Oleh: Ummu Aisyah
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pemerintah telah menarik utang untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Mei 2020 sebesar Rp356,1 triliun. Realisasi itu baru mencapai 41,7 persen dari target pembiayaan 2020 sebesar Rp852,9 triliun. Namun, kenaikannya sangat pesat, yakni mencapai 122,6 persen dari catatan pada Mei 2019 yang hanya mencapai Rp159,9 triliun. (vivanews.com, selasa 16/6/2020).a
Nampaknya, utang akan senantiasa menjadi choice bagi negeri ini untuk menutupi anggaran di samping menggenjot sektor pajak. Meski kaya akan sumber daya alam berbarengan dengan jumlah penduduk usia produktif yang lumayan besar, namun mengoptimalkan untuk mengolah sendiri sekaligus mendidik dan memberdayakan rakyat sehingga bisa mendapatkan pendapatan yang bisa dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat juga akan mengurangi angka pengangguran bagaikan pungguk merindukan bulan. Jamak diketahui, sebagai sebuah negeri yang dikaruniai berbagai sumber daya alam dalam jumlah potensi yang sebagian besarnya masuk dalam peringkat sepuluh besar di dunia, semestinya bisa menjadi negeri yang makmur dan sejahtera. Terlebih lagi dengan jumlah populasi penduduk yang sangat besar, jika dikelola dengan baik semestinya juga bisa menjadi faktor penggerak perekonomian yang potensial. Namun, fakta yang terlihat pada kondisi keuangan negara saat ini adalah besarnya jumlah utang dalam APBN, yang berdampak pada besarnya defisit anggaran dari waktu ke waktu. Defisit yang terjadi terus ditutup lagi dengan andalan pembiayaan yang berasal dari utang, sehingga Indonesia semakin jauh masuk ke dalam perangkap utang.
Hal ini tidak terlepas dari permasalahan paradigmatik, ketika utang ribawi dari luar negeri diklaim sebagai bentuk hubungan kerjasama antara negara debitur dengan negara kreditur, dan merupakan cara yang efektif dalam menutupi defisit anggaran pemerintah, dengan asumsi dimana risiko kebangkrutan ekonomi yang ditimbulkan dari utang luar negeri relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan pencetakan uang (seignorage) yang dapat menimbulkan inflasi (Mulyani, 1994). Begitu pula klaim amannya utang luar negeri Indonesia, karena rasio utang dengan PDB (Produk Domestik Bruto) masih di bawah batas maksimum 60 %. Kebijakan yang diterapkan Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara membatasi rasio utang terhadap PDB sebesar 60% (angka ini mengacu pada batasan maksimum yang ditetapkan oleh negara-negara Uni Eropa). Penggunaan PDB sebagai penentu rasio utang karena PDB menyatakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa. Rasio utang terhadap PDB mencerminkan seberapa besar negara mempunyai kemampuan untuk melunasi utangnya tersebut. Semakin rendah rasio utang negara terhadap PDB maka dianggap akan semakin baik suatu negara dalam kemampuan melunasi utang.
Poin-poin di atas merupakan syubhat yang jelas menafikan bahaya ideologis di balik utang ribawi, jauhnya keberkahan, dan yang ada adalah kebinasaan. Satu alasan pragmatis untuk menambah utang ribawi adalah defisit anggaran (budget deficit), yang didefinisikan sebagai the gap between the public revenues and expenditures, atau selisih minus pendapatan dengan belanja publik. (Monzer Kahf, 1994). Dengan kata lain, defisit anggaran adalah defisit dalam APBN karena pengeluaran negara lebih besar daripada penerimaan negara.
Terdapat 4 (empat) faktor umum yang menyebabkan defisit anggaran yaitu: belanja pertahanan yang tinggi; subsidi yang besar; belanja sektor publik (seperti belanja birokrat) yang besar dan tak efisien; korupsi dan pengeluaran yang boros (Monzer Kahf, 1994). Untuk mengatasi problem defisit anggaran ini, solusi universalnya ada 3 (tiga), yaitu: menambah pendapatan; mengurangi belanja; dan berutang baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Di negara-negara kapitalis, cara menambah pendapatan pada umumnya adalah meningkatkan pajak, dan kadang dengan mencetak mata uang. Untuk Indonesia, cara yang ditempuh untuk mengatasi defisit anggaran adalah meningkatkan pajak dan berutang. (Subiyantoro & Riphat, 2004; Kartikasari, 2010). Maka tidak mengherankan jika utang luar negeri Indonesia terus menumpuk setiap tahunnya, meningkat cukup tajam semenjak era Jokowi-JK, dimana angka pertumbuhan utang naik drastis, tercatat hingga akhir Mei 2017 lalu, jumlah total utang luar negeri Indonesia sudah mencapai Rp 3.672,33 triliun. Dengan kata lain jumlah utang luar negeri RI meningkat Rp 1.067,4 triliun, sejak awal masa pemerintahan Jokowi pada 2014 hingga Mei 2017 (sumber: bisniskeuangan.kompas.com, 4/7/2017). Posisi utang Indonesia per akhir Mei 2020 berada di angka Rp5.258,57 triliun. Nilai ini naik dari posisi akhir April 2020 yang berkisar Rp5.172,48 triliun (tirto.id, rabu, 17/6/2020). Rusaknya paradigma kapitalistik yang diadopsi rezim negeri ini, menjadikan sumber potensi pendapatan yang halal diserahkan pengelolaannya kepada asing dengan kebijakan privatisasi, sebaliknya sumber potensi yang haram semisal utang ribawi justru dijadikan solusi pragmatis penutup defisit anggaran.
Utang luar negeri jelas mengandung bahaya yang sangat besar, baik secara ideologis maupun politis, mengingat utang jenis ini pasti ribawi, dan mengandung konsekuensi politis yang mengancam kedaulatan suatu negeri:
1. Bahaya Ideologis Utang Luar Negeri
Allah Swt dan Rasul-Nya Saw memperingatkan riba secara prinsipil dalam al-Quran & al-Sunnah:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (TQS. Al-Baqarah [2]: 275)
Menafsirkan ayat ini, Al-Alim al-Syaikh Atha bin Khalil menjelaskan dalam tafsirnya:
Allah SWT menyebutkan dalam ayat-ayat tentang riba, dan Allah SWT pun menjelaskan besarnya kejahatan dan betapa buruknya perbuatan pelakunya, disamping (menjelaskan) hukuman yang sangat keras dan adzab yang sangat pedih atas kejahatan dan kemungkaran yang besar ini, setelah Allah SWT menjelaskan balasan pahala bagi orang-orang yang mengeluarkan harta yang halal dan baik di jalan Allah.
Lihat pula: QS. Al-Baqarah [2]: 276, QS. Al-Baqarah [2]: 279, QS. Âli Imrân [3]: 130. Kecaman keras dalam ayat-ayat ini pun diperjelas dalam banyak hadits, Rasulullah Saw bersabda:
“Jika perzinaan dan riba sudah merajalela di suatu negeri maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan adzab Allah atas mereka. (HR. Al-Thabrani & al-Hakim).
Dalam hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim pun disebutkan tujuh dosa yang membinasakan (al-sabu al-mûbiqât), salah satunya dosa memakan harta riba (akl al-ribâ). Kecaman bagi pemakan harta riba, mengandung kecaman pula bagi mereka yang memberikan riba, dan mereka yang terlibat dalam menyokong transaksi ribawi:
“Allah melaknat para pemakan riba, orang yang memberi riba, pencatat transaksi riba dan orang yang menjadi saksinya. (HR. Ahmad)
Dalam redaksi hadits senada, disebutkan Rasulullah Saw sebagai pihak yang melaknat. Kata laknat, sebagaimana dijelaskan Imam al-Raghib al-Ashfahani bahwa orang yang terlaknat itu terhempas dan terjauhkan masuk ke dalam jalan kemurkaan, dan laknat dari Allah berupa siksa di akhirat, dan di dunia terputus dari rahmat dan taufik-Nya. Al-Qadhi Iyadh (w. 544 H) menjelaskan: Dan sungguh para ulama telah berdalil bahwa hal-hal dimana kata laknat menyertainya maka ia termasuk dosa besar. Dalam ushul fikih, dalil-dalil di atas jelas mengandung indikasi keharaman, sekaligus menegaskan bahaya prinsipil di balik transaksi utang ribawi, tiada kebaikan di balik utang ribawi, meskipun dijustifikasi dengan alasan klise nan pragmatis kebutuhan ekonomi, mengingat tak ada keberkahan di balik keharaman yang justru mengundang malapetaka dan krisis penghidupan.
2. Bahaya Politis Utang Luar Negeri
Utang ribawi mengandung kompensasi yang tidak ringan, tak ada yang gratis dalam paradigma kapitalis, utang ribawi jelas memiliki potensi bahaya politis atas nasib negeri ini. Hal itu karena utang luar negeri, terutama utang program, menjadi alat campur tangan dan kontrol pihak asing terhadap kebijakan pemerintah. Utang semacam ini jelas hukumnya haram, karena diperoleh dengan syarat yang melanggar hukum syara. Konsekuensi politis utang luar negeri ini kentara dalam banyak kebijakan dan produk perundang-undangan. Dampaknya terasa bagi masyarakat luas, semisal UU Minerba, UU Migas, dan lain sebagainya. Selain itu, terus menerus menumpuk utang dengan beban bunga yang tinggi, akan menjerumuskan negeri ini dalam jebakan utang ribawi (debt trap). Ketika utang semakin menumpuk, rezim pun tercatat memilih mengurangi anggaran subsidi untuk rakyat dalam RAPBN, sebagai jalan menutup pembayaran cicilan utang plus bunga ribawinya yang mencekik. KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi mengkritisi, bahwa utang luar negeri itu disamping ribawi, pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang. Hal ini jelas diharamkan karena Islam mengharamkan segala jalan yang mengakibatkan kaum kafir mendominasi kaum Muslim (QS. Al-Nisâ [4]: 141) (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Daulah al-Khilâfah, hlm. 76; Abdurrahman Al-Maliki, Al-Siyâsah Al-Iqtishâdiyyah Al-Mutslâ, hlm. 200-207).
Dibutuhkan sebuah lompatan bagi Indonesia untuk bisa terbebas dari kubangan dan jerat utang, dengan pola kebijakan fiskal yang sangat berbeda dengan konsep yang sedang berjalan saat ini. Konsep yang ditawarkan itu adalah mekanisme kebijakan fiskal Bayt al-Mal, sebuah sistem keuangan negara berbasis syariah. Di dalam Negara Khilafah Islam, Bayt al-Mal merupakan institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya bagi kaum Muslim yang berhak menerimanya. Setiap harta, baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, maupun harta benda lainnya, yang kaum Muslim berhak memilikinya sesuai hukum Islam, maka harta tersebut adalah hak Bayt al-Mal kaum Muslim. Sistem keuangan negara di dalam pengaturan Islam telah terbukti berhasil mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi muslim dan non muslim selama beberapa abad. Pos-pos pendapatan dalam sistem keuangan Bayt al-Mal terdiri dari tiga pos pemasukan utama yang masing-masing rinciannya memiliki banyak ragam jenis pemasukan.
Pertama, bagian fayi dan kharaj. Fayi adalah salah satu bentuk pampasan perang, dan kharaj adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi tanah dimana para pemilik tanah taklukan tersebut membayar kharaj ke negara Islam.
Kedua, bagian pemilikan umum. Kepemilikan umum adalah izin dari al-Shari kepada jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepemilikan umum meliputi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan, dan barang tambang yang depositnya tidak terbatas, yaitu barang tambang yang jumlahnya sangat banyak.
Ketiga, bagian sadaqah. Bagian sadaqah terdiri dari zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi, dan kambing.
Kebijakan fiskal Bayt al-Mal akan membelanjakan anggarannya untuk investasi infrastruktur publik dan menciptakan kondisi yang kondusif agar masyarakat mau berinvestasi untuk hal-hal yang produktif. Pada zaman Rasulullah Saw, beliau membangun infrastruktur berupa sumur umum, pos, jalan raya, dan pasar. Pembangunan infrastruktur ini dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. Beliau mendirikan dua kota dagang besar yaitu Basrah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Romawi) dan kota Kuffah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Persia). Khalifah Umar bin Khattab ra juga membangun kanal dari Fustat ke Laut Merah, sehingga orang yang membawa gandum ke Kairo tidak perlu lagi naik onta karena mereka bisa menyeberang dari Sinai langsung menuju Laut Merah. Khalifah Umar bin Khattab ra juga menginstruksikan kepada gubernurnya di Mesir untuk membelanjakan minimal 1/3 dari pengeluarannya untuk infrastruktur.
Menurut Ibnu Khaldun, dalam Welfare State Islami, pemerintah hendaknya menggunakan kekuasaannya untuk membuat fungsi pasar berjalan lancar, dengan membuat berbagai infrastruktur yang berfungsi memperlancar kegiatan ekonomi. Negara juga harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat, memiliki kebijakan anggaran, menghargai hak milik masyarakat dan menghindari pungutan pajak yang memberatkan. Negara harus mengutamakan keadilan, pembangunan dan kemakmuran serta menginginkan negara yang menjamin penerapan syariah dan negara yang berfungsi sebagai instrumen pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Ibnu Taymiyyah, aktivitas ekonomi dan pengembangan biaya sosial atau infrastruktur semisal transportasi dan komunikasi yang memakan biaya yang tinggi, negara memiliki kewajiban menanggungnya. Sebuah pertimbangan untuk menjadikan bagian dari pembiayaan publik diperlukan untuk membangun kanal, jembatan, jalan, dan sebagainya. Abu Yusuf mengungkapkan pentingnya pembangunan infrastruktur dalam penggunaan dana publik untuk mendukung produktifitas dalam meningkatkan pendapatan negara.
Dengan perhitungan Bayt al-Mal berbasis syariah, surplus di jumlah penerimaan dapat digunakan untuk melunasi seluruh utang Indonesia secepatnya, untuk kemudian Indonesia melesat menuju kesejahteraan dengan syariah. Terwujudnya hal tersebut hanya dengan meninggalkan sistem sekular kapitalistik dan beralih mengambil sistem Islam semata.[]