Oleh: Endang Setyowati
(Analis Muslimah Voice)
Pada saat pandemi ini, jika kita ingin bepergian atau memasuki suatu daerah atau kota di Indonesia masyarakat diwajibkan untuk melakukan test. Misal saja jika kita akan naik kereta, maka diperlukan hasil rapit test, test PCR, atau test influenza sebagai syarat seseorang untuk bisa naik kereta.
Untuk melakukan test harganya bervariasi, biaya rapid test mulai dari Rp 200.000 hingga Rp 500.000. Sedangkan untuk swab test (alat PCR) antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta, belum termasuk biaya lain lainnya. Bahkan dilansir Kompas.com (21/6/2020), di RS Universitas Indonesia salah satunya, biaya pemeriksaan tes swab termasuk PCR adalah Rp 1.675.000 sudah termasuk biaya administrasi.
Di Riau, harga tes swab per orang Rp 1,7 juta. Harga tersebut merupakan tes swab mandiri di RSUD Arifin Achmad.
Harga tersebut menurut Juru Bicara Penanganan Covid-19 Riau dr Indra Yovi adalah yang termurah dibanding harga di daerah lain. Sementara itu di Makassar ada yang menjual tes swab seharga Rp 2,4 juta, yaitu di RS Stellamaris.
Dengan harga yang bervariasi serta berbilang mahal, komersialisasi tes corona ini memakan korban. Sehingga membuat seorang ibu yang sedang mengandung kehilangan anaknya sebagai prasyarat operasi kehamilannya. Seperti yang dilansir dari Kompas.com (19/6/2020). Seorang ibu di Makassar, Sulawesi Selatan, dilaporkan kehilangan anak di dalam kandungannya setelah tidak mampu membayar biaya swab test sebesar Rp 2,4 juta.
Padahal, kondisinya saat itu membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan. Pengamat kebijakan publik mendorong pemerintah untuk menggratiskan biaya tes virus corona.
Kalaupun tidak memungkinkan, pemerintah dinilai perlu melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap harga tes Covid-19 sehingga terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Asosiasi Rumah Sakit Swasta menjelaskan bahwa adanya biaya tes virus corona karena pihak RS harus membeli alat uji dan reagen sendiri, dan membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam uji tersebut.
Begitulah, sebenarnya berbagai pihak menganggap komersialisasi terjadi karena pemerintah tidak segera menetapkan Harga Standar(HET). Atas test yang dilakukan di luar RS rujukan.
Beginilah jika kita masih saja menggunakan sistem kapitalis, yang sangat dominan dalam menilai dan menempatkan negara hanya sebagai regulator saja. Yang dihitung hanya antara untung dan rugi saja. Tanpa memikirkan lagi bagaimana nasib rakyatnya.
Berbeda jika kita mau memakai sistem Islam. Karena di dalam sistem Islam, kebutuhan pokok(sandang, pangan dan papan), juga kesehatan pendidikan serta keamanan dijamin oleh negara. Sehingga rakyat tidak akan bingung atau bahkan galau akan biaya-biaya yang dikenakan atasnya.
Jika terjadi pandemi seperti saat ini, maka yang pertama kali dilakukan adalah memisahkan antara yang sehat dan yang sakit. Jadi bagi yang sehat, bisa melakukan kegiatan seperti biasa. Namun bagi yang sakit maka akan diisolasi dan akan diobati hingga sembuh tanpa dikenai biaya sepersenpun.
Serta negara akan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, namun tetap memperhatikan kuantitas serta kualitasnya. Misalnya, untuk mendukung percepatan penyembuhan penyakit, maka akan di bangun laboratorium untuk mendukung pelaksanaan dan proyek penemuan vaksin.
Serta membangun RS (Rumah Sakit) sehingga yang sakit bisa tertampung semua serta mendapatkan pelayanan yang sama. Juga membangun pabrik untuk obat-obatan yang bertujuan murni memberikan pelayanan terhadap rakyat dan tidak mengambil keuntungan sedikitpun atasnya.
Karena di dalam Islam pemimpin itu sebagai raa'in dan junah:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Yang mempunyai keyakinan bahwa manusia itu diciptakan sebagai pengemban amanah pengelola kehidupan wujud dari bentuk ketaatan terhadap aturan hidup yang diturunkan Allah SWT yaitu syariat Islam.
Mengenai pembiayaan atau dana yang dipakai untuk mengurusi hajat hidup rakyat tersebut, negara mendapatkannya bukan dari hutang keluar negeri yang berbasis riba, namun dari sumber daya alam(SDA) yang dikelola oleh negara tanpa di swastanisasikan. Rasulullah saw bersabda:
"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR. Abu. Dawud dan Ahmad).
Sehingga individupun tidak boleh memilikinya. Hanya negara yang boleh mengelola untuk mendapatkan manfaat dari ketiganya, negara mewakili masyarakat mengatur pemanfaatannya, sehingga semua masyarakat bisa mengakses dan mendapatkan manfaat secara adil dari harta-harta milik umum tersebut, baik muslim maupun non muslim. Jadi masihkah kita ragu untuk menerapkan syariat Islam saat ini? Wallahu'alam.