Namun, ternyata pelaku hanya diberi hukuman pidana selama 1 tahun penjara. Tuntutan yang diberikan jaksa tersebut dinilai irasional dan sekedar memenangkan kemauan penguasa. Dua pelaku tersebut dinilai melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dikutip dari detikNews (11/6/2020) Dalam pertimbangan surat tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/6/2020), jaksa menyebut kedua terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel. Menurut jaksa, kedua terdakwa hanya ingin menyiramkan cairan keras ke badan Novel.
Masyarakat sangat kecewa atas tuntutan dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan ini. Perjalanan penyidikan kasus Novel Baswedan yang lebih lama dari pada tuntutan yang diberikan jaksa kepada dua pelaku tersebut dinilai terlalu ringan, dengan melihat kondisi Novel Baswedan yang diakibatkan dari kasus ini.
Dikutip dari vivanews (14/6/2020) Pengamat politik Rocky Gerung mengibaratkan air keras yang digunakan pelaku saat menyiramkan ke mata penyidik KPK Novel Baswedan adalah air keras kekuasaan. Untuk itu, ia meminta agar mata publik tidak buta dengan proses peradilannya.
Sistem peradilan yang compang-camping ini diakibatkan karena landasan hukum berasal dari produksi akal manusia yang notabene terbatas. Keputusan yang berlandaskan akal manusia ini hanya menyesuaikan hawa nafsu semata. Ini semua dikarenakan masih diterapkannya sistem sekuler demokrasi. Mencari keadilan dalam rezim demokrasi hanya sebuah ilusi.
Sistem yang tepat untuk diterapkan adalah sistem Islam yang dibangun berdasarkan aqidah Islam. Yaitu Allah SWT. yang berhak membuat hukum yang notabene tidak terbatas. Dalam Islam, sanksi dunia adalah tanggung jawab Khalifah atau yang ditunjuk untuk mewakili. Sanksi ini difungsikan untuk menggugurkan sanksi akhirat kelak.
Menurut pandangan Islam, kasus ini masuk dalam kategori tindakan kriminal dengan sanksi Jinayat. Sanksi yang diberikan adalah hukum Qishash, kecuali jika keluarga korban sudah memaafkan dan pelaku wajib membayar Diyat (harta sebagai kompensasi) nilainya sesuai dengan kerusakan fungsi organ yang diakibatkan atas kasus tersebut.
Dalam Islam hakim wajib merujuk pada Al-Qur'an dan Hadist. Selain itu juga perlu merujuk pada kitab-kitab ulama klasik, pandangan dan ijtihad ulama Mahzab agar tidak terjadi kesalahan dalam menjatuhkan vonis. Jadi, dalam Islam hakim (Qadli) wajib berderajat ulama. Hakim wajib mengetahui syariah Islam. Jadi, kita dapat menarik kesimpulan bahwa hanya sistem Islamlah yang mampu berbuat adil.[]